31 Januari 2010

BELATI

Sekilas wajah muram terlintas dalam awan gelap. Aku pandang semakin dalam, apakah dia teman ataukah penjahat kambuhan yang selalu menakut-nakuti dengan belati. Aku senang jika memang ia kawan dan aku benci jia ia tak punya hati yang selalu menyakiti. Sungguh aku tidak suka dengan makna-makna segumpalan awan hitam, mendung yang selalu menyampaikan pesan-pesan menakutkan dan menggambarkan wajah-wajah kegetiran tanpa air mata yang membuatku hanya terhenyak diam, terkesima kemudian memberikan tawaran-tawaran pada tubuhku untuk segera berlari ataukah diam kembali, karena mungkin dengan berlari aku dapat lebih banyak menemukan arti dari semua ini.

Aku berusaha dan mencoba untuk tidak peduli. Tapi ternyata tidak peduli hanya menambah beragam teka-teki. Tidak mendengar dari kerasnya suara petir mungkin lebih baik bagiku, dan mataku ini akan tetap terbuka. Namun wajahku akan berpaling dari awan gelap lalu memandangi sekumpulan wajah-wajah cerah tanpa resah hasil karya pelangi yang tidak pernah sendiri. Namun lagi-lagi pertanyaanku, apakah di terangnya matahari dan pelangi semua akan berakhir senang?

Melihat dari segala kenyataan itu, aku mencoba mengintip celah-celah cerah, melihat dan meraba dimana segala kejelasan akan terbaca, terkonversi menjadi sebuah arti yang begitu jelas seperti lagu-lagu yang terdengar mengalun indah. Ada banyak hal yang sebenarnya harus didengar, tentang perjalanan, tentang alam, tentang cinta dan tentang belati.

Dari sekian suara-suara yang diperdengarkan, ada yang harus kucerna, kupikirkan, aku ilustrasikan hingga segala maknanya dapat aku tangkap dengan jelas. Semakin jelas tertangkap, maka semakin menyeruak pertanyaan-pertanyaanku. Apakah kau lemah dan apakah kau kuat? Lalu dapatkah kau berdiri bersama pagi kemudian bernyanyi dengan sisa-sisa embun pagi?

Karena embun dan pagi adalah semangat hari. Walaupun selalu berganti. Cepat, sungguh cepat sekali melebihi jurus langkah seribu. Tapi berlalunya hari yang hanya sekejap mata, masih dapatkah aku menunggu? Menunggu hingga benar-benar rindu. Rindu akan segala yang akan datang. Hal-hal baru ataukah hal-hal yang sudah lama. Termasuk menunggu datangnya teman lama, untuk bertatap muka, bercerita dan bercanda.

Tapi mendung terlalu kuat untuk kusapu dengan kuas berwarna pelangi. Menunggu adalah terus menunggu, tapi teman yang tak kunjung tiba bukanlah kuasa dan bukan pula keinginan kita, sekalipun ada dalam damai. Biarlah aku menunggu, menunggu belati, kemudian berlari…

LABIRIN

Bahagia terkadang membuat lupa. Jejak-jejak yang telah lalu seakan sirna. Tubuh berubah menjadi kuat. Membangun rasa dan hati yang menyala. Tidak peduli akan segala cerita. Hilir mudik entah kemana. Merangkai pola-pola keangkuhan. Menginjak suara teriakan nyata. Tertawa bahagia hampa. Segala tingkah laku tidak pernah jenuh. Hany nikmat yang seakan terasa panjang. Semakin panjang hati akan keras membatu dan rasa menjadi buta. Dimana akan kau hancurkan?

Ucapan selalu kita telan sebulat bulan purnama. Seperti terang, namun sekelilingnya gelap gulita. Lantas kita merdeka. Menunggu segala apa kira-kira yang akan diterima. Jutaan tangan menengadah menunggu datangnya perekat yang sederhana. Mulut terbuka tanpa suara karena haus dahaga. Dalam berita nyata kaum kosong menerima tanda menurun, lalu menanjak, lalu turun, kemudian merata. Berkali-kali berteriak namun tak pernah tertangkap. Selalu begitu dan begitu. Menghantar untuk menghempaskan percaya diujung waktu. Dan kita pun akkhirnya lelah percaya.

Keadaan ini benar-benar telah terserang oleh sakit. Sakit yang mulai menjangkit. Menyebarkan virus resah dan gelisah. Menggulirkan berbagai wacana kehidupan muram. Gambaran-gambaran mencekam akan masa depan telah menyebar. Aku gerah, aku pengap. Kita marah dan kita juga gerah. Gejalanya yang terasa hanyalah menambah parah. Hinggap dan menetap pada terminal darah. Mungkin ini adalah demam atau hanya panas biasa. Membiarkannya hanyalah tindakan sia-sia. Melawannya dengan sehelai kain dingin delam genggaman tangan kita adalah tindakan luar biasa. Maka cepatlah hilang dan segera pergi dengan sejauh-jauhnya segala sakit ini. Agar dapat kembali mengumpulkan segala daya dan upaya untuk melawan pikir yang tersihir. Yang telah membakar dengan puas.

Diri kita dua alam sedih dan bahagia. Peperangan selalu merebut bahagia. Dan iblis perang hancurkan sedih. Lalu raga menjadi hampa. Karena canda dan tawa telah habis didalamnya. Tanah yang luas seakan pagarnya mendekat dan menyampit. Apakah karena segala tidak percaya? Hingga gelap menyertainya. Penampakkanku seakan telah lelah. Karena merasa sekat pemisah semakin rapat. Merapat menemani tubuh yang lelah dan terkurung oleh gelap. Tangan-tangan yang saling menghancurkan adalah pemandangan gelap dan terang. Ancam-mengancam semakin tanpa perhitungan. Kata membalas kata. Tangan dibalas tangan. Hilang rasa dan akal. Berubah menjadi hewan ganas yang saling terkam. Habis sudah segala rasa kemanusiaan. Berputar dan silih berganti. Karena zaman telah memperkirakan batasnya. Karena alam selalu tidak diam dengan kekuatan alaminya. Maka ketika angin berhembus sangat kencang, suara petir menggelgar, air laut berkecamuk meninggi, tanah-tanah membentuk garis-garis menganga. Menjadikan raut wajah dengan segala urusannya. Akan hilang lenyap terkubur umur.

Yang tidak mengenal berita biarkanlah. Mungkin saja sudah menutup mata dan telinganya. Karena tawanya takkan mengubah apa-apa. Bertopang dagu, dan tumpang kaki sesekali menjadi solusi basi. Tidak pernah peduli akan segala deretan narasi. Hatinya membiarkan yang luka tetap luka. Yang mengiba tetap mengiba. Yang bersaksi hanya lelah hati yang telah buta. Buta oleh segenap gemerlap fatamorgana. Menipu namun menyenangkan. Biarkanlah mereka rasakan kenikmatan. Kenikmatan menikmati hati yang buta dan rasa yang membatu.

Menunggu segalanya agar segera berkesudahan, adalah sebatas ucap harap. Layar televisi yang buram pun dapat berwarna kembali oleh sang ahli. Dan waktu hanyalah waktu yanag itu dan seperti itu terus. Cepat dan lambat adalah bagaimana kita yang selalu menatap jalan cerita. Mengukur kehancuran akan sampai kemana. Adakah ini akan berakhir, ataukah adalah akhirnya…

26 Januari 2010

HAPPY, CONFUSE!

Manakala kita mendapat pinjaman uang, tentulah bahagia karena bisa menyambung hidup.

Namun membingungkan di kemudian untuk membayar.

Ketika tetangga memberi semangkuk penuh sup ayam buatannya, tentunya kita bahagia karena tiba-tiba saja mendapat makanan yang istimewa.

Namun membingungkan dikemudian, ketika akan dikembalikan, akan diisi dengan apa mangkuk tetangganya itu. Karena tidak bisa membuat masakan yang lebih enak dari masakan tetangganya itu.

Mendapatkan gaji di awal bulan sangatlah membahagiakan.

Tapi bagi sebagian yang menerimanya membingungkan, karena harus “terima kasih”

Terima gaji lalu dikasihkan kepada barang-barang serba kredit.

Maka habislah gajinya.

Pastilah membahagiakan manakala seseorang terpilih menjadi orang terpandang.

Tapi bagi sebagian orang ternyata membingungkan, karena melihat kelakuannya harus memicingkan mata.

Sungguh senang melihat seseorang yang bersahaja,mempunyai pekerjaan yang biasa dan dengan jebatan yang biasa-biasa pula dan mempunyai keluarga yang bahagia.

Namun sedikit membingungkan tatkala melihat isi rumahnya penuh dengan barang-barang mewah dan berjejer mobil yang harganya wah.

Alangkah senang dan membahagiakannya melihat angka-angka statistik yang menunjukkan angka pengangguran dan kemiskinan menurun.

Tapi lagi-lagi membingungkan dari mana angka-angka itu didapat? Apakah dari acara-acara reality show yang sukses membantu banyak kaum tak berpunya? Apakah seringnya digelar acara-acara bursa kerja?

Maka berbahagialah sekalipun keadaan membingungkan.

Dan nikmatilah sesuatu yang membingungkan itu dengan rasa bahagia.

Bandung, 2009

DENGAN TANGAN HAMPA

Kedua tanganku yang seolah selalu bekerja.

Hampir saja aku tak mengenal siang dan malam.

Bahkan aku tidak memikirkan balasan apa yang akan aku terima dari sekian liter keringat yang keluar dari kedua tanganku.

Mungkin memang benar.

Menggerakan kedua tangan dan kaki menuju sentra-sentra ruang persaingan dengan aktifitas yang hampir sama.

Adalah semata-mata untuk menggenggam harta yang siap untuk terbang kembali mengahmpiri benda-benda bisu yang bergerak.

Mengorbankan dan membunuh segala keinginan untuk berkarya.

Bertindak nyata untuk dirinya.

Mereka menganggap berkarya adalah sia-sia.

Seperti bekerja tapi dengan tangan hampa.

Maka jika ingin mendapatkan sepasang sepatu baru aku terpaksa atau dipaksa memenuhi hasrat warna-warni yang sudah dikenal di hamparan berjuta-juta warna popular.

Aku tersisih, tapi aku harus terus berjalan.

Memandang dunia tidak perlu dengan mikroskop.

Karena dunia bukan mikroba yang harus dipandang oleh kesempitan ruang.

Aku tidak dianggap apa-apa, tapi aku masih bisa berbuat.

Karena langakahku sudah tidak selaras dengan yang berdasi dan berjas.

Aku masih bangga dengan kaos usang hasil karya orang-orang yang terus berjuang.

*banyak cara untuk mencari uang, banyak cara untuk bersenang-senang.

Karena membuktikan karya besar dengan tangan hampa bukanlah sia-sia.

Tapi akan berharga dan tidak pernah terlupa.

Bandung, 2009

12 Januari 2010

BUTA HUKUM

Maksudku bukan untuk menyaingi buta ijo atau buta yang lainnya.
Tapi ini memang mataku buta pada hukum.
Kadang mengerti, tapi kadang tidak mengerti.
Ah pusing.

Seperti yang serius, tapi juga seperti yang bermain-main.
Kadang dibolak balik.
Kadang juga terbalik.

Maling besar dapat ruang besar.
Maling kecil dapat ruang kecil.

Jadi mana yang benar?

Bandung, 2010

BU, JANGAN PAKSA AKU JADI PRESIDEN

Surat ibuku dari bandung sudah aku terima sore hari
Dengan ditemani secangkir teh hangat seplang kuliah aku buka surat itu perlahan.
Surat itu terasa hangat, sehangat sapaan ibu, dan beberapa pertanyannya di awal tulisan surat itu.
Aku segera membacanya.

Bandung, 14 Februari 2004
Anakku sayang, bagaimana kabarmu nak?
Bagaimana dengan kuliahmu?
Lancarkah?
Oh iya, ibu lupa nak, kamu sudah semester berapa sekarang?
Tapi yang penting kamu harus ingat pesan ibu, harus rajin kuliah, dan jadilah yang terbaik.
Dan harapan ibu yang terbesar, kelak kamu harus jadi presiden! Seperti cita-citamu waktu kecil, Karena ibu pun yakin kalau kamu bisa memimpin negara ini.

Ibunda.

Selesai membacanya, aku lipat lagi surat itu dengan perlahan.
Beberapa saat aku tersenyum setelah membaca surat dari ibu itu.
Ternyata ibu masih saja tidak berubah.
Masih saja menginginkanku untuk menjadi presiden.
Kalau mau dibilang aku disini juga sudah dipusingkan dengan segala macam masalah perkuliahan, apalagi harus mengurus negara ini.
Ya tapi apapun keluh kesahku, aku tetap harus segera membalas surat ibuku itu.
Hanya sekedar memberinya kabar gembira saja.
Karena aku tidak mau ibuku menunggu lama surat balasan dariku.
Tapi sebelum aku menulis surat, aku habiskan dulu tehnya.

Yogyakarta, 15 Februari 2004
Alhamdulillah saya sehat bu, dan semuanya baik-baik saja.
Kuliah saya juga lancar tidak ada hambatan apapun.
Saya sekarang sudah semester enam bu, jadi seperti lagi sudah memasuki semester akhir, saya juga minta do’anya dari ibu mudah-mudahan bisa cepat lulus, saya juga sudah kangen sama Bandung bu.
Bu, memang waktu kecil saya pernah bercita-cita ingin menjadi presiden, tapi itu kan hanya angan-angan seorang anak kecil, toh banyak juga kan yang sewaktu kecilnya bercita-cita ini dan itu, tapi setelah dewasa, pekerjaan mereka kadangkala tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakannya.
Begitu pula dengan saya bu, saya sudah punya cita-cita yang lain selain presiden.
Bukannya apa-apa bu, tapi untuk jadi pemimpin apalagi memimpin sebuah bangsa, itu tidak mudah bu, pertanggunga jawabannya dunia dan akhirat bahkan lebih berat.
Sekarang saja masih banyak yang hidupnya serba kekurangan, apalagi kalau saya jadi presiden, bisa saja malah bertambah, murka Allah sudah pasti menunggu saya bu.
Sekali lagi saya mohon maaf bu, kalau surat balasan dari saya ini ternyata mengecewakan ibu.
Tapi ibu tidak usah berkecil hati, walalupun saya tidak menjadi presiden, saya tetap akan ikut membangun bangsa ini bu, mohon do’anya saj bu.

Ananda kesayangan ibu.

Selesai menulis surat blasan untuk ibu.
Aku baca ulang lagi.
Aku rasa sudah cukup, memberi alasan bagi ibu.
Aku harap ibu tidak kecewa dan mengerti.
Lalu kulipat surat itu dan memasukannya kedalam amplop putih bersih.
Untuk esok pagi aku kirimkan.

Bandung, 2009

08 Januari 2010

TELEPATI JILBAB HITAM

Setiap hari sabtu pagi, menjadi salah satu hari yang khusus bagiku untuk duduk-duduk santai sekedar menikmati segarnya udara pagi di taman-taman kota di kotaku yang katanya semakin panas dan katanya selalu macet jika akhir pekan tiba atau pada saat libur panjang. Tapi aku sama sekali tidak begitu peduli dengan segala kemacetan di hari sabtu atau minggu, habis mau apalagi. Yang penting taman kota harus selalu ada, apalagi hutan kota yang menjadi paru-paru kotaku, yang katanya juga akan berubah menjadi bangunan-bangunan mewah. Harusnya jangan pernah diganggu, karena jika alam diganggu, kemarahannya akan menjadi bencana bagi banyak orang, ya aku hanya berpikir menurut teori-teori yang sederhana saja.

Setiap kali aku berada si sebuah taman, selalu banyak orang-orang yang beraktifitas disana, aku hanya sendirian saja untuk pergi ke taman, aku selalu merasa malas untuk mengajak siapa pun. Banyak sekali yang dilakukan orang-orang di taman, ada yang berdiskusi santai, ada yang hanya jalan santai, yang sedang mengerjakan tugas beramai-ramai pun ada dan tidak jarang pula ada yang selalu berlatih sesuatu, salah satunya yang pernah kulihat dan sekaligus menarik perhatianku adalah sekumpulan siswa-siswa SMU yang berlatih semacam akting atau juga teater, dan bukan hanya aku saja yang ikut memperhatikannya tapi orang-orang yang ada di taman pada saat itu kebanyakan memperhatikan pula akting anak-anak sekolah itu.

Namun, dari sekian kali aku mengunjungi taman-taman kota setiap sabtu, pernah suatu waktu taman yang aku kunjungi tampak sepi, hanya ada beberapa orang pedagang makanan kecil dan seorang penual koran yang lalu lalang, tapi justru aku lebih leluasa untuk memilih dimana aku akan diam dan duduk, saat itu aku memilih tempat duduk di sebelah pojok taman karena di tempat duduk itu terdapar sebuah meja permanen dari semen, ternyata walaupun agak sepi suasananya lebih tenang dan lebih nyaman untuk menulis, menggambar ataupun membaca koran. Kemudian aku pun merasakan suasana yang membuatku terasa tidak kalah anehnya dan antara sadar dan tidak, tidak biasanya aku berbincang-bincang dengan seseorang ditaman, apalagi dengan seorang perempuan, lalu proses percakapannya itu yang aku anggap aneh karena percakapan itu dilakukan secara tidak lazim. Jika orang-orang pada umumya berbicara atau mengobrol dengan seseorang dan saling berhadapan tentunya akan mengeluarkan suara serta gerak tubuhnya sebagai ekspresi dari apa yang dibicarakan, gerakan bibirnya terlihat jelas bahwa seseorang itu tengah berbicara. Tapi justru apa yang aku lakukan tidak seperti itu, aku berbicara tidak mengeluarkan suara dan bibirku pun tertutup rapat.

Jadi ceritanya pada saat itu hari masih belum terlalu siang, dan aku masih sendirian di taman itu, aku keluarkan satu persatu buku catatan, balpoin, air mineral dan sebungkus kacang polong dari dalam tas ku, aku pun mulai menulis sesuatu tanpa tema apapun. Mengalir. Suasana yang benar-benar membuatku mengalir untuk menulis, lalu aku pun tidak lupa menuliskan teori yang baru kutemukan ini. Jika ingin menulis carilah tempat yang sejuk dan tidak terlalu ramai.

Angin perlahan-lahan mulai berhembus mengitariku, namun baru sejenak saja aku rasakan kesejukannya, angin yang baru saja datang itu ternyata tidak hampa, secara reflek aku menoleh kesebelah kananku dan sedikit terkesima tatkala yang aku pandangi adalah seorang perempuan berjilbab hitam kemudian berjalan dihadapanku, aku kira-kira usianya sekitar 23 tahunan, cerah, santai sambil berjalan menjinjing tas laptopnya. “hmm...jadi ini yang dibawa oleh angin” bisikku dalam hati. “begitulah alam diciptakan tidak pernah sia-sia” bisikku lagi. Perempuan berjilbab hitam itu kemudian duduk tepat dihadapanku, hanya berjarak kira-kira tiga meter saja dari tempatku duduk. Sebenarnya hal itu biasa-biasa saja dan tidak terlalu berpengaruh bagiku seandainya perempuan itupun duduk disebelahku. Tapi itulah aku pun tidak mengerti, sejak perempuan itu duduk dan membuka laptopnya, ada sesuatu yang menggangguku dan membuyarkan segala konsentrasi yang sudah dibangun. Aku kalah. Dan sesekali aku ingin memperhatikannya.

Pada awalnya, raut wajahnya tampak cerah menikmati kesejukan taman, sama halnya sepertiku. Tiga, empat kali aku perhatikan masih saja tampak cerah dan semangat mengutak-atik laptopnya, tapi ternyata tempat yang tidak begtu ramai membuatku sedikit banyak dapat mendengar suara-suara yang kecil dan terdengar jauh, hanya suara semut dan kawan-kawannya saja yang tidak bisa aku dengar. Itu terbukti dari suara dering telepon genggam perempuan itu, sepertinya dering sms pikirku sambil kembali memperhatikannya. Dan benar saja perempuan itu segera mengambil telepon genggamnya dan membaca smsnya dengan seksama, serius. Namu lambat laun wajahnya berubah menjadi seperti sebal pada isi sms itu, kecewa, kesal dan sedikit marah, dan setelah selesai membaca smsnya, perempuan itu serta erta mebantingkan telepon genggamnya ke meja di sebelah laptopnya, kemudian meminum softdrink yang terdapat pula dimejanya. Aku perhatikan lagi wajahnya masih menyimpan kekesalan.

Raut wajahnya itu kemudian membuatku merasa peduli dan menyimpan tanda tanya, apakah yang sedang terjadi pada perempuan itu? Semakin kuat keinginanku mengetahui masalahnya, pikiranku yang paling dalam lalu terbang menghampiri perempuan itu, dan pikiran perempuan itu pun sedang terbang kemana-mana karena rasa kesalnya, dan kesempatan itu segera tidak aku sia-siakan.

“selamat pagi...kenalkan, saya ramlan.”

“pagi juga, maaf ramlan siapa ya? Kayanya kita baru ketemu ya?” jawabnya agak ketus.

Ada sedikit keengganan untuk melanjutkan percakapan dengan perempuan itu, tapi aku mengerti mungkin ia masih begitu kesal setelah membaca smsnya itu.

“i...iya saya memang bukan siapa-siapa, ya kita memang baru ketemu.”

“saya yang duduk disana.” Sambil menunjuk tempat dimana aku duduk.

“oh yang disana!”

“dari tadi saya juga lihat kamu sering memperhatikan saya.” Lanjutnya seraya membuatku sedikit terkejut dan malu, karena ternyata dia juga tahu aku sedari tadi sesekali memperhatikannya.

“i..iya.” lagi-lagi kata-kataku tertahan.

“kalau boleh tahu naman kamu siapa?” tanyaku sedikit memberanikan diri dan hati-hati.

“penting ya namaku buat kamu?.” Jawabnya sambil tersenyum mempermainkanku. Ah ini dia yang aku tunggu senyumnya, membuatku sedikit lega.

“mmm...enggak juga sih tapi apa salahnya kan saya tahu namanya.”

“ya udah namaku husna!.” Jawabnya singkat.

“ada yang mau kamu tanyakan lagi?!”

“enggak sih...sebenernya cuma ingin tahu aja...kenapa ko selesai baca sms jadi marah-marah?”

“yaa barangkali saja ada yang bisa saya bantu gitu?”

“rasanya saya nggak perlu bantuan kamu deh, lagian ini juga bukan urusan kamu!”

Hanya ada satu kata bagiku – sabar.

“oh ya sudah kalau begitu..bagaimana kalau kita bicara yang lain saja, setuju?” ajakku pada perempuan itu.

Belum juga menjawab pertanyaanku itu, tiba-tiba saja dari arah belakang perempuan itu terdengar suara laki-laki memanggil-manggil namanya

“husna...husna sayang!” teriaknya sangat jelas.

“maafin aku ya, aku nggak bermaksud seperti itu, aku cuma...aku cuma...”

“cuma apa??”

bla...bla...bla......................

Dari percakapannya itu, aku segera kembali kedalam diriku sendiri dan segera menepuk kedua pipiku sampai aku benar-benar tersadar dari semuanya. Inikah yang dinamakan telepati?!.

ARUS

Waktu...

Apakah benar kau perjalanan hidup?

Apakah benar kau angka-angka dalam almanak?

Apakah benar kau perputaran jarum dalam sebuah jam dinding?

Waktu...

Ternyata kau tetap bis!

Baiklah aku bantu kau menjawabnya

Waktu...kau adalah arus.

Arus yang deras.

Menghantam siapa saja yang diam bertopang dagu.

Menghantar siapa saja yang mempunyai perahu.

Teori picik mengatakan

Jika diam akan jatuh miskin.

Jika bergerak akan kaya raya.

Memang ada benarnya!.

Yang membantah tidak kalah asyik.

Diam memang tidak bergerak, jatuh miskin karena hanya tidak di beri kesempatan.

Bursa aktifitas selalu membludak.

Tapi yang berhasil beraktifitas tidak begitu membludak.

Bergerak memang lebih baik dari diam..

Menjadi kaya (mendapat uang) karena uluran tangan.

Seorang sopir angkot pun berkata

Inilah arus kehidupan.

Materi menggeledah jati diri.

Arus yang miskin ya semakin miskin.

Arus yang kaya ya semakin raya.

Karena arus tak bisa bendung.

Maka seperti itulah panoramanya.

Aku terpaksa lupa menjadi kaya.

Biarlah menjadi miskin tapi kaya oleh kata-kata.

Kata-kata, katanya bisa melawan arus kezaliman!.

Bandung, 2009