25 Oktober 2010

24 Oktober 2010

KACA

Dari kejauhan didataran yang tinggi, mataku seakan tanpa lelah dan jenuh menyaksikan gejala-gejala yang sedang berkecamuk, yaitu kehancuran. Entahlah mungkin aku tidak setegar mereka untuk menghadapinya atau mungkin juga sebaliknya, mereka yang tidak setegar aku. Bahwa kehancuran itu lebih banyak menumpahkan air mata, porak poranda jiwa hingga tembok-tembok raksasa. Gambaran-gambaran tentang ketidak aturan dan perpecahan yang semula hanya sebuah titik hingga menjadi sebuah lubang besar yang menganga. Sungguh menjadikan pikiranku lebih berat daripada mengangkat sebongkah batu. Tanah yang damai terinjak-injak oleh segala pikiran yang liar. Akhirnya yang ada hanyalah berita-berita yang mengguncang perasaan. Tidak ada pertanyaan, karena yang kulihat berantakan bukanlah sesuatu yang harus dipertanyakan.

Suasana yang semakin tajam adalah pikiran kita yang dulu, kita terlalu ragu karena sudah terlanjur diburu dan dipenjara oleh segala ramalan yang tak menentu. Kecemasan harus dibantah, dan keragu-raguan tak ada yang benar. Kepalan tangan adalah kuat dan tanda tak pernah takut. Terlampau jauh berlari dan berpikir segera saja enyahkanlah supaya tidak terus menerus menjadi ancaman, dan menjadi seperti air yang tidak pernah menyerah menetesi batu yang juga tidak pernah takut mempunyai lekuk.

Segala pemandangan yang sudah buram tampak terlihat dari balik kaca, keinginan jiwa ini adalah menapakkan kaki pada tanah dengan ribuan kerikil tajam, mulut dan tangan bergejolak ingin menghantam jiwa dan menara. Namun hembusan angin yang masih tersisa memelukku untuk terus bertahan terduduk diam, yang akhirnya terus meyakinkanku bahwa beribu bijak akan kudapat untuk terus membuat jiwa ini semakin berbesar hati membuka dan menerima segala amarah dan dengki yang tajam, hitam, pahit dan keras sehingga menjadikan diri sekuat istananya.

Mari sejenak kita lihat hamparan tanah dan gelombang air yang ada di negeri penuh mimpi. Kini tidak lagi seperti kursi atau seperti gedung yang tinggi gagah berani mengikat sebuah layar yang terkembang dan berkibar-kibar. Ia tertaih-tatih bahkan sepertinya tak sanggup lagi untuk berdiri, sudah terlalu deras hantaman batu yang menerjangnya di kanan kiri. Adakalanya ketika semakin rapuh, kita yang berada didalamnya bersama berlayar seakan mempunyai tekad yang sama untuk menjadikannya sangsi pada setiap langkah dan cita-cita yang sama. Dan ketika keserasian dan kebahagiaan sudah punah, yang tertinggal dan bertumpu tak lagi begitu sempurna, semakin melemah dan mudah dijajah.

Biarpun luka yang sudah sedemikian menganga dan parah adalah bukan tujuan kita untuk terus menikmatinya, karena semua akan menjadi masa lalu. Langkah yang menjadi tapak jejak pada pasir dan tanah akan tersapu angin dan tersirami air hujan. Rasa perih adalah buah dari kejatuhan, tapi akan menjadi cermin bagiku dimasa yang akan datang. Biarkan semuanya terbuka dan tampak jelas, agar kita tahu bahwa kita pernah jatuh, sendiri atau bersama. Lalu pada titik yang peling rendah dan garis yang sudah merata, kembali kita berjuang menciptakan jejak baru dengan menutup jejak masa lalu, ketakutan kadang mendera tapi tak selamanya ia berkuasa. Kita bisa menyerangnya, hingga memastikan bahwa segala ketakutan itu telah mati dan tak pernah dijumpai.

Api sudah menyala bergerak menuju keangkuhan, untuk mengetuk dan membakar dinding-dinding yang menutupi hati yang sudah terlalu gelap berdiam diri dan bersemayam pada ruang-ruang tanpa celah. Ketika sudah hancur, maka hendaknya berkaca pada sebuah layar putih yang terbentang berisi gambaran-gambaran pada harapan dan cita-cita yang pernah terjatuh begitu dalam, dan jika sempat maka kembalikanlah hari ini dimana semua bisa kenyang dan tertawa walaupun perlahan, karena setiap langkah adalah pasti.

11 Oktober 2010

Jagalah Hati

Memang gak enak pemandangannya kalau lihat orang yang berantem..