16 September 2009

Project of Ngabandungan Bandung - Bagian II : KEINDAHAN YANG SEMRAWUT


Dalam bayangan saya sebuah kota adalah suatu tempat yang memiliki keindahan, menarik untuk dikunjungi oleh siapapun, bersih dan segalanya tertata dengan rapih dan teratur. Perihal mengenai apa yang dibayangkan oleh saya tentang sebuah kota diatas yang kemudian memunculkan interupsi dari anda mengenai sebuah kota dimana kota itu seperti ini, kota itu seperti begini, dan masih banyak lagi persepsi ideal mengenai sebuah kota. Menurut saya hal itu sah-sah saja dan merupakan hak anda untuk menilai segala sesuatu dari kacamata anda sendiri, toh setiap warga, yaitu warga yang mendiami suatu kota tentunya akan mempunyai pandangan yang berbeda-beda pula tentang kotanya, tidak terkecuali bagi Kota Bandung, di Kota Bandung pun setiap orang dengan latar belakang yang berbeda-beda tentu mempunyai pandangan tersendiri terhadap kotanya.
Rata Penuh
Seperti yang kita ketahui Bandung adalah sebuah kota yang cukup indah di ruing ku gunung, dimana jika kita berada disuatu tempat di Kota Bandung kita masih bias melihat gunung-gunung, bukan hanya itu keindahan lainnya yang dapat dilihat, yaitu jika suatu waktu kita menuju daerah Bandung Utara entah itu Ciumbuleuit dengan Punclutnya ataupun di daerah Ir. H. Juanda atau yang kita kenal Dago (terutama dago yang menuju perbukitan), ketika malam hari kita akan melihat keindahan kota dengan gemerlapnya lampu-lampu yang menyala dari rumah-rumah, jikalau diibaratkan akan seperti hamparan langit yang terang oleh gemerlapnya bintang, dan mungkin masih, masih banyak lagi keindahan lainnya yang belum sempat saya nikmati.

Namun dibalik keindahannya, Bandung bagi sebagian orang merupakan kota yang cukup semrawut, entahlah sebetulnya saya pun tidak begitu mengetahuinya lebih jauh dari aspek mana kesemrawutan itu berada. Yang jelas akan beragam sudut pandangnya, apakah itu dari sisi lalu lintasnya, dari pemukiman penduduknya, keberadaan para pedagang kaki lima, bahkan mungkin juga tata letak dari beragam bangunan yang tidak sesuai dengan penempatannya atau mungkin juga terlalu banyaknya atribut-atribut promosi yang dipasang begitu saja. Akan tetapi dari apa yang saya lihat, kecenderungan akan kesemrawutannya memang tampak, atau mungkin juga sudah terjadi sejak lama. Kesemrawutan kota, ini pula yang saya dengar dari beberapa orang yang secara tidak sengaja berinteraksi dengan saya, kebanyakan dari mereka menilai bahwa kesemrawutan kota ini lebih banyak pada sisi lalu lintasnya, namun saya pun tidak mengetahui alasan labih jaunya. Mungkin saja apa yang mereka maksud semrawutnya lalu lintas adalah karena semakin banyaknya jumlah kendaraan, banyaknya rambu-rambu yang rusak sehingga menyebabkan kendaraan yang tidak teratur, atau mungkin juga penataan parker yang kurang baik.

Semrawut bukan hanya terbatas pada pengertian sesuatu yang acak-acakan dan ketidakaturan, akan tetapi kesemrawutan dapat pula terjadi pada sesuatu yang dianggap bukan hal yang paling utama dalam suatu kesemrawutan, namun tetap mempunyai andil dalam menciptakan suatu kondisi yang semrawut. Contohnya seperti jalan-jalan yang berlubang, sehingga disamping menciptakan jalanan yang macet, juga memungkinkan terjadinya kecelakaan terutama pada malam hari. Kemudian dari sisi keindahan kota, sering kita jumpai pada dinding-dinding tembok beragam flyer, poster ataupun bentuk-bentuk promosi lainnya yang ditempel hampir bertumpuk dengan yang sebelumnya, sehingga dinding-dinding tersebut tampak kotor dan tidak indah, sehingga pernah pada suatu waktu seorang teman dari Ibu Kota mengungkapkan kalau Bandung seperti kota iklan, karena mungkin dalam pengamatannya di setiap jalan sudah begitu banyak atribut-atribut promosi, akan tetapi tidak bisa disalahkan begitu saja mengenai atribut-atribut promosi tersebut, alasannya karena mungkin berpromosi dengan menempelkannya dijalan-jalan dinilai lebih efektif dan lebih terlihat oleh khalayak banyak.

Begitu pula dengan beberapa orang yang beranggapan jika keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan ditempat-tempat yang tidak semestinya, menjadi salah satu penyebab kesemrawutan, sehingga jika dibiarkan akan menjadi sesuatu yang permanent, terus menetap hingga munculnya aksi kucing-kucingan antara aparat dengan para pedagang kaki lima. Begitu pula dengan keberadaan PKL musiman yang selalu membanjiri tempat-tempat tertentu dan pada saat-saat tertentu, seperti halnya saat bulan Ramadhan mendekati hari lebaran dimana jumlah antara pembeli dan penjual sama meningkat, dan efeknya ketika sebagian orang yang berbelanja menggunakan kendaraan yaitu terjadinya kemacetan, kemudian trotoar pun nasibnya kurang lebih sama dimana fungsinya sebagai sarana untuk para pejalan kaki aksesnya kian tertutup oleh berbagai aktifitas perekonomian. Diberlakukannya larangan untuk berjualan di sejumlah titik di Kota Bandung mungkin merupakan suatu bentuk perhatian akan ketidakteraturan dan ketidaknyamanan didalam kota, walaupun pada kenyataannya sering kita jumpai di beberapa titik tersebut masih ada yang secara diam-diam masih saja berjualan.

Sudah mencapai tingkat seperti apakah kesemrawutannya? Mudah-mudahan saja tidak terlalu parah. Sebuah Perda yaitu Perda K3 (Keindahan, Ketertiban, dan Kenyaman) pun disiapkan untuk meminimalisir kesemrawutan tersebut. Lalu ketika kesemrawutan itu terjadi, maka yang dilakukan adalah langkah-langkah solusi. Solusi adalah pemecahan masalah, dirancang secara baik dan kreatif dan tentunya harus menguntungkan semua pihak.

14 September 2009

Project of Ngabandungan Bandung - Bagian I : PUDARNYA KESEJUKAN

Sebenarnya saya tidak terlalu mengetahui dengan pasti kapan Bandung mulai terasa panas, dan juga tidak ada data-data yang pasti mengenai perubahan suhu di Bandung. Tapi sebagai pengingat saja, dulu sekitar tahun 90-an dimana saya masih berada dalam masa-masa menjalani pendidikan alias sekolah, setiap hari berangkat ke sekolah saya tidak pernah lepas dari yang namanya mengenakan jaket. Pada saat itu sepertinya menjadi hal yang lumrah dan menjadi semacam keharusan bagi siapapun di Kota Bandung pada pagi hari untuk memakai jaket atau pakaian hangat lainnya, mengingat udaranya yang sejuk dan dingin dalam arti yang sebenarnya. Kemudian pada siang haripun saat pulang sekolah saya masih merasa nyaman memakai jaket, senyaman saya memakai kaos untuk bermain. akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, tepatnya ketika saya sudah menyelesaikan segala urusan pendidikan dan dari hari kehari, saat keluar rumah ada semacam rasa malas untuk memakai jaket lagi, kecuali saat mengendarai motor dan malam hari. Namun tidak jarang sekarang ini saat malam hari pun ada sedikit rasa gerah.

Merasakan keadaan seperti ini, secara sadar atau tidak kemudian muncul pertanyaan dalam diri saya “naha jadi panas kieu?” apa yang sebenarnya terjadi dengan keadaan alam Bandung ini?. Dan juga saya sebagai bagian dari warga Kota Bandung bukannya tidak merasa peka dan tidak peduli dengan keadaan kotanya, namun tetapi akan muncul banyak sekali dugaan-dugaan, dimana menurut saya Kota Bandung ini begini dan Kota Bandung itu begitu, lantas kemudian akan banyak sekali yang dipersalahkan, panas karena inilah dan panas karena itulah. Tapi pada suatu waktu saya pernah beranggapan jauh sebelum saya mengenal istilah perubahan cuaca atau iklim dan pemanasan global yang sekarang ini sedang gencar-gencarnya dikampanyekan, jangan-jangan Bandung sejak lama sudah mengalami yang namanya perubahan iklim dan pemanasan global tersebut. Jikalau memang benar adanya, maka kota ini benar-benar ada dalam taraf yang mengkhawatirkan jika tidak ada langkah-langkah yang nyata dari kita untuk memperbaiknya.

Kemudian pada suatu kesempatan, setelah saya berkeliling-keliling dijalanan sambil melihat-lihat mall-mall yang sedang dibangun, akhirnya saya pun tergiur juga untuk masuk kedalam salah satu mall yang didalamnya sedang dibangun sebuah bangunan yang menjulang tinggi entah itu hotel atau apapun mungkin juga sekedar mempercantik atau mungkin juga untuk lebih memanjakan para pengunjungnya, namun menurut saya bangunan itu jika ditujukan untuk melihat keindahan alam sekitarnya, rasa-rasanya agak kurang nyaman dan kurang seusuai adanya, karena mengingat disekeliling mall itu adalah pemandangan pemukiman penduduk yang cukup padat, sedangkan gunung-gunung yang terlihat masih begitu jauh dari pandangan. Kemudian secara tidak sengaja didalam mall itu saya terlibat obrolan dengan seorang karyawan di sebuah tenant, yang kemudian saya ketahui dia adalah seorang mahasiswa yang bekerja paruh waktu di tenant itu, dan kebetulan pula dia itu bukan asli dari Bandung, namun dia sudah sekitar empat tahun tinggal di Kota Bandung. Saat saya bertanya mengenai kondisi Bandung sekarang ini, dia pun menjawab menurut pandangan dan apa yang dirasakannya saat ini, bahwa Bandung sekarang ini sudah tidak dingin lagi, didalam hati saya pun setuju dengan pernyataan itu, lebih lanjut dia pun menambahkan Bandung sekarang ini lebih panas dibandingkan ketika ia pertama kali datang ke Bandung empat tahun yang lalu, untuk yang ini sebenarnya saya tidak begitu yakin kalau Bandung empat tahun yang lalu masih menyisakan kesejukan, mungkin saja ya mungkin saja tidak.
Dari obrolan dengan satu orang saja, saya dapat menyimpulkan bahwa apa yang saya rasakan sekarang ini setidaknya ada suatu kesamaan, dan mungkin saja ketika saya bertanya kepada beberapa orang, bisa jadi ucapan yang terlontar dari mereka adalah kata-kata “panas”, “sudah tidak sesejuk dulu”, “panas banget” dan lain sebagainya.

Namun demikian pada kenyataannya, seperti dari angkot ke angkot sering pula saya melihat ekspresi yang menandakan kegerahan dari sebagian orang-orang yang berada didalamnya. Seperti ketika seorang penumpang yang baru saja masuk ke dalam angkot saat duduk langsung membuka kaca yang berada disebelahnya, walaupun sebenarnya banyak sekali kacanya yang susah untuk dibuka, kemudian ada juga seorang bapak yang duduk dipojok mengipasi dirinya dengan koran, lalu ada juga seorang ibu yang sesekali menyeka keringat anaknya yang masih kecil, yang saya lihat sepertinya keringat dari wajah anak itu tidak pernah berhenti, begitu pula dengan saya, saya lebih memilih untuk duduk didepan, karena biasanya kaca disebelahnya selalu terbuka lebar hal itu setidaknya memberikan ruang yang cukup besar bagi angin untuk masuk kedalamnya.

Atas dasar ini, saya atau juga anda jangan sampai kemudian memvonis bahwa di Kota Bandung sudah tidak nyaman lagi untuk ditinggali karena alasan “sudah mulai panas”, buktinya hampir setiap akhir pekan dan libur panjang masih banyak orang-orang yang dari luar Kota Bandung mengunjungi kota ini walaupun tujuannya tidak untuk mencari hawa yang sejuk, karena kesejukan udaranya sudah sedikit bergeser menjadi kesejukan untuk berbelanja. Tapi bagi saya, meskipun ada kesan kesejukan kota ini sudah memudar, namun masih ada semacam harapan walaupun sepertinya sedikit untuk dapat merasakan hawa yang sejuk itu meskipun hanya pada ruang-ruang tertentu seperti halnya taman kota dan ruang terbuka hijau lainnya, seperti yang sering saya lakukan untuk sekedar duduk-duduk sejenak menghirup udara segar dan merasakan hawa sejuk dari pohon-pohon yang tampak masih rimbun dan lebat seperti di Taman Ganesha atau di Taman Lansia, yang saya anggap tempat-tempat seperti itu adalah sebagai penyeimbang, penyeimbang bagi perubahan yang selalu cepat, dan saya yakin ketika suatu perubahan terjadi akan selalu ada penyeimbang didalamnya, walaupun penyeimbang itu terkadang menjadi bagian minoritas atau bagian kecil dari suatu perubahan, akan tetapi posisi keminoritasannya terkadang dibutuhkan bahkan menjadi degup jantung dari perubahan itu sendiri, terlebih bagi kehidupan.

DIMANAKAH KAU MATERAI?

Pulang taraweh masih pake baju si koko dan peci saingannya H. Iming tapi saya enggak tahu merk nya apa pokoknya warnanya putih polos harganya pertama kali beli kalo enggak salah 30 ribuan lah di Gramedia karena waktu itu tadinya saya mau membeli buku tapi buku yang saya cari enggak ada sedangkan uang yang saya pegang harus segera dihamburkan dari pada beli yang macam-macam mending saya beliin saja itu uang untuk membeli peci. Terus saya langsung masuk kamar, pasti nyangkanya mau ganti baju ya? padahal saya mau cek dan ricek telepon genggam saya, siapa tahu aja banyak yang miscall dan sms dari yang menggemari saya, maksudnya penggemar. Tapi ternyata eh ternyata cuma ada satu sms, saya sempet malas untuk membacanya karena pikir saya paling-paling itu dari operator yang rajin suka kirim-kirim sms yang isinya promosi kuis berhadiah dan rbete-rbete, sekali-sekali mah ngirimnya yang agak mesra sedikit operator teh atuh “hai…pa kabar?”, “udah makan belum?”.

Tapi semakin dibiarin, saya malah tambah penasaran untuk membacanya, lalu saya memutuskan untuk membacanya siapa tahu dan siapa tempe, maksudnya siapa tahu dari someone, karena setiap surat dalam Al-Qur’an pun semuanya harus dan wajib untuk dibaca jangan ada yang terlewat atau dibiarkan, eh pas dibaca tidak tahunya dari teman saya Tantan, pasti si Tantan nggak taraweh, soalnya kelihatan dari jam diterimanya sms itu jam setengah delapan, pastinya setengah delapan malam, mana ada taraweh setengah delapan pagi. Karena biasanya selesai taraweh itu paling cepat jam delapan lebih dan paling lama jam setengah sembilan. Isinya sms si Tantan itu kira-kira begini

“keu ari hotel cihampelas deukeut teu ti imah ente? engke anteur nya?” artinya keu kalau hotel cihampelas deket gak dari rumah kamu? nanti anter yach? ,
Aduh saya sempet curiga mau ngapain si Tantan ngajakin saya malem-malem ke hotel. Ah langsung saja saya ini menjawabnya smsnya si Tantan itu

“oh deukeut atuh tan, kabeneran urang mah apal nu boga na ge, bejakeun weh dulurna pa haji.” maksud saya oh dekat dong tan, kebetulan saya tahu sama yang punyanya, bilang aja saudaranya pa haji.
sms itu dikirim oleh saya. saya menunggu balasan dari si Tantan.

“oh iya atuh keu, saya meluncur ke sana, nanti saya kontak lagi”. begitu jawaban sms dari si Tantan setelah saya menunggu beberapa saat. saya biarkan saja tidak dibalas lagi, karena kan dia sudah janji mau mengkontak saya lagi nanti. enggak tahu nanti itu kapan, kadang si Tantan itu suka rada enggak puguh, puguh itu apa ya…kira-kira artinya jelas…ah terpaksa saya pun makan malam dulu.

Tidak lama setelah saya selesai makan malam dan masih memakai sarung, terdengar suara dering telepon dari hape saya, ya iya atuh masa dari hape tetangga sebelah, ternyata yang menelepon saya itu adalah si Tantan.

“keu urang geus diluhur!” artinya keu saya sudah di atas.

“oh urang ge geus dihandap tan!” jawab saya maksudnya oh saya juga udah dibawah. maksudnya si Tantan ada di atas karena rumah saya berada disebuah gang yang turun kebawah, jadi tidak ada salahnya kan kalau saya menjawab saya ada di bawah.

“hehe..” itu si Tantan malah hehe mendengar jawaban dari saya.

Maka dari itu saya langsung saja menuju ke atas ke jalan raya menyusuri gang penuh kenangan, hingga akhirnya saya menemukan si Tantan sedang menunggu saya sambil menghisap sebatang rokok.

“tan mau ngapain kamu teh ke hotel cihampelas?” Tanya saya dari arah belakang yang menyebabkan si Tantan kaget.

“ieu rek mikeun sapatu ka lanceuk urang euy.” Jawab si Tantan santai sambil terus menghisap rokoknya. Artinya ini saya mau ngasihin sepatu ke kakak saya.

“euh sugan the rek naon.”

“deket teu sih?”

“eta didinya.” Maksud saya itu disitu sambil menunjuk ke arah sana.

“itu disana yang ada mobil parkir.”

“yee…nu parkir the loba.” Yee yang parkir tuh banyak.

“ya udah lah pokonamah maju.” Saya sambil langsung naik duduk dibelakangnya si Tantan.

“bentar-bentar, pake helm jangan?” Tanya si Tantan rada khawatir

“alah gak usah lah, maju saja tan, kaleum weh ”

Maka dengan sedikit ragu-ragu karena saya tidak memakai helm si Tantan menstarter motornya, bersiap-siap seperti akan melakukan perjalanan jauh pake kacamata dan sarung tangan, rokoknya dia buang terlebih dahulu karena menurut si Tantan suka gak enak kalau merokok sambil nyetir motor, alasannya mah asapnya suka gak kelihatan dan cepet hilang, lalu kemudian mulai masuk gigi satu, dan ketika maju. beberapa meter begitu akan masuk ke gigi dua, ternyata kita sudah sampai di hotel cihampelas, si Tantan hanya gogodeg, gogodeg itu semacam geleng-geleng kepala cuma tidak terlalu keras dan tidak terlalu lebay, saya hanya senyum-senyum melihat si Tantan yang sedikit menyesal karena sudah nurut sama saya.

“gelo maneh mah teu ngabejaan sugan teh jauh euy.” Maksud si Tantan gila kamu mah nggak ngasih tahu kirain jauh euy. Euy itu apa ya, maaf saya belum menemukan artinya euy. Ya anggap saja sebagai pemanis buat yang nulis.

“hehe.”

Saya dan si Tantan turun dari motor kemudian si Tantan memarkirkan motornya tepat disebelah mobil kijang Innova enggak tahu punya siapa, karena memang begitu posisi parkirnya, soalnya kamu tidak ikut sama saya dan si Tantan sih jadi aja enggak tahu. Saya masuk kehotel itu duluan menuju receptionist sambil sekalian menanyakan dikamar berapa kakaknya si Tantan menginap. Saya juga kenal sama kakaknya si Tantan, namanya Ipan sebenernya huruf p nya pake f cuma karena saya sudah biasa dari dulu manggilnya a Ipan ya sudah Ipan saja, sementara si Tantan malah sibuk nelpon sana sini, ya sudah saya tinggal saja di luar.

“maaf kang kenal sama A ipan kakaknya tantan gak?” Tanya saya pada receptionist yang sedang khusyu’ kutrat-kotret. Jadi kutrat-kotret itu semacam apa ya, semacam menuliskan atau menjumlah angka-angka pada selembar kertas baik itu angkanya berupa pecahan uang biasanya yang dihitung adalah hutang.

“oh nggak tahu a.” itu si receptionist manggil aa sama saya.

“ah masa gak tahu, kata si tantan nginep disini.”

“tantan mana ya?” Tanyanya lagi

“bentar ya kang.” Saya menuju pintu masuk dan memanggil si Tantan untuk masuk kedalam.

“nah ini kang si tantan teman saya adiknya a ipan teh.” Kata saya sambil memperlihatkan si Tantan pada receptionist itu yang kemudian memperhatikan wajah si Tantan.

“kenal gak?”

“enggak ah.” Jawabnya sambil gogodeg,

“ya sudah atuh kalau gitu mah kenalan aja dulu.” Suruh saya pada receptionist itu, dia menurut saja apa yang saya perintah kemudian menjulurkan tangannya ingin bersalaman sama si Tantan, si Tantan pun menyalaminya.

“keu ari kamu ngobrol naon wae emangna jeung resepsionis eta?” Tanya si Tantan pada saya serius, artinya keu kamu bicara apa aja emangnya sama resepsionis itu.

“nya saya tanya, akang kenal gak sama a ipan kakaknya kamu.”

“eeh kamu mah, a ipan teh dari tadi saya teleponin katanya lagi keluar dulu, belanja baju buat anaknya.”

“yee kenapa atuh kamu bukan bilang kalau a ipan ada diluar!”

“yee.”

“yee.”

Terus karena malu sama si resepsionis itu si Tantan terlihat sedikit mengusap perutnya yang mulai membusung seperti busung lapar,

“keu sambil nunggu a ipan kita ke sebrang yu, makan dulu.” Ajak si Tantan pada saya. Dan saya pun mengiyakannya mengantarnya makan malam dulu di seberang di nasi goreng tempat biasa mangkal kang Maman hanya mengantarnya karena saya sudah makan. Ternyata bukan mang Maman yang jualan pada malam itu, yang jualannya malah adiknya, saya lupa lagi namanya siapa, tapi yang pasti adiknya kang Maman itu adalah kakaknya teman saya si Dadi yang sekarang tiggal di Lampung.

Saat sedang manikmati makan malam tidak lama kemudian datang teman saya namanya Hendri, karena sudah agak lama tidak ketemu saya pun sama si Hendri ngobrol sana ngobrol sini. Maaf obrolannya saya potong karena takut kepanjangan, saya nya keburu males nulisnya. Setelah semuanya selesai dan si Hendri kembali ke tempatnya masing-masing, saya sama si Tantan kembali menuju hotel tapi tidak lupa membayar makan malamnya. Dan ternyata a Ipan belum juga datang ke hotel, si Tantan jadi cemas karena malam semakin malam sementara dia kelihatannya sudah ingin pulang. Maka Tantan pun mencoba mengirim sms pada a Ipan. Dan balasan dari a Ipan menyatakan kalau a Ipan masih OTW.

“euh lila ieu mah.” Si Tantan berbicara sendiri pada dirinya sendiri, dan sedikit kesal pada a Ipan.

“ya sudah atuh kita susul saja a ipan nya.” Saya punya usul.

“iya susul kemana?”

“ya kemana aja yang penting kita susul.”

“iya atuh hayu.” Jawab si Tantan sambil melangkah maju bersama dengan saya.
Setelah sekitar beberapa meter berjalan kaki, dari kejauhan saya dan Tantan melihat sosok yang tambun itu, ternyata benar itu adalah a Ipan yang sedang ngutak-ngatik handphone nya seperti sedang sms-an.

“aduh tan saya teh lagi nyari materai buat besok euy.” Kata a Ipan santai pada kami berdua yang sudah kesal menungguinya.

“emang besok kenapa a, bukannya materai mah buat surat-surat berharga a?”

“iya maksudnya mah itu.”

“wah atuh jam segini mah mau nyari dimana?” Tanya si Tantan.

“ya sudah atuh kita sama-sama nyari materainya.” Saya punya usul lagi.

Maka saya, Tantan, dan a Ipan pun sepakat menyebar untuk mencari materai ke warung, warnet, tukang voucher pulsa, ke tukang gorengan, tukang brownies kukus, sampai ke pom bensin tempat si Hendri bekerja. Ternyata malam itu kami bertiga sibuk untuk mencari selembar materai kecil, yang tidak pernah kami temukan. Dan sebenarnya tidak saya perlukan. Oh dimanakah kau materai?

03 September 2009

JADIAN


Secara tidak sadar saya tiba-tiba saja tersenyum manis setelah sebelumnya mendengar percakapan seorang anak laki-laki yang jelas terlihat seorang pelajar SMU karena masih memakai seragam, ya bisa juga dia itu kelas satu, atau kalau bukan kelas satu berarti dia kelas dua, atau kalau buka kelas dua sudah pasti dia itu kelas tiga! Percakapannya di telepon genggam itu seperti sedang mengabari pada teman-temannya kalau dia baru saja jadian. Dan seterusnya hanya tawa-tawa tanda bahagia yang terlihat dari wajahnya. Adeuuuuhh euy…

Kenapa saya malah ikut tersenyum? Ya soalnya saya sudah tahu kalau anak SMU itu baru saja jadian, jadian disini maksudnya dia baru saja meraih cinta sang pujaan hati, tapi lama kelamaan seperti biasa selalu saja ada pertanyaan-pertanyaan entah itu penting atau tidak. Kenapa sih harus kata jadian yang dipakai untuk menandai bahwa seseorang itu baru saja diterima perasaan cintanya (aduh gimanaaa gituh kalau harus mengucapkan dan menulis kata-kata perasaan cinta) karena secara kata dasarnya yaitu jadi yang diberi imbuhan –an dimana kata jadi ini mempunyai makna sesuatu yang telah tercapai seperti dalam kalimat “wah bangunan itu ternyata jadi juga” ketika kata jadi dalam kalimat itu diberi imbuhan –an maka akan terdengar rancu mari kita simak “wah bangunan itu ternyata jadian juga”, sebab kalimat jadi ini hanya cocok dengan imbuhan ke-an (kejadian) dan me- (menjadi), maka dari itu imbuhan –an ini seharusnya tidak berlaku lagi kecuali dalam bahasa sunda kalimat jadian ini memang benar-benar berlaku seperti pada kalimat berikut “sok ah ngarah rame urang jadian deui”.

Jadi sudah tuntaskah permasalahannya ? oh tentu saja belum, kita harus menyepakati kata pengganti untuk kata jadian, untuk maksud cinta seseorang yang baru saja diterima, saya sempat berpikir bagaimana kalau kalimat jadian ini digantikan oleh kata sepakat, karena meurut saya kata sepakat itu cukup sesuai dan pas untuk mengganti kata jadian, sebab pemikiran saya sederhana saja, ketika seorang laki-laki penyatakan perasaan cintanya pada seorang perempuan kemudian cintanya diterima maka disitu terjadi sebuah kesepakatan, jadi bagi siapapun yang baru saja punya pacar baru dan ingin mengabarkan pada teman-temannya, cobalah sekali-kali menggunakan kata sepakat seperti ini “wah seneng banget rasanya, akhirnya aku sama dia sepakat untuk berpacaran” YUUU…

MEMBANTING TULANG


Di era yang serba cepat dan instan saat ini bagi orang-orang yang sudah terbiasa pabaliut dengan pekerjaannya setiap hari, dituntut harus serba cepat pula dalam mengerjakan setiap pekerjaannya. Pemandangan yang pabaliut ini biasanya terlihat dikantor-kantor swasta bonafit yang menjunjung tinggi kedisiplinan dan etos kerja yang prima, tidak percaya? Silahkan untuk melamar kerja ke perusahaan-perusahaan swasta ternama. Tapi pembahasannya agak melenceng sedikit, kesibukan yang sangat dan terlalu mementingkan pekerjaan dikantornya merupakan salah satu pemicu pertengkaran dan percekcokan dalam rumah tangga, bahkan bisa berujung pada perceraian (karena seringnya bertengkar), karena salah satu penyebab perceraian adalah adanya perkawinan. Kalau begitu masih mau melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan dengan tingkat kerja yang tinggi? Pasti mau lah kan biar bisa ngredit motor sama blekberi, begitulah kata salah seorang pekerja keras.

Kemudian ada salah satu ungkapan dimana saat kita mendengarnya, pasti kita akan menganggap bahwa itu tidak mungkin bahkan itu merupakan ungkapan yang sama sekali tidak terbukti kebenarannya alias bohong. Contoh kecil saja, ada seorang istri marah-marah pada suaminya sendiri kalau suaminya itu sudah tidak punya lagi waktu untuk keluarganya terutama untuk anak-anaknya yang dilahirkan oleh sang istri, karena semua waktunya telah disita ditempat kerja. Ketika pergi ke kantor anak-anaknya masih tidur, lalu saat pulang kerumah anak-anaknya itu sudah tidur terlelp, karena jarang bertemu dengan sang ayah dan merasakan rindu yang begitu dalam tidak jarang salah satu anaknya yang masih duduk dibangku sekolah dasar ketika tidur selalu mengigau memanggil-manggil kepala sekolahnya. Kemudian tidak mau kalah oleh sang istri dan membela diri si suami membalas kata-kata si istri

“dasar kamu ini, istri tidak tahu diuntung saya itu bekerja seharian membanting tulang demi kalian semua!!”

jelas kan? Sebuah pembelaan yang sangat tidak mungkin, apakah sang suami benar-benar membanting tulangnya saat berada di tempat kerja? Sekali lagi itu benar-benar tidak mungkin, pada kenyatannya justru di dalam kantor yang saya ketahui tidak pernah ada kegiatan menbanting-banting tulang, jikalau ada itu pasti sebuah perusahaan yang meneliti benda-benda purbakala yang berupa tulang belulang yang memang harus dibanting dengan maksud untuk mengethui usia dari tulang tersebut.

Bandingkan dengan para penjual daging di pasar walaupun setiap hari mereka berkutat dengan daging dan tulang, tetapi mereka sama sekali jarang membanting-banting tulang jualannya, karena mereka sadar akan menurunkan nilai jualnya. Tapi setidaknya para penjual daging ini dapat dipercaya ketika harus memberikan alasan “saya ini bekerja membanting tulang demi kalian” jadi pilih mana, bekerja dikantoran atau menjadi penjual daging, tapi saya berpesan jika akan berjualan daging jangan daging gelonggongan karena akan merusak kesehatan.