31 Januari 2010

LABIRIN

Bahagia terkadang membuat lupa. Jejak-jejak yang telah lalu seakan sirna. Tubuh berubah menjadi kuat. Membangun rasa dan hati yang menyala. Tidak peduli akan segala cerita. Hilir mudik entah kemana. Merangkai pola-pola keangkuhan. Menginjak suara teriakan nyata. Tertawa bahagia hampa. Segala tingkah laku tidak pernah jenuh. Hany nikmat yang seakan terasa panjang. Semakin panjang hati akan keras membatu dan rasa menjadi buta. Dimana akan kau hancurkan?

Ucapan selalu kita telan sebulat bulan purnama. Seperti terang, namun sekelilingnya gelap gulita. Lantas kita merdeka. Menunggu segala apa kira-kira yang akan diterima. Jutaan tangan menengadah menunggu datangnya perekat yang sederhana. Mulut terbuka tanpa suara karena haus dahaga. Dalam berita nyata kaum kosong menerima tanda menurun, lalu menanjak, lalu turun, kemudian merata. Berkali-kali berteriak namun tak pernah tertangkap. Selalu begitu dan begitu. Menghantar untuk menghempaskan percaya diujung waktu. Dan kita pun akkhirnya lelah percaya.

Keadaan ini benar-benar telah terserang oleh sakit. Sakit yang mulai menjangkit. Menyebarkan virus resah dan gelisah. Menggulirkan berbagai wacana kehidupan muram. Gambaran-gambaran mencekam akan masa depan telah menyebar. Aku gerah, aku pengap. Kita marah dan kita juga gerah. Gejalanya yang terasa hanyalah menambah parah. Hinggap dan menetap pada terminal darah. Mungkin ini adalah demam atau hanya panas biasa. Membiarkannya hanyalah tindakan sia-sia. Melawannya dengan sehelai kain dingin delam genggaman tangan kita adalah tindakan luar biasa. Maka cepatlah hilang dan segera pergi dengan sejauh-jauhnya segala sakit ini. Agar dapat kembali mengumpulkan segala daya dan upaya untuk melawan pikir yang tersihir. Yang telah membakar dengan puas.

Diri kita dua alam sedih dan bahagia. Peperangan selalu merebut bahagia. Dan iblis perang hancurkan sedih. Lalu raga menjadi hampa. Karena canda dan tawa telah habis didalamnya. Tanah yang luas seakan pagarnya mendekat dan menyampit. Apakah karena segala tidak percaya? Hingga gelap menyertainya. Penampakkanku seakan telah lelah. Karena merasa sekat pemisah semakin rapat. Merapat menemani tubuh yang lelah dan terkurung oleh gelap. Tangan-tangan yang saling menghancurkan adalah pemandangan gelap dan terang. Ancam-mengancam semakin tanpa perhitungan. Kata membalas kata. Tangan dibalas tangan. Hilang rasa dan akal. Berubah menjadi hewan ganas yang saling terkam. Habis sudah segala rasa kemanusiaan. Berputar dan silih berganti. Karena zaman telah memperkirakan batasnya. Karena alam selalu tidak diam dengan kekuatan alaminya. Maka ketika angin berhembus sangat kencang, suara petir menggelgar, air laut berkecamuk meninggi, tanah-tanah membentuk garis-garis menganga. Menjadikan raut wajah dengan segala urusannya. Akan hilang lenyap terkubur umur.

Yang tidak mengenal berita biarkanlah. Mungkin saja sudah menutup mata dan telinganya. Karena tawanya takkan mengubah apa-apa. Bertopang dagu, dan tumpang kaki sesekali menjadi solusi basi. Tidak pernah peduli akan segala deretan narasi. Hatinya membiarkan yang luka tetap luka. Yang mengiba tetap mengiba. Yang bersaksi hanya lelah hati yang telah buta. Buta oleh segenap gemerlap fatamorgana. Menipu namun menyenangkan. Biarkanlah mereka rasakan kenikmatan. Kenikmatan menikmati hati yang buta dan rasa yang membatu.

Menunggu segalanya agar segera berkesudahan, adalah sebatas ucap harap. Layar televisi yang buram pun dapat berwarna kembali oleh sang ahli. Dan waktu hanyalah waktu yanag itu dan seperti itu terus. Cepat dan lambat adalah bagaimana kita yang selalu menatap jalan cerita. Mengukur kehancuran akan sampai kemana. Adakah ini akan berakhir, ataukah adalah akhirnya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar