Dalam bayangan saya sebuah kota adalah suatu tempat yang memiliki keindahan, menarik untuk dikunjungi oleh siapapun, bersih dan segalanya tertata dengan rapih dan teratur. Perihal mengenai apa yang dibayangkan oleh saya tentang sebuah kota diatas yang kemudian memunculkan interupsi dari anda mengenai sebuah kota dimana kota itu seperti ini, kota itu seperti begini, dan masih banyak lagi persepsi ideal mengenai sebuah kota. Menurut saya hal itu sah-sah saja dan merupakan hak anda untuk menilai segala sesuatu dari kacamata anda sendiri, toh setiap warga, yaitu warga yang mendiami suatu kota tentunya akan mempunyai pandangan yang berbeda-beda pula tentang kotanya, tidak terkecuali bagi Kota Bandung, di Kota Bandung pun setiap orang dengan latar belakang yang berbeda-beda tentu mempunyai pandangan tersendiri terhadap kotanya.
Seperti yang kita ketahui Bandung adalah sebuah kota yang cukup indah di ruing ku gunung, dimana jika kita berada disuatu tempat di Kota Bandung kita masih bias melihat gunung-gunung, bukan hanya itu keindahan lainnya yang dapat dilihat, yaitu jika suatu waktu kita menuju daerah Bandung Utara entah itu Ciumbuleuit dengan Punclutnya ataupun di daerah Ir. H. Juanda atau yang kita kenal Dago (terutama dago yang menuju perbukitan), ketika malam hari kita akan melihat keindahan kota dengan gemerlapnya lampu-lampu yang menyala dari rumah-rumah, jikalau diibaratkan akan seperti hamparan langit yang terang oleh gemerlapnya bintang, dan mungkin masih, masih banyak lagi keindahan lainnya yang belum sempat saya nikmati.
Namun dibalik keindahannya, Bandung bagi sebagian orang merupakan kota yang cukup semrawut, entahlah sebetulnya saya pun tidak begitu mengetahuinya lebih jauh dari aspek mana kesemrawutan itu berada. Yang jelas akan beragam sudut pandangnya, apakah itu dari sisi lalu lintasnya, dari pemukiman penduduknya, keberadaan para pedagang kaki lima, bahkan mungkin juga tata letak dari beragam bangunan yang tidak sesuai dengan penempatannya atau mungkin juga terlalu banyaknya atribut-atribut promosi yang dipasang begitu saja. Akan tetapi dari apa yang saya lihat, kecenderungan akan kesemrawutannya memang tampak, atau mungkin juga sudah terjadi sejak lama. Kesemrawutan kota, ini pula yang saya dengar dari beberapa orang yang secara tidak sengaja berinteraksi dengan saya, kebanyakan dari mereka menilai bahwa kesemrawutan kota ini lebih banyak pada sisi lalu lintasnya, namun saya pun tidak mengetahui alasan labih jaunya. Mungkin saja apa yang mereka maksud semrawutnya lalu lintas adalah karena semakin banyaknya jumlah kendaraan, banyaknya rambu-rambu yang rusak sehingga menyebabkan kendaraan yang tidak teratur, atau mungkin juga penataan parker yang kurang baik.
Semrawut bukan hanya terbatas pada pengertian sesuatu yang acak-acakan dan ketidakaturan, akan tetapi kesemrawutan dapat pula terjadi pada sesuatu yang dianggap bukan hal yang paling utama dalam suatu kesemrawutan, namun tetap mempunyai andil dalam menciptakan suatu kondisi yang semrawut. Contohnya seperti jalan-jalan yang berlubang, sehingga disamping menciptakan jalanan yang macet, juga memungkinkan terjadinya kecelakaan terutama pada malam hari. Kemudian dari sisi keindahan kota, sering kita jumpai pada dinding-dinding tembok beragam flyer, poster ataupun bentuk-bentuk promosi lainnya yang ditempel hampir bertumpuk dengan yang sebelumnya, sehingga dinding-dinding tersebut tampak kotor dan tidak indah, sehingga pernah pada suatu waktu seorang teman dari Ibu Kota mengungkapkan kalau Bandung seperti kota iklan, karena mungkin dalam pengamatannya di setiap jalan sudah begitu banyak atribut-atribut promosi, akan tetapi tidak bisa disalahkan begitu saja mengenai atribut-atribut promosi tersebut, alasannya karena mungkin berpromosi dengan menempelkannya dijalan-jalan dinilai lebih efektif dan lebih terlihat oleh khalayak banyak.
Begitu pula dengan beberapa orang yang beranggapan jika keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan ditempat-tempat yang tidak semestinya, menjadi salah satu penyebab kesemrawutan, sehingga jika dibiarkan akan menjadi sesuatu yang permanent, terus menetap hingga munculnya aksi kucing-kucingan antara aparat dengan para pedagang kaki lima. Begitu pula dengan keberadaan PKL musiman yang selalu membanjiri tempat-tempat tertentu dan pada saat-saat tertentu, seperti halnya saat bulan Ramadhan mendekati hari lebaran dimana jumlah antara pembeli dan penjual sama meningkat, dan efeknya ketika sebagian orang yang berbelanja menggunakan kendaraan yaitu terjadinya kemacetan, kemudian trotoar pun nasibnya kurang lebih sama dimana fungsinya sebagai sarana untuk para pejalan kaki aksesnya kian tertutup oleh berbagai aktifitas perekonomian. Diberlakukannya larangan untuk berjualan di sejumlah titik di Kota Bandung mungkin merupakan suatu bentuk perhatian akan ketidakteraturan dan ketidaknyamanan didalam kota, walaupun pada kenyataannya sering kita jumpai di beberapa titik tersebut masih ada yang secara diam-diam masih saja berjualan.
Sudah mencapai tingkat seperti apakah kesemrawutannya? Mudah-mudahan saja tidak terlalu parah. Sebuah Perda yaitu Perda K3 (Keindahan, Ketertiban, dan Kenyaman) pun disiapkan untuk meminimalisir kesemrawutan tersebut. Lalu ketika kesemrawutan itu terjadi, maka yang dilakukan adalah langkah-langkah solusi. Solusi adalah pemecahan masalah, dirancang secara baik dan kreatif dan tentunya harus menguntungkan semua pihak.
Seperti yang kita ketahui Bandung adalah sebuah kota yang cukup indah di ruing ku gunung, dimana jika kita berada disuatu tempat di Kota Bandung kita masih bias melihat gunung-gunung, bukan hanya itu keindahan lainnya yang dapat dilihat, yaitu jika suatu waktu kita menuju daerah Bandung Utara entah itu Ciumbuleuit dengan Punclutnya ataupun di daerah Ir. H. Juanda atau yang kita kenal Dago (terutama dago yang menuju perbukitan), ketika malam hari kita akan melihat keindahan kota dengan gemerlapnya lampu-lampu yang menyala dari rumah-rumah, jikalau diibaratkan akan seperti hamparan langit yang terang oleh gemerlapnya bintang, dan mungkin masih, masih banyak lagi keindahan lainnya yang belum sempat saya nikmati.
Namun dibalik keindahannya, Bandung bagi sebagian orang merupakan kota yang cukup semrawut, entahlah sebetulnya saya pun tidak begitu mengetahuinya lebih jauh dari aspek mana kesemrawutan itu berada. Yang jelas akan beragam sudut pandangnya, apakah itu dari sisi lalu lintasnya, dari pemukiman penduduknya, keberadaan para pedagang kaki lima, bahkan mungkin juga tata letak dari beragam bangunan yang tidak sesuai dengan penempatannya atau mungkin juga terlalu banyaknya atribut-atribut promosi yang dipasang begitu saja. Akan tetapi dari apa yang saya lihat, kecenderungan akan kesemrawutannya memang tampak, atau mungkin juga sudah terjadi sejak lama. Kesemrawutan kota, ini pula yang saya dengar dari beberapa orang yang secara tidak sengaja berinteraksi dengan saya, kebanyakan dari mereka menilai bahwa kesemrawutan kota ini lebih banyak pada sisi lalu lintasnya, namun saya pun tidak mengetahui alasan labih jaunya. Mungkin saja apa yang mereka maksud semrawutnya lalu lintas adalah karena semakin banyaknya jumlah kendaraan, banyaknya rambu-rambu yang rusak sehingga menyebabkan kendaraan yang tidak teratur, atau mungkin juga penataan parker yang kurang baik.
Semrawut bukan hanya terbatas pada pengertian sesuatu yang acak-acakan dan ketidakaturan, akan tetapi kesemrawutan dapat pula terjadi pada sesuatu yang dianggap bukan hal yang paling utama dalam suatu kesemrawutan, namun tetap mempunyai andil dalam menciptakan suatu kondisi yang semrawut. Contohnya seperti jalan-jalan yang berlubang, sehingga disamping menciptakan jalanan yang macet, juga memungkinkan terjadinya kecelakaan terutama pada malam hari. Kemudian dari sisi keindahan kota, sering kita jumpai pada dinding-dinding tembok beragam flyer, poster ataupun bentuk-bentuk promosi lainnya yang ditempel hampir bertumpuk dengan yang sebelumnya, sehingga dinding-dinding tersebut tampak kotor dan tidak indah, sehingga pernah pada suatu waktu seorang teman dari Ibu Kota mengungkapkan kalau Bandung seperti kota iklan, karena mungkin dalam pengamatannya di setiap jalan sudah begitu banyak atribut-atribut promosi, akan tetapi tidak bisa disalahkan begitu saja mengenai atribut-atribut promosi tersebut, alasannya karena mungkin berpromosi dengan menempelkannya dijalan-jalan dinilai lebih efektif dan lebih terlihat oleh khalayak banyak.
Begitu pula dengan beberapa orang yang beranggapan jika keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan ditempat-tempat yang tidak semestinya, menjadi salah satu penyebab kesemrawutan, sehingga jika dibiarkan akan menjadi sesuatu yang permanent, terus menetap hingga munculnya aksi kucing-kucingan antara aparat dengan para pedagang kaki lima. Begitu pula dengan keberadaan PKL musiman yang selalu membanjiri tempat-tempat tertentu dan pada saat-saat tertentu, seperti halnya saat bulan Ramadhan mendekati hari lebaran dimana jumlah antara pembeli dan penjual sama meningkat, dan efeknya ketika sebagian orang yang berbelanja menggunakan kendaraan yaitu terjadinya kemacetan, kemudian trotoar pun nasibnya kurang lebih sama dimana fungsinya sebagai sarana untuk para pejalan kaki aksesnya kian tertutup oleh berbagai aktifitas perekonomian. Diberlakukannya larangan untuk berjualan di sejumlah titik di Kota Bandung mungkin merupakan suatu bentuk perhatian akan ketidakteraturan dan ketidaknyamanan didalam kota, walaupun pada kenyataannya sering kita jumpai di beberapa titik tersebut masih ada yang secara diam-diam masih saja berjualan.
Sudah mencapai tingkat seperti apakah kesemrawutannya? Mudah-mudahan saja tidak terlalu parah. Sebuah Perda yaitu Perda K3 (Keindahan, Ketertiban, dan Kenyaman) pun disiapkan untuk meminimalisir kesemrawutan tersebut. Lalu ketika kesemrawutan itu terjadi, maka yang dilakukan adalah langkah-langkah solusi. Solusi adalah pemecahan masalah, dirancang secara baik dan kreatif dan tentunya harus menguntungkan semua pihak.