31 Mei 2011

DIA (cerita bersambung) #3

SARAPAN PAGI

Diruang makan ibu dan bapak Nera sudah menunggu, di meja makan pun sudah tersedia oleh menu-menu khas sarapan, dan salah satu menu kesukaan keluarga itu – nasi goreng. Sambil menunggu Nera, ibunya bercerita pada suaminya perihal apa yang dilihatnya semalam, suaminya itu tampak serius mendengarkannya sambil mengumpulkan berbagai macam kesimpulan sebagai bentuk persiapan untuk menjawab jika saja di ujung cerita muncul berbagai macam pertanyaan “kalau menurut ayah bagaimana?”, namun sebelum semua makanan yang ada di meja menjadi dingin, cerita ibu yang semula akan sangat panjang ternyata berakhir juga, tapi benar saja pertanyaan yang tidak diharapkan kehadirannya akhirnya datang juga menghampiri.

“terus kalau menurut ibu gimana?” balik bertanya.

“loh kok bapak malah balik tanya sih?”

“ya kalau menurut bapak sih, bapak setuju-setuju saja kalau nera mau menikah sama titan, kalau memang sudah waktunya kenapa enggak bu.”

Merasa pikirannya sama ibu pun hanya tersenyum, terlebih lagi ibunya Nera sejak lama sudah memimpikan kehadiran seorang cucu di rumahnya, dan sepertinya hal itu akan segera terwujud, pikir ibunya. Kemudian di saat segala cerita dan tanya jawab itu selesai, di saat itu pula Nera muncul dari kamarnya berjalan menuju ruang makan, sedikit tergesa-gesa dan tampak sedikit merasa bersalah karena telah membuat kedua orang tuanya menunggu. Di tempat duduknya yang tepat menghadap ke arah ibunya, Nera tidak langsung mengambil makanan, tapi Nera merasa heran dengan raut wajah ibunya yang terlihat tersenyum lembut sambil sesekali melirik ke arah Nera, saat itu belum ada sesuatu hal yang perlu ditanyakan oleh Nera pada ibunya, sedangkan bapaknya terlihat santai-santai saja, yang ada saat itu bagi Nera adalah suasana yang tidak seperti biasanya, semuanya seakan-akan sedang merasakan sesuatu hal yang begitu membahagiakan, bahkan Nera merasa dirinya anek ketika ibunya meliriknya sambil tersenyum.

“pa bu ada apa sih, kok pada aneh begitu?”

“gak ada apa-apa kok.” Jawab ibunya masih terus tersenyum.

Lantas bapaknya yang melihat raut wajah anaknya yang sedikit tidak puas dengan jawaban ibunya, segera memotong tanya jawab ibu dan anak itu dengan mengajak keduanya untuk segera sarapan, maka satu persatu dari mereka mulai menikmati santapan di pagi hari itu.

>>><<<

Dua, tiga suapan sudah terlewati dan di pertengahan sarapan mereka yang belum habis, ibu Nera kali ini yang menatap heran pada anak semata wayangnya itu dan baru menyadari kalau pakaian Nera bukan pakaian yang biasa-biasa saja.

“loh nera kamu kok enggak kerja?”

“kerja bu, cuma hari ini ada meeting, nera enggak ikutan, males, jadi nanti siang saja nera ke kantornya.”

Apa yang Nera jelaskan seperti itu, kedua orang tuanya hanya menganggukan kepalanya perlahan dan meneruskan sarapan yang masih tersisa. Dan dengan sekejap pula ibunya berpikir bahwa inilah sebenarnya waktu yang tepat untuk sekedar ingin tahu tentang asal usul kotak cincin itu, lalu tanpa menunggu aba-aba dari siapapun ibunya langsung bertanya pada Nera yang sepertinya jiga terlihat sudah siap dengan segala pertanyaan yang akan segera menghampiri dirinya.

“nera waktu semalam ibu ke kamar kamu, ibu enggak sengaja lihat kotak cincin di meja rias kamu, saat itu ibu agak penasaran mau tahu tentang kotak cincin itu, tapi ibu pikir karena sudah malam jadi lebih baik ibu tanyakan saja besok, nah sekarang ibu cuma ingin tahu saja sayang, sebenarnya kotak cincin itu kamu dapat dari mana?”

“dari titan?”

“apa dia mau melamar kamu?”

“kapan dia ngasihnya?”

“kok kamu enggak bilang-bilang sama ibu?”

“berarti kamu sebentar lagi mau nikah ya?”

Mendengar serentetan pertanyaan dari ibunya itu, Nera hanya diam sambil menahan senyum, walaupun sebenarnya semua pertanyaan itu cukup berat untuk dijawab, tapi akhirnya Nera pun merasa tidak masalah dengan semuanya karena memang semuanya harus segera dijelaskan pada kedua orang tuanya. Bapaknya pun tersenyum mendengar pertanyaan borongan itu, lantas ibunya menjadi bingung sendiri perasaannya seakan-akan bersalah dan hampir saja berniat meinggalkan meja makan.

“memangnya pertanyaan ibu itu lucu ya?!”

“bapaknya juga sama malah senyam-senyum!” ujarnya lagi sambil melemparkan wajahnya ke arah suaminya, sedangkan yang menerima perkataan itu santai saja mengunyah makanan. Melihat suasana di meja makan yang kian “memanas” dan Nera juga merasa kalau ibunya itu sedikit kurang bisa di ajak bercanda, maka dengan segera menceritakan segala sesuatunya yang sangat ingin di ketahui oleh ibunya itu.

“habisnya ibu nanyainya kaya orang lari marathon saja.” Jawab Nera.

“ya sudah nera kasih tahu sama ibu, iya bu kotak cincin itu dari titan, dikasihnya tadi malam, secara enggak langsung sih itu bisa dibilang lamaran, dan secara terus terang juga titan ngajak nera buat nikah bu.”

“tuh kan apa ibu bilang juga, kalau memang begitu ibu sama bapak sih setuju-setuju saja sayang, titan juga kan orangnya baik, ya kan pak?”

“iya deh gimana ibu saja.”

“dasar bapak ini, susah ya kalau diajak bicara.”

Lalu meletuslah tawa dari Nera dan bapaknya, ibunya pun dengan terpaksa kemudian harus ikut tertawa lalu lambat laun suasana di meja makan semakin mencair dan menyatu. Selanjutnya Nera pun bercerita tentang segalanya bersama Titan selama ini, dan hal itu dilakukannya dengan maksud agar menjadi bahan pertimbangan kembali bagi orang tuanya untuk menerima Titan sebagai menantunya atau tidak.

Dan pagi hari saat berkumpul di meja makan itu menjadi seikit serius namun juga santai, Nera ceritakan semuanya dan mengalir apa adanya, tentu saja dengan sisi baik dan buruknya, tentang pasang surut hubungannya dan segala hal tentang jalinan cintanya. Segala saran dan masukan menjadi bagitu berarti bagi Nera, dan sejak sejak saat itu pula pesan-pesan bijak yang Nera terima sedikit demi sedikit dapat mengikis keraguannya dan juga dapat mendamaikan hatinya yang semula begitu resah. Namun bagi kedua orang tuanya semua keputusan sepenuhnya adalah hak Nera yang seharusnya tidak bisa dicampuri lebih jauh, karena mereka berprinsip bahwa kebahagiaan tidaklah bisa dipaksakan begitu pula dengan Nera, selain dirinya yang ingin merasakan bahagia, segala keputusannya justru ingin lebih membahagiakan kedua orang tuanya.

27 Mei 2011

DIA (cerita bersambung) #2

Secangkir Teh Hangat

Tepat didepan pagar rumah berwarna hijau muda, Nera sedikit terburu-buru keluar dari mobil Titan, disambut oleh rintik hujan yang turun dengan mendadak, singkat saja kata yang terucap oleh Nera pada Titan sebagai simbolisasi bahwa ia sudah sampai dirumah – akan pulang dan berpisah, Titan pun membalasnya dengan tidak kalah singkat, yang juga sebagai simbolisasi respon terhadap kekasihnya agar tidak mengecewakannya, walaupun dengan senyuman namun senyuman Titan itu terkesan dingin, sedingin sambutannya pada rintik-rintik hujan. Suara bunyi klakson mobil Titan menjadi pertanda perpisahan mereka, dari dalam mobilnya Titan melambaikan tangannya kemudian Nera yang menutupi rambut panjangnya dari siraman hujan oleh tas nya yang cukup lebar membalas lambaian tangan dari kekasihnya, dan Titan pun perlahan bergerak maju membawa mobilnya dengan meninggalkan Nera di depan pagar rumahnya – seorang diri. Nera pun segera membalikkan tubuhnya menghadap pagar, dengan tergesa-gesa pula Nera membuka kuncinya karena merasa pakaiannya mulai terasa basah oleh tetesan air hujan. Beberapa meter dari pagar Nera setengah berlari menuju pintu masuk rumahnya, dilihatnya gordyn masih terbuka begitu juga dengan lampu di ruang tamu yang masih menyala.

“tumben jam segini pada belum tidur.” Tutur Nera perlahan sambil melihat jam tangannya yang menunjukkan jam sepuluh, kemudian Nera menyeka kedua lengannya yang juga basah, lalu mengetuk-mengetuk pintu. Tiga ketukan saja sudah cukup membuat pintu rumahnya itu terbuka, ternyata ibunda Nera yang lebih bersedia membukakan pintu.

“loh, nera kamu kehujanan ya?!”

“sedikit kok bu, pas sampai depan rumah pas turun hujannya.” Jawab Nera seraya mencium tangan kanan ibunya, Nera pun kemudian tidak berlama-lama berdiri didepan pintu dan langsung memasuki rumah, dimana ia sedikit demi sedikit mulai merasa kedinginan, langkahnya diikuti oleh ibunya yang terlebih dahulu menutup pintu kemudian menguncinya dan menutupi kaca depan rumah dengan merapatkan gordyn.

Nera segera menuju kamarnya yang berada di lantai dua dan segera pula mengganti pakaian basah yang dikenakannya oleh pakaian tidur. Seperti sudah lelah dan malas untuk berbuat apa-apa lagi, ia langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang dibalut sprei bermotif garis-garis melintang dengan warna-warna pelangi, tempat tidur kesayangannya itu pun menjadi salah satu saksi bisu segala keluh kesah saat mengurung diri dikamarnya. Disaat Nera merebahkan tubuhnya itu dengan tangan telentang, matanya memandang lurus ke atas menuju angkasa menembus langit-langit rumahnya, mengingat-ingat kembali, mencerna, merenungkan lebih dalam apa yang baru di lewatinya bersama Titan di kedai kopi tadi. Namun di tengah-tengah lamunannya itu Nera seperti teringat pada sesuatu, dan pikirannya kembali tertuju pada kotak cincin itu, ia pun terbangun dan beranjak dari tempat tidurnya berjalan menuju meja riasnya dimana tas yang menyimpan kotak cincin itu tersimpan disana. Dihadapan cermin meja riasnya, Nera perlahan merogoh kedalam tas kulitnya yang juga pemberian dari Titan, lalu diambilnya kotak cincin itu, Nera kembali hanya bisa menatapnya tanpa membukanya sedikit pun walau untuk hanya bisa sekedar mengintip isinya seperti apa tidak terpikirkan olehnya. Wajahnya yang semula tertunduk memandang kotak cincin lalu ia arahkan ke arah cermin, ia kembali berpikir dan sebenarnya apa yang Nera pikirkan bukanlah mengenai bagaimana bentuk cincin, terbuat dari apa, harganya dan lain sebagainya, Nera benar-benar tidak peduli dengan semua itu, dan sebenar-benarnya yang menjadi pertanyaan Nera apakah Titan itu laki-laki yang tepat untuk menjadi suaminya kelak?

Tok…tok…tok…

Suara ketukan dari luar pintu kamar Nera seakan menjadi jawabannya, ketukan itu kemudian diikuti oleh suara ibunya yang memanggil-manggil Nera yang masih memandangi wajahnya sendiri di cermin.

“masuk saja bu, tidak di kunci.” Ucap Nera terdengar datar, dan pintu kamarnya segera terbuka tampat ibunya dengan senyum hangat membawa sebuah cangkir kecil yang beralaskan piring kecil mengepulkan asap dimana minuman itu belum di ketahui oleh Nera. Nera yang masih terduduk dan masih menggenggam kotak cincinnya menoleh ke arah ibunya dan raut wajahnya segera berubah kembali dengan sedikit berseri dan antusias ketika mengetahui ibunya membawa secangkir minuman hangat.

“repot-repot segala bu bawain aku minuman, ngomong-ngomong yang ibu bawa itu minuman apa?”

“ini teh hangat sayang, biar badan kamu juga hangat, kamu tadi kan kehujanan.” Jawab ibunya lalu memberikan secangkir teh itu pada Nera. Dengan berdiri di sisi kiri Nera, ibunya dengan tersenyum menatap anaknya itu yang sesekali meminum teh buatannya, sambil mengelus-elus kepala Nera di saat yang bersamaan pula tatapan mata ibunya kemudia tertuju pada kotak cincin yang tersimpan di meja rias, dihadapan Nera. Sedikit mengerutkan dahi, pikiran ibunya coba menelusuri makna dari kotak cincin yang baru dilihatnya itu namun hal itu tidaklah berlangsung lama, lalu selebihnya ibu dan anak yang tidak ditemani sang ayah karena sudah terlelap lebih dahulu, hanya berbincang-bincang dengan topik yang ringan-ringan saja khas obrolan malam dan kadang ditemani oleh tawa, namun tak sedikitpun ibunya mengeluarkan pertanyaan yang mengarah pada keberadaan kotak cincin itu.

Waktu pun terus merambat menelusuri perjalanan malam, begitu pula air teh yang semula penuh berada di dalam cangkir sudah tak bersisa lagi, entah sudah berapa ratus bahkan mungkin ribuan kata yang sudah mereka ucapkan untuk bercengkrama hingga mengantarkannya melebihi tengah malam, yang terasa kemudian adalah kantuk, mereka berdua sudah mempunyai pikiran yang sama untuk menyudahi segala pembicaraannya, dan hingga akhir pembicaraan dengan ibunya Nera sama sekali tidak mengutarakan dan mencurahkan segala apa yang sedang berputar-putar dalam kepalanya, pun demikian dengan ibunya yang tidak menyinggung keberadaan kotak cincin itu, meskipun kepekaan seorang ibu sudah mengetahui apa yang sedang dipendam dan dirasakan oleh anaknya, namun nampaknya sudah terlalu malam untuk membahas hal-hal yanag tampaknya akan menguras seluruh pikiran anaknya. Ibunya memutuskan untuk bertanya esok hari disaat Nera sudah benar-benar tenang. Ibunya langsung mengambil cangkir teh yang sudah kosong itu, tak lupa membelai kembali kepala Nera dan menyuruhnya dengan kelembutan dan kasih sayang untuk segera tidur, Nera menatap kepada ibunya membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih yang tulus. Lalu dengan langkah perlahan ibunya berlalu meninggalkan Nera, dan beberapa saat kemudian Nera pun segera beranjak dari tempat duduk meja riasnya, memalingkan wajahnya ke arah tempat tidur, bantal dan selimut yang terlihat olehnya sangat begitu menggoda untuk segera terlelap didekap oleh malam dan membawanya berpetualang berfantasi dalam dunia mimpi.

>>><<<

Ditengah malam yang sudah dinikmati oleh sebagian orang dengan terlelap begitu juga dengan Nera, Titan baru saja sampai dirumahnya karena setelah mengantarkan Nera menuju rumahnya, Titan tidak lantas pulang ia langsung berkeliling kota tanpa ada maksud dan tujuan yang jelas – hanya berkeliling saja sambil mencari sebuah jawaban. Disepanjang jalan saat mengelilingi kota Bandung yang sangat lengang dan dingin, yang ada dalam pikiran Titan hanyalah kata “mengapa”, “mengapa” dan “mengapa” atau “apakah nera masih belum siap menjadi istriku?”. Masih di tengah perjalanan dan dengan perasaan yang setengah gamang, silih berganti tawaran-tawaran yang seolah sebagai solusi dan jawaban-jawaban semu berkelebatan dalam pikirannya – klab malam, alcohol, cinta semalam dan sejuta solusi lannya, tapi Titan coba menahan itu semua dan terus meyakinkan dirinya bahwa harapannya bersama Nera kelak bisa terwujud.

Titan terduduk di sofa, ia pandangi langit-langit memikirkan apa yang sebenarnya akan terjadi dengan masa depannya, sampai-sampai untuk melepaskan sepatunya Titan begitu malas, pikirannya benar-benar sudah menguras sebagian tenaga dalam tubuhnya. Namun angin malam selepas hujan yang masuk melalui pintu yang sengaja Titan biarkan sedikit terbuka cukup memberinya kesejukan ditengah-tengah kepenatannya, dan sesekali ia menarik nafas panjang.

“den ini minumnya.” Ucap mang Kodar, pembantu yang sudah sepuluh tahun bekerja di keluarga Titan, yang tiba-tiba saja muncul dari arah belakang dimana Titan duduk, lalu meletakkan secangkir teh hangat di meja tepat di hadapan Titan.

“loh mang kodar belum tidur?” tanya Titan sedikit kaget.

“belum den, kan mamang nungguin aden pulang, ya sudah den kalau begitu mamang tidur duluan ya.”

“oh iya…iya mang makasih, biar gerbang sama pintunya saya aja yang nguncinya.” Ucap Titan yang selalu merasa tidak tega jika melihat mang Kodar, apalagi di tengah malam seperti itu Titan semakin tidak tega untuk menyuruh mang Kodar mengunci pintu gerbang.

Sebelum menikmati secangkir teh hangat itu, Titan beranjak dari sofa menuju ke depan rumah unruk mengunci pintu gerbang, dan hawa dingin membuatnya untuk segera kembali masuk kedalam rumah dan menikmati secangkir teh hangat menjadi tujuan utamanya. Ditengah-tengah suasana pikiran dan jiwa yang sudah tersugesti menjadi santai oleh secangkir teh, kemudian Titan meraih telepon genggam yang terletak di meja, dalam benaknya ada keinginan untuk menghubungi Nera, namun ia berpikir bahwa itu tidaklah baik, lalu Titan mencoba untuk mengirimkan pesan singkat, tapi lagi-lagi pikirannya menolak, “jangan-jangan pesan ku itu akan menambah tekanan bagi nera”. Akhirnya benar-benar sudah tidak ada lagi celah baginya, dan segera menekan tombol switch off pada telepon genggamnya kemudian ia letakkan lagi pada tempatnya semula, dan kembali meminum dan menghabiskan teh yang hanya tinggal sekali teguk itu. Akhirnya Titan kembali bersandar pada sofa, dengan perlahan matanya mulai terpejam, membuatnya sudah tidak mungkin untuk pergi menuju kamar tidur, mungkin di sofa pun Titan tetap berharap bisa berbincang-bincang dengan Nera, walaupun itu hanya dalam mimpi.

25 Mei 2011

DIA (cerita bersambung)

Kotak Cincin

Malam seakan lebih terang dari biasanya, hawa dingin yang menusuk namun tidak begitu terasa oleh Nera yang sedang berada di sebuah kedai kopi di Bandung utara dengan pemandangan sinar-sinar lampu yang tampak kecil yang terpancar dari rumah-rumah penduduk kota, seperti kumpulan kunang-kunang sedang mengadakan pesta, Nera juga tidak pernah menduga jika di malam itu akan mendengar sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut kekasihnya – Titan. Sebuah pertanyaan di ujung suatu hubungan, dan sebuah kotak kecil berisi cincin permata cantik yang Titan sodorkan di hadapan Nera menambah kesan bahwa dimalam ini dan di tempat ini, Titan ingin segera mendengar jawaban dari Nera, walaupun ucapan yang keluar dan terdengar adalah hanya kalimat “ya” atau “aku bersedia”. Di sisi lain Titan merasa inilah waktu yang benar-benar tepat, karena tujuh tahun sebuah hubungan bagi Titan adalah sudah cukup untuk saling mengenali watak, sifat, dan berbagai sisi lainnya dari pribadi masing-masing.

“nera, mungkin sekarang ini sudah saatnya buat aku menanyakan suatu hal sama kamu.”

“menanyakan apa?”

“mmm..kamu mau gak nikah sama aku?”

Mendengar ucapan itu, jantung Nera berdetak sedikit lebih kencang, juga terlihat gugup walaupun sebenarnya Nera sendiri sudah menantikan pertanyaan seperti itu sejak lama, namun saat benar-benar mendengarkannya, ucapan Titan itu seperti mantra-mantra sihir yang membuatnya bungkam, beku juga bercampur rasa bahagia.

Malam di kedai kopi itu bagi Nera seakan-akan menjadi sebuah tempat yang akan paling dikenang dalam hidupnya, begitu pula dengan hari, tanggal dan jam nya mungkin saja tidak akan ia lupakan. Karena apa yang ia rasakan saat ini tidak pernah termimpikan sebelumnya. Kamudian aroma makanan dan minuman yang sudah tersaji di hadapan Nera dan Titan tercium begitu romantis, percakapan yang terjadi malam itu hanya senyum dan sedikit malu-malu. Kedai yang rimbun dikelilingi oleh pepohonan semakin terasa rimbun dan seakan-akan Nera dan Titan merasa hanya mereka berdua yang berada di kedai itu, walaupun saat itu pengunjung kedai itu cukuplah ramai, dan sebuah kata “pulang” seolah tidak ada dalam pikiran mereka berdua, kecuali hingga kedai kopi itu benar-benar sampai pada jam tutupnya.

Nera masih sedikit gemetar di sekitar kedua lengannya karena menggenggam kotak kecil berwarna merah berisi cincin permata pemberian Titan, namun ia masih ragu dan menimbang-nimbang apakah cincin ini boleh dan harus dipakainya saat itu juga, akan tetapi Titan pun tidak memberikan kuasa dan perintahnya pada Nera terhadap kotak cincin itu, Titan hanya menyodorkannya. Nera merasa mungkin jika dirinya menjawab “ya” atau “bersedia” Titan mungkin akan menyuruhnya membuka kotak berwarna merah itu. Tapi bagi Nera, hati yang selalu berkata jujur menjadi satu-satunya yang ia percayai, apa yang di katakana oleh hatinya? Adalah “jangan dulu berucap apa-apa”, “tetap menahan diri” dan “hal itu haruslah dipikirkan lebih panjang, bahkan harus lebih panjang dari usia hubungamu”. Disaat yang sama dari arah yang berlawanan, Titan masih memandangi Nera yang tengah berbincang dengan hatinya, dengan senyum dan tatapan yang masih menunggu jawaban, sesekali menyantap makanannya dengan perlahan. Lambat laun gelombang bisikan hatinya itu kian deras terdengar bukan hanya oleh kedua telinganya tapi juga oleh seluruh raganya. Dikala pertentangan dengan hatinya itu, Nera hanya bisa memandangi dan membayangkan isi di dalam kotak kecil itu, “mungkin suatu saat aku bisa membuka kotak kecil ini dan memakai cincinnya” pikir Nera.

“sayang kenapa nggak kamu buka kotaknya?” tanya Titan seperti sudah mengetahui apa yang sedang dipikirkan dan di rasakan oleh Nera. Dengan nada yang sedikit mendesak, karena ini bagian dari taktik Titan saja, jika Nera membukanya maka Titan menganggap bahwa itu adalah tanda setuju, tapi Nera tidak begitu saja menuruti kemauan kekasihnya itu, Nera lebih yakin pada kata hatinya dan hanya diam, karena Nera tahu sesungguhnya menjawab pertanyaan Titan itu cukup hanya dengan membuka kotak cincin itu atau membiarkannya. Dalam diamnya itu Nera berusaha berpikir keras mencari sebuah alasan yang tentunya dapat mendamaikan pertentangan dengan hatinya itu.

“ayo sayang buka saja, apa kotak itu kurang menarik buat kamu?’

“ma..maaf sayang, maksudku bukan tidak mau membukanya, tapi aku pikir bagaimana kalau kotak cincin ini aku buka dirumah saja, boleh kan?”

“kenapa harus dirumah, apa bedanya dengan membukanya disini?”

“yaa maksudnya biar lebih surprise saja.”

Titan terdiam sejenak seakan terhipnotis oleh jawaban-jawaban tangkas dari Nera, dan keadaannya malah berbalik, Titan sekarang yang menuruti kemauan Nera. Jika dinilai itu untuk kebahagiaan kekasihnya, atas nama cinta karena Titan pun mempunyai keyakinan yang besar bahwa Nera akan menerima “ajakannya” itu, asa Titan kian membumbung tinggi pada nera untuk benar-benar ingin menjadi pendamping hidupnya kelak. Namun Titan pun menyadari sepenuhnya dan memahami keadaan Nera, bahwa menikah bukanlah sesuatu yang dengan mudah dilaksanakan begitu saja. Tapi tetap saja sikap Nera itu mengundang pertanyaan-pertanyaan yang bercampur ragu dalam diri Titan, “apakah nera masih ragu menikah denganku?” , “apakah nera masih belum siap?”.

>>><<<

“maaf mas boleh minta bill nya?” tanya Titan pada seorang pelayan yang kebetulan sedang berjalan melewati meja makannya.

“bill, baik ditunggu sebentar kang.”

Akhirnya Titan merasa harus segera menyudahi semua ini, karena reaksi Nera benar-benar telah membuatnya serba tidak jelas dan membuatnya sedikit merasa kecewa, namun tidak berarti bahwa Titan marah besar, ini hanya masalah kesabaran dirinya saja, pemahaman dan pengertiannya terhadap jalan pikiran Nera. Tapi dibalik rasa kecewa serta segala perasaan dan pikiran negatif lainnya yang siap menguasai dirinya, Titan pun tidak mau begitu saja pikiran dan hatinya dikuasai dengan mudah oleh sesuatu yang tentunya dapat menghancurkan segalanya, ia cepat-cepat kembali menghadirkan rasa cintanya yang besar pada Nera dan hanya menyisakan satu harapan, yaitu bisa menikah dengan Nera.

Sejenak Titan pandangi jam tangannya yang menunjukkan tepat jam sembilan, namun tidak membuatnya kaget dan juga heran, justru Titan sangat menyukai hal-hal yang begitu tepat, Nera yang melihat Titan melihat ke arah jam tangannya berpikir bahwa Titan akan segera mengajaknya pulang. Menyadari akan hal itu, Nera mulai dihantui sedikit perasaan bersalah, karena melihat Titan tiba-tiba saja menanyakan bill pada pelayan, lalu sekilas memandangi jam tangannya dan sepertinya akan segera mengajaknya pulang. Nera menghukum dirinya bahwa itu semua adalah gara-gara dirinya yang tidak mau membuka kotak cincin itu. “aku harus tanyakan pada Titan” bisiknya dalam hati, namun belum juga sempat bertanya, pelayan tadi sudah kembali dengan membawa tagihan dan memberikannya pada Titan dan beberapa menit semua proses itu pun selesai. Dengan senyum yang terkesan agak dipaksakan Titan arahkan pada Nera, dan kemudian mengajaknya pulang. Dugaan Nera ternyata benar, dan sepertinya dugaannya itu tidak berlu ditanyakannya lagi, namun hanya satu pertanyaan yang masih tersisa, “apakah ini gara-gara dirinya atau bukan” dan pada kenyataannya rasa penasaran dan ingin tahu yang kian memuncak, akhirnya Nera benar-benar tanyakan pada Titan.

“sayang, kamu kok tiba-tiba ngajak pulang?”

“hmmm..ya biar enggak terlalu malam, kamu juga kan besok harus kerja, jadi biar enggak kesiangan.”

Mendengar alasan Titan seperti itu, Nera menerimanya saja, dan tidak mau lagi menambah-nambah pertanyaan, Nera pikir jawaban yang nanti keluar dari mulut Titan pun tidak akan sama dengan apa yang ada dalam hatinya. Titan yang memulai aba-aba beranjak dari tampat duduknya, tidak lupa membawa kunci mobil dan telepon genggamnya, hal itu kemudian diikuti oleh Nera yang juga ikut beranjak dari tempat duduk, namun saat berdiri mata Nera kembali tertuju pada kotak cincin itu, ia heran mengapa Titan tidak membawanya lagi padahal belum ia buka. Akhirnya tanpa bertanya dan dengan sedikit terburu-buru Nera menyambar kotak cincin itu dan langsung memasukkan ke dalam tas kulit hitamnya, kemudian menyusul dengan setengah berlari menuju ke arah Titan yang sudah lebih dulu keluar kedai menuju tempat parkir, untuk akhirnya mereka berdua meninggalkan kedai kopi itu, malam yang seakan panjang namun terasa singkat itu hanya sedikit saja yang bisa dinikmati oleh Titan dan Nera, selebihnya hanya menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dengan penuhn keyakinan, terutama oleh Nera.

23 Mei 2011

HUTANG MIGREN

Pagi setelah sarapan dan mandi kemudian adalah bingung dan melamun, menatap dompet dan merogoh saku celana, antara pergi dengan sepeda dan atau angkutan kota, bingung tujuan yang pertama akan kemana. Ternyata angin berbisik mengajak untuk sejenak singgah di sebuah tempat barang bekas sebekas bekasnya, kemudian hati ingin bertanya, ternyata mata malah terkesima oleh barang-barang yang ada, ah puasa belanja! Mending lari saja, tidak lari yang sebenarnya tapi hanya berjalan, ya sudah jalan kaki saja menuju jalan yang arahnya sudah ditentukan, maka bertemulah dengan angkutan kota dan sungguh senang bisa duduk di samping pak supir yang sedang menyetir, karena ini mobil jadi tidak ada suara tuk tik tak tik tuk, dan tibalah disebuah tempat yang katanya penghuninya lebih suka makan mie rebus atau sebut saja kosan, ternyata ada teman lama, lama tak berjumpa hanya berkata “hey” saja dan langsung melanjutkan kegiatan saling membalas obrolan digital dengan temannya. Ah daripada bicara tidak nyambung lebih baik tidur – tidur di kasur.

Kurang lebih hanya setangah jam tertidur dan terlelap, teman lama mencolek-colek kaki, maksudnya membangunkan, karena katanya mau pulang ke tempat kelahirannya, sungguh tidak jelas, mengajak berbisnis tapi dia sangat pesimis. Dan pulanglah dia si teman lama “goodbye, dadah, selamat jalan, hati-hati di jalan, sandalnya di pakai yaa, jangan lupa bayar ongkos, dan salam buat keluarga……….supir!” sebenarnya ada yang masih ingin dibicarakan tapi ya sudahlah teman saya sudah pergi membawa mimpinya sendiri. Tapi diam-diam saya merasa di sebelah kiri kepala merasa sedikit ada tekanan atau cubitan atau mungkin juga gesekan, apa mungkin ini yang di sebut dengan migren? Ya apa pun itu yang pasti sakit kepala, walaupun sakit kepala saya tetap gita dan bersemangat menagih…..hutang!

Sudah tiba di depan ruko yaitu rumah dan toko, bayar ongkos tapi tanpa senyum dari supir, sungguh sangat terkejut rolling door took seorang kawan sudah dipasangi tulisan “di ambil alih” pusing migren bertambah jadi dua, menagih hutang gagal. Bingung mau kemana tanpa tujuan, ya meluncur saja ke took buku, tapi tidak ingin ada yang di baca, karena hanya sebagai menunggu took itu buka, siapa tahu lewat sana lagi sudah buka. Di took buku tidak ada tempat sampah, jadi dengan terpaksa permen karet di telan saja, sehabis kenyang menelan ternyata sudah sore, mungkin waktunya sudah tepat untuk kembali ke ruko, maka saya tinggalkanlah toko buku itu tanpa membeli satu pun buku – mahal!!

Lihat angkot yang berjejer jadilah malas dibuatnya, karena pasti majunya masih lama, jadi lebih baik jalan saja, mengambil jalan menuju kawasan rumah-rumah besar yang sudah berubah menjadi kawasan wisata belanja baik lokal maupun domestic, tidak peduli karena saya tidak akan berbelanja, hanya ingin jalan saja melewatinya beberapa kilo meter saja. Tepat diseberang taman yang gaul, mencoba sedikit berpikir sana sini, apakah ruko sudah buka atau belum? Dan akhirnya naik angkutan kota ke arah yang sama jurusan yang berbeda, ternyata oh ternyata ruko teman masih tertutup seribu bahasa, sedikit rugi karena sudah turun dari angkot, tanpa menendang kaleng menyetop lagi sebuah angkot menuju jurusan rumah, dengan migren yang masih terasa, karena hutang belum lunas dan bisnis pun kandas.

03 Mei 2011

MEREKA

Sekian wajah yang ada dihadapanmu berwujud marah, membenci, mencela, menghina, meremehkan, menjerumuskan, menikam, meluap, meledak memuntahkan kebusukan suara serta kata, hendaknya segera pindahkan mereka kearah belakang, jangan biarkan mereka terus menerus menghantam kita layaknya terjangan badai di teriknya matahari. Segera palingkan wajah kita darinya dan tinggalkan lebih jauh lagi, karena mungkin saja akan lebih terasa tentang adakah yang telah menghilang dan satu saja yang tersisa.

Ketika telah berdiri dan berjalan sendiri, maka kini janganlah ragu untuk menjabat tanganku dengan erat dan kita akan bersama-sama bersuara, menempuh jalan jalan yang takkan pernah membuat kita lupa diri, dan menjadi penakut. Adakalanya apa yang kita inginkan tak selamanya mereka pun menginginkannya, dan seperti halnya dunia ini keindahannya seringkali mereka rengkuh semuanya, tanpa menyisakan setitik bahkan segenggam kepalan tangan bayi yang baru lahir. Adalah bagi semua itu bukanlah jalan yang benar-benar terang, memenuhi dahaga dengan menenggak seluruh manisnya air lautan fatamorgana hanyalah akan menambah buram lukisan wajah kita yang sudah tercampur dengan beragam warna, namun semuanya tidaklah permanen, semuanya masih bisa dirubah, cepat atau lambat. Mereka pun sama jika hendak meninggalkan rasa serakahnya semoga semuanya akan dapat pula merubah warna serta hatinya.

Dan janganlah selalu menggerutu, selalulah tertawa dan hari akan lebih terasa indahnya, tak terdengar lagi teriakan yang macam-macam, terasa tenang layaknya bunga-bunga yang sedang mekar, sejuk layaknya angin yang sedang menghempas debu yang diam-diam ingin berkarat. Semuanya menjadi akrab, tergambar dari tangan-tangan yang saling bercengkrama di sebuah taman yang dipenuhi pepohonan besar dan rimbun – hijau, gelora yang ada menyiratkan lepas tanpa kegelisahan karena mungkin telah meninggalkan mereka dibelakangnya.