30 Maret 2011

ELORA

Aku sungguh merasa begitu malu padamu, karena segalanya membuatku merasa begitu timpang, pernyataanku ini benar adanya dan sangat tulus. Kebahagiaan sudah terlalu banyak kau berikan padaku dan aku berharap kau tidak akan pernah menyesalinya. Semua itu bukan aku yang menginginkan tapi kau yang menginginkannya, semoga semua itu adalah kejujuranmu, aku memang lebih banyak bertanya dan seringkali memberatkanmu tanpa sekalipun kau sanggah, kali inilah semuanya ku sadari bahwa sebenarnya kita harus bersama saling berbagi hingga saatnya kita pula yang merasakannya, tanpa segala pertentangan apapun. Pada kenyataannya aku hanya bisa berpikir dan semakin kurasakan bahwa tiada lagi yang kuinginkan melebihi dari apa yang telah kau berikan dan tak pernah berhenti, semua itu sudah cukup bagiku, mungkin aku takkan bisa membalas karena apa yang kau berikan adalah cahaya dari hati yang selalu terang dan mungkin tak pernah padam.

Apa yang pernah kudambakan, kuinginkan dan kuharapkan segalanya seakan datang begitu saja tanpa kuminta dan tanpa adanya rencana, semua mengalir begitu saja penuh dengan suka cita, aku harapa semua itu benar dari dalam hati dan bukan dari ketidak jujuran yang disangkal untuk menjadi benar. Dalam cahaya yang kurasakan semuanya terasa diluar dugaan dan penuh dengan sesuatu yang ajaib, segalanya seakan-akan melayaniku dan memanjakanku, segalanya selalu ada disaat aku benar-benar membutuhkannya. Tanda tanya mulai mendera, apakah hanya pikiranku saja yang berkata-kata untuk meminta.

Kita akan tetap menyatu, namun kita tak pernah tahu apa yang sedang hinggap dan melintas dalam benak dan pikiran kita masing-masing. Aku selalu pertanyakan itu padamu, begitu juga kau yang selalu mempertanyakannya padaku. Apakah gerangan semua itu? Namun selalu tak ada ucap, karena kita takut saling memadamkan, maka dari itu hati kita sering berbisik walaupun mulut terlihat diam. Semua tidak mempunyai kesepakatan apa-apa untuk menyatu, kecuali saling menerangi, perbedaan yang selalu menuju renggang adalah bukan kita yang mengatur. Aku dan kamu senantiasa selalu mencari jalan agar apa yang kita inginkan tampak sama.

Sungguh aku menyukai caramu untuk semakin memperjelas segala maksud dan tujuan, dan akhirnya aku pun selalu mengikuti caramu itu. Dalam hening malam kau menyendiri dan lalu mengajakku untuk menatap ke atas, memandangi begitu banyaknya sinar-sinar yang terang seperti hamparan ribuan aksara yang sengaja mengelilingi kita, dan siap sedia untuk kita cari dan tunjuk agar menjadi sebuah rangkaian kata yang hanya bisa di rasa dan di mengerti oleh kita berdua, tentang segala kelemahan, kekurangan dan kelebihan. Tapi ada juga sedikit lelucon agar kita tertawa. Dan aku berharap kau tak hanya terus memilih aksara dan merangkainya, tapi juga pikirkanlah bagaimana tentang segala pemberianku.

Sesuatu yang pernah kau terima dariku sekecil apapun adalah nyata namun tak pernah abadi, bukan semu tapi bisa saja menghilang, bukan pemberian yang klise tapi bisa saja suatu saat menjadi samar-samar. Setelah kau dapat aku tak pernah mengharapkannya lagi, hanya karena kau dibuat kecewa, ragam sejuta cahaya yang telah ku beri tidak akan pernah membuatmu merasa sangat berat dan melelahkan, justru semuanya akan dengan mudah hilang dan terbawa oleh angin, lalu dan setelah menjauh biarkan saja menghilang, saat ini dan untuk selamanya. Agar aku dan kamu bisa membayangkan kembali, maka kita kembali melihat ke atas dimana begitu banyak sinar yang terang, dan sama-sama kita terjemahkan satu per satu di balik segala gemerlapnya. Tak perlu banyak pertimbangan, bacalah setiap kerlap-kerlipnya dengan ringan, seringan kau berbisik dan berkata padaku yang juga pernah kau lakukan dihadapan sinar-sinar yang kurang begitu terang. Begitu teratur kata-katamu meskipun sinar-sinar itu berada di tampat yang tidak beraturan. OGN


20 Maret 2011

efek keterikatan

pada dasarnya manusia tidak mau di kekang, karena pengekangan adalah berarti penyempitan ruang dan celah-celah untuk berpikir (dan juga berkarya), namun kenyataan menjawab lain, terkadang dorongan untuk menjadi terkekang dan menyempit seakan menjadi keharusan atau katakanlah malah menjadi sesuatu yang dibutuhkan, entah alasannya itu coba-coba atau mencari sebuah pengalaman, yang tampak dari luar memang seperti bahagia dengan segala pemenuhan kebutuhan dan gerak-gerak yang dinamis, penuh perhitungan, tertata rapih dan lain sebagainya, gambaran seperti itu bisa dibayangkan bahwa yang terpikirkan bukanlah mengenai dirinya sendiri, akan tetapi mengenai segala titah yang harus dikerjakan dengan segala pencapaian yang harus segera diraih, agar pada waktu yang ditentukan ia pun mendapat balasan sebuah kesenangan yang sebenarnya begitu penuh perjuangan untuk meraihnya.


otak kita terperas yang sebenarnya untuk pemenuhan kebahagiaan orang yang hanya kita kenal ketika kita berada dalam lingkaran pengaruh dan segala doktrin pemikiran yang mengharuskan kita patuh dengan jeda 1 x 24 jam, dan itupun dihabiskan dengan membunuh segala sesuatu yang bisa mengingatkannya pada keterikatan, apakah dengan membunuhnya itu berarti menyukainya? jelas itu bukanlah bentuk kesukaan, hanya sebuah keterpaksaan karena tuntutan hidup, dalam keinginan yang paling dalam ketika sudah masuk dalam keterikatan adalah perasaan ingin kembali membebaskan pikiran dan segala jaringan serta organ-organ tubuh untuk membuat sesuatu yang pernah menjadi sebuah impian, namun apa yang terjadi adalah penyempitan ruang yang malah sengaja diciptakannya sendiri, lantas siapa yang salah? ingin hengkang dan meninggalkan segala pengekangan atau keterikatan seolah menjadi beban yang begitu berat karena dianggap berhubungan dengan orang-orang terdekat yang bisa saja merasa kecewa.


akhirnya menjadi serba salah, ingin bebas tapi terikat, ingin melepas merasa akan gelap di lorong depan, itulah mungkin sebuah efek dari keterikatan, selamat untuk yang bisa (berani) melepaskannya tanpa syarat!!


octora nugraha