09 Juni 2009

KOSONG

Aku saat ini sedang berusaha dengan keras mengembalikan segala sesuatu yang pernah terjadi padaku, yang pernah aku rasakan dan yang pernah aku jalani. Dari semua itu hanya dua saja yang aku cari – sedih dan bahagia – selebihnya adalah kosong, sekosong tatapan mataku memandang dunia ini. Angka-angka dalam kalender hanya membuatku jenuh, yang akhirnya bukan pencarian masa lalu yang pernah kulewati, akan tetapi angka-angka dalam kalender itu tidak lebih seperti variabel-variabel yang rumit dalam teori sinus dan kosinus. Mesin waktuku sudah lama mati hingga tidak berfungsi sama sekali, hampir berkarat namun aku tetap mencintainya. Mungkin satu-satunya yang dapat mengembalikan segala yang pernah aku lalui adalah harapan-harapanku. Aku rela dan aku terima seandainya bahagia yang lebih dahulu menemuiku, demikian juga sebaliknya aku akan menikmati sepenuh hati jika sedih yang dahulu menghampiriku.
Jika bahagia yang datang lebih dulu, aku ingin yang menemaniku adalah cuaca yang cerah, awan putih yang tebal, langit yang biru dan hawa yang sejuk. Karena aku tidak ingin rasa bahagiaku yang dulu sedikit kureguk dari secangkir kopi hitam yang sebenarnya pahit, luntur begitu saja oleh rintik air hujan. Namun jika sedih yang datang aku ingin sepinya malam, angin yang dingin, dan pekatnya awan hitam menjadi pelengkap cerita-cerita kesedihan itu.
Oh masa lalu aku rindu padamu, sangat merindukanmu. Aku kosong, dan aku ada dalam transisi mencari jati diri. Aku sedikit takut dan ragu-ragu untuk melangkah ke depan, aku lebih asyik memandangi album-album masa lalu. Para temanku yang bijak selalu bertutur halus padaku bahwa jiwa aku ini sudah jatuh, terjebak dan terjerat oleh waktu yang mengikat.
“sudahlah kawan, jangan kau gali lagi sumur yang sudah kaututup dengan rapat.”
Benarkah jiwa ku ini jatuh? Benarkah aku terjebak? Dan benarkah aku terjerat oleh waktu? Tidak, aku rasa aku tidak seperti itu. Aku hanya tidak diberi kesempatan oleh waktuku saat ini untuk menatap masa depan yang masih ada dalam lingkaran khayal kebimbangan, samar dan tidak pasti. Sudah aku katakan bahwa hanya dua perkara saja yang aku cari – bahagia dan kesedihan – karena hanya itu saja yang selalu membuatku rindu, sebab cinta adalah bahagia dan cinta juga adalah kesedihan, selebihnya cerita-ceritaku dimasa lalu adalah segala kerumitan, kompleks, fatamorgana, kacau balau bahkan terkadang tidak terjangkau oleh nalar. Semua itu sebagai sesuatu yang sulit kumengerti dan akan selalu menjadi rangkaian cerita yang sangat panjang.
Namun, harapan adalah tinggal harapan, sekuat dan sekeras apapun aku menatapnya, hanya sedikit saja yang bisa ku genggam. Masa lalu terlalu pahit dan masa depan masih hambar dengan cinta yang bahagia dan cinta yang sedih. Dan aku pun tidak serta merta meyakini sepenuh hati pada harapan-harapanku itu, karena segala harapanku ini haruslah mencair dari segala kebekuannya, mungkin saja mencairnya bisa lebih lama dari sebuah gunung es di Kutub Utara.
Haruskah aku kikis habis masa lalu? Atau haruskah aku sertakan pula dalam langkahku yang masih ragu-ragu? Ah, biarkan saja apa adanya. Dalam ketakutanku untuk melangkah, biarkan aku pikul sekalian masa lalu itu. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi nanti. Mataku akan tetap memandang kebelakang sambil menunggu apakah segala bahagia dan sedih itu akan datang atau tidak. Jalan-jalan yang panjang serta merta akan selalu kutempuh siang dan malam, akan ku bebaskan tekadku untuk mengenali hati dan jiwa raga ini lebih dalam lagi, karena aku yakin akan selalu ada hal-hal yang tidak pernah terkira dan terpikirkan olehku. Sudah terlambatkah aku mengakrabi dan mengenali diri karena terlalu banyak menuntut masa lalu? Ternyata tidak, justru para awam menilai aku terlalu dini dan terlalu pagi masuk kedalam dimensi hati yang kosong tidak bertepi.
Aku sadar, segala pertimbanganku ini sungguh berat, segala kekhawatiranku akan masa lalu ini terlalu berlebihan, aku terlalu merindukan yang sudah tidak bisa kugenggam, pikiranku terlalu lama menari-nari dengan manis dalam puing-puing yang membentuk lingkar labirin, dan sangat dimungkinkan seluruh organ ini warnanya sudah keruh dan rapuh. Sumpah! Kali ini aku benar-benar sudah tidak peduli lagi, kata-kata ini sama sekali tidak semu. Terjadi atau tidak, masa lalu yang akan datang padaku atau tidak, kesedihan yang selalu menerorku, bahagia yang selalu mengelus dadaku. Aku akan mulai berlari dan terus berlari tanpa henti walaupun sebenarnya bukanlah hal mudah untuk menyingkirkan lalu lintas pikiran yang runyam ini. Semoga semakin lama aku berlari harapan-harapanku ini sedikit demi sedikit akan mencair menetes pada jalan-jalan yang kulewati, dimana setiap tetesan harapanku itu membuka dan memberikan ruang jalan berlari yang lebih luas dan lebih panjang membentang. Mengantarkanku pada apa yang dinamakan masa depan yang penuh akan makna mapan, walaupun masa depan itu kutempuh dengan berlari dari kejaran macan yang siap menerkam, bisa ular yang sangat ganas, dan semak belukar yang penuh duri. Aku tidak peduli, akan aku lewati, aku tidak mau menjadi mangsa dan kemudian melemah.
Melemah dan kemudian menjadi tangis, tetapi tangis yang tidak harus selalu berurai air mata, tangisku kadang menjelma menjadi sebuah energi magis, hasil pergumulan masa laluku dalam episode-episode kesedihan. Karena masa depan belum memberikan gambaran tentang tangisan. Haruskah aku hentikan tangis ini untuk melawan macan, bisa ular, dan semak belukar? Rupanya tidak perlu, aku harus tetap pertahankan tangis ini hingga aku tertawa, tapi tertawaku tidak selalu terbahak-bahak, karena dalam memori bahagiaku dimasa lalu tidak ada tawa keras hingga membahan. Jika kamu ingin tahu mengapa aku menangis sedih tapi tidak berurai air mata dan bahagia tetapi tidak tertawa? Karena bahagia aku jadikan harta dan tenaga, sedangkan sedih selalu aku jadikan cambuk. Maafkan aku masa depan, masa lalu terlalu berharga bagiku, tapi kau akan selalu kukejar walaupun lambat. Karena harapan-harapanku sebenarnya berada dalam dua masa itu, dan jika jarak tempuhku sudah mencapai titik dari masa depan, semoga aku tidak bangga dan menjadi jumawa, karena harta, tenaga serta cambuk dimasa lalu akan selalu menjadi penyeimbang rasa dan nuraniku. Setelah itu aku segera mengabarkan kepada para awam dan temanku yang bijak bahwa langkah gerak berlariku tidak terlalu dini dan aku akan membuat lubang sumur yang baru dengan diameter yang lebih besar dari pada sumur di masa lalu.
Lantas bagaimana caranya aku mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu? Tidak, tidak ada kata-kata ucapan selamat tinggal untuk masa luluku, sebab aku sudah berjanji untuk tetap memikulnya. Dan mungkin sudah saatnya mataku ini aku hadapkan lurus ke depan, aku akan yakinkan saja bahwa masa lalu masih setia disana dan akan menghampiriku di suatu waktu. Kubiarkan setiap jeda waktu akan selalu tetap kosong, karena sudah seperti itu tabiatnya – jeda adalah kosong. Mungkin saja aku akan lelah menghadapi masa depan, namun rasa ketidak pedulianku pada apa yang akan terjadi nanti sepertinya menjadi sebuah senjata ampuh untuk membasuh peluh. Dan maafkan aku masa lalu, aku sengaja membebaskan niat dan tekadku ini, aku tidak suka memilih dan aku tidak terlalu suka dengan diam, karena memilih selalu memunculkan kemungkinan besar dan kemungkinan kecil untuk bahagia, dan diam selalu lebih cepat mendatangkan kesedihan. Aku hanya ingin merasakan sedikit saja dari sekian juta partikel cerita yang ada di masa depan, dan sudah pasti yang akan kutemui nanti adalah sedih dan bahagia, dan akan kubandingkan semua itu dengan masa lalu. Aku mohon jangan menganggap langkahku ini sudah matang. Aku hanya mengikuti kalimat tidak peduliku, seperti pada beberapa baris lirik lagu yang pernah ku dengar dan sering kunyanyikan sewaktu dulu.

Peduli apa terjadi
Terus berlari tak terhenti
Untuk raih harapan
Didalam tangis atau tawa.

ASAP BERCERITA

Asbak dari tanah liat yang baru setengah jadi ini, yang kubuat dua hari lalu itu aku biarkan begitu saja diatas meja yang penuh debu. Namun lama-kelamaan setelah aku lihat dari berbagai sudut ternyata asbak setengah jadi itu menurutku begitu indah dan sangat artistik. Setiap aku melihat asbak itu dari sudut yang berbeda aku melihat bentuk yang berbeda pula, luar biasa karya yang tak ku sengaja ini.
Setelah aku puas menikmati “keindahan” yang ada pada asbak itu, aku pun mulai mengerjakan pekerjaanku yang sempat tertunda – menyalakan rokok dan menghisapnya. Sambil duduk di sofa yang baru aku reparasikan di tukang jok keliling, karena menurutku sofa itu sudah terlalu tua dan banyak lubang bekas terbakar rokok yang bertebaran dimana-mana, aku mulai menikmati hisapan demi hisapan rokok dan setiap asap rokok yang mengepul keluar dari mulutku seolah menggambarkan bayangan dan perjalananku dimasa lalu. Berbagai kepenatan yang ku rasakan hingga berbagai cacian dan beragam fitnah yang membuatku sakit dan semakin menghitam bahkan mungkin meradang, semuanya aku nikmati.
Kepulan asap rokok yang tiap kali keluar dari mulutku sesekali kulihat seraut wajah dari berbagai orang yang pernah ku kenali, seperti tak percaya namun begitulah keadaannya, apakah ini hanya lamunanku atau bukan? Atau rasa rinduku karena sudah lama tidak bertemu? Entahlah, yang pasti mereka terlihat seperti nyata. Dan yang membuatku heran lagi adalah ekspresi wajah mereka yag berbeda-beda saat memandangku. Ada yang seolah seperti sedang memarahiku dengan caci makinya, ada yang menertawakanku, ada yang seolah menasihatiku, ada yang menangis dengan tangisan yang agak tertekan seperti kuntilanak di acara misteri di sebuah radio, ada yang menghinaku, bahkan ada pula sesosok perempuan dengan penampilan yang menurutku agak aneh namun nyentrik dan agak sedikit berantakan menari-nari tepat diwajahku. Yang kulihat dari wajah perempuan itu adalah perasaan yang begitu bahagia dengan senyuman yang lebar dan lepas, lalu sebuah papan yang dia bawa-bawa seperti para demonstran dengan tulisan “I HATE LOVE” begitu jelas terbaca olehku. Ah, apa pula yang terjadi dengan semua ini pikirku.
Mereka silih berganti bermunculan dihadapanku dengan masalahnya masing-masing. Ketika kukeluarkan kepulan asap yang rokok yang pertama, sekilas kulihat wajahnya seperti Dar, ya kamu memang Dar pikirku dengan yakin. Dar adalah kawan kuliah ku dulu, entah kenapa dia sepertinya jengkel dan kemudian selalu memarahiku setiap kali aku menggambar dan mencoreti kertas catatanku, yang menurut dia kerjaanku itu sungguh sangat tidak bermanfaat dan jauh dari kata kesuksesan. Ya aku mulai ingat sekarang, Dar adalah orang yang begitu berambisi untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan besar dan sebisa mungkin menduduki jabatan yang paling tinggi.
“halo has, bagaimana kabarmu?” di balik asap itu Dar mulai bertanya dengan raut wajah yang agak sinis, dan dia terlihat gagah dengan kemeja berdasi dan jas hitam yang ditenteng nya.
“apa kegiatanmu sekarang?”
“aku baik-baik saja dar, aku belum kerja secara formal, ya mungkin aku belum dapat yang cocok aja, untuk semetara kesibukanku sekarang hanya jalan-jalan sekedar mencari inspirasi, dan aku juga belum menjadi apa-apa dar, aku masih seperti yang dulu.” Jawabku dengan santai dan apa adanya.
“sudah kuduga sebelumnya has, kamu itu orangnya nggak ada kemauan, euweuh kadaek.” Dar mulai sedikit menyinggungku dengan kata-kata yang bernada tinggi.
“cobalah has berusaha lebih keras dan lebih giat lagi, lihat aku, aku tak pernah menyerah untuk berusaha, bayangkan saja dari puluhan bahkan ratusan surat lamaran kerja yang aku kirim, hanya bisa dihitung oleh jari yang diterima oleh perusahaan-perusahaan besar, tapi aku hanya memilih satu saja perusahaan yang aku anggap benar-benar bonafit dan memberiku gaji yang layak untuk seorang lulusan perguruan tinggi, sekarang aku menjabat sebagai supervisor, dan tahun depan aku dipromosikan menjadi asisten manajer, hebat kan aku?”
“ya syukurkah dar kalau begitu.”
“puuuuh.” Aku jawab dengan santai, dan segera aku tiup asap wajah Dar itu, agar dia lekas pergi dan lenyap dari hadapanku. Aku kemudian sejenak berpikir sekaligus heran dan bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dicari Dar? Dan ternyata setelah lulus kuliah yang dia kerjakan selama ini hanya terus menerus menulis lamaran kerja dan mengirimkannya, hanya itu saja! Ah, ternyata ambisi Dar sejak dulu tidak pernah berubah untuk menjadi orang yang mempunyai jabatan yang tinggi, lieur!.
Aku mencoba kembali mengepulkan asap rokok, seketika itu pula wajah yang paling membuatku kesal dan menyebalkan muncul dari asap itu. Dan tampak jelas dihadapanku, dan dengan tertawa terbahak-bahak di menertawaiku, dialah Mar masih teman kuliahku dulu, seorang pembual papan atas dan nomor wahid di kampusku, banyak bicara tanpa pernah ada buktinya, pekerjaan dan keahliannya adalah mengkritik, menghina dan meremehkan orang lain. Mulai dari wajah hingga penampilan orang lain tidak pernah lepas dari ejekannya dan kemudian menertawakannya, seolah-olah dia yang merasa paling gaya dan keren, Mar…Mar meni cape maneh mah hirup teh!
“apa yang sedang kamu tertawakan mar?” tanyaku pada Mar dengan sedikit agak kesal melihat Mar yang tiba-tiba saja menertawakanku.
“ha…ha…ha…aku sedang menertawakanmu has, ha…ha…ha…” jawab Mar semakin menjadi-jadi dengan tertawanya itu.
“menertawakanku?!”
“memangnya ada apa denganku?” tanyaku lagi dengan penasaran dan bingung sekali dengan tertawaan Mar itu.
“ya menertawakanmu!.”
“tampangmu itu loh has, kamu seperti orang tolol, wajahmu kuno sekali, dan pakaianmu itu sama sekali tidak up to date ha…ha…ha…” ucap Mar yang mulai mengejekku, tapi aku tidak membalas ucapannya itu, aku tetap saja diam dan membiarkan dia menghina, mengoceh dan membual dengan sepuasnya.
“eh has sekarang kamu pasti masih belum kerja ya?”
“seperti aku dong, aku sekarang sedang memulai bisnis kecil-kecilan nih, ya soalnya pacarku yang cantik ini menyuruhku cepat-cepat nyari uang.” Mar mulai dengan bualan hebatnya.
“has pacarku yang sekarang cantik dan kaya loh, aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung saat ini, bayangkan saja tiap kali aku nonton ke bioskop sama dia dan makan-makan aku tak pernah mengeluarkan uang sepeserpun, dan hebatnya lagi, bapaknya pernah menawariku untuk menjadi salah satu pengelola di rumah makan cabang barunya, pasti kamu sudah tahu kan has nama rumah makan yang kumaksud itu? Yang terkenal dengan harganya yang mahal dan sering sekali dikunjungi para pejabat dan selebritis.” ucap Mar semakin menjadi-jadi.
“puuuuuh…” tanpa pikir panjang lagi aku segera tiup asap itu sekeras-kerasnya sebelum telingaku ini retak dan hancur berantakan mendengarkan segala bualannya itu. Dari dua kepulan asap rokok itu aku benar-benar dibuat pusing dan heran sekaligus menggelitik melihat sifat dan mendengarkan ucapan kedua temanku itu.
Sejenak aku rebahkan tubuhku di sofa yang begitu terasa empuk itu, dan kubiarkan rokok itu disimpan di asbak ku yang indah dan mengeluarkan asapnya yang menjalar ke seluruh ruangan rumah. Namun tak lama pula rasa haus yang menggerogoti tenggorokanku membuatku berhasrat untuk membuat secangkir teh manis hangat, maka segeralah aku beranjak ke dapur yang tidak jauh dari ruang tamu itu untuk membuat teh manis hangat. Aku pikir asyik juga sepertinya melihat, mendengar dan berbincang-bincang dengan orang-orang yang juga teman-temanku dengan kepribadiannya masing-masing sambil ditemani secangkir teh manis hangat walaupun mereka sebenarnya tidak nyata. Dan teh manis hangat pun sudah selesai kubuat dan aku pun kembali ke ruang tamu, begitu terkejutnya saat kulihat sesosok perempuan berkerudung putih muncul dari asap rokok yang kusimpan di asbak tadi, aku perhatikan wajahnya karena aku sudah lama sekali tidak melihatnya, tapi lama kelamaan aku mulai ingat perempuan ini adalah Tin, temanku semasa di SMA dulu denga wajah keibuan, penyayang anak-anak kecil dan pintar pula, dan yang lebih membuatku kagum adalah cara berbicara Tin yang lemah lembut dan selalu penuh dengan nasihat.
“assalamualaikum has…apa kabarnya?” sapa Tin dengan lemah lembut dan terasa menyejukkan.
“waalaikum salam tin, alhamdulillah aku baik-baik saja.” Jawabku agak sedikit segan dan malu-malu.
“ngomong-ngomong kegiatanmu sekarang apa has?”
“ya kegiatanku sama seperti seperti waktu di sma tin, menyalurkan rasa berkesenian ku seperti menggambar, menulis dan yang lainnya, kalau mengenai pekerjaan, aku belum mempunyai pekerjaan yang tetap tin, tapi tidak masalah toh aku masih tetap bisa berkarya.”
“ya sabar saja has, semua itu sudah diatur kok, asala kita tetap berusaha dan yakin kita pasti akan mendapatkan apa yang kita inginkan.” Ucap Tin dengan wajah yang cerah memberikan pesan yang begitu menyejukkan.
“baik has, aku pamit dulu semoga sukses ya, assalmualaikum.”
“baik kalau begitu terima kasih banyak tin, waalaikum salam.” Jawabku dan aku tidak meniup asap itu, aku membiarkan asap itu pergi menghilang dan berlalu dengan sendirinya, karena aku benar-benar merasa segan kepada Tin. Akhirnya kepusinganku terhenti sejenak setelah bertemu dengan Tin. rokok yang hanya tinggal setengah itu aku putuskan untuk menghabiskannya, sekaligus aku ingin tahu siapa berikutnya yang muncul dari asap itu.
aku hisap kembali sisa rokok itu dan aku kepulkan asapnya, tak lama kemudian asap itu mengeluarkan suara dan terdengar seperti suara tangisan yang begitu getir dengan rasa penyesalan dan kesedihan yang begitu dalam, seperti sesuatu yang tragis. suara tangisan itu semakin membesar dan terdengar jelas beriringan dengan munculnya sesosok wajah perempuan yang belum aku kenali, karena dia menangis dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Aku tunggu beberapa saat sampai perempuan itu berhenti menangis, sambil kuperhatikan siapa sebenarnya perempuan yang sedang bersedih itu. tiba-tiba perempuan itu dengan perlahan-lahan membuka kedua telapak tangannya dan dengan terburu-buru menyeka air matanya yang membasahi wajahnya, dia mungkin baru tersadar bahwa sedari tadi aku sedang memperhatikannya.
Sejenak dia terdiam, merenung, sekilas wajah perempuan itu begitu lelah, berat dengan berbagai penyesalan dan Nampak pucat seperti tak sanggup menjalani sesuatu yang membuatnya begitu berat dan terpaksa dia jalani. Seperti seseorang yang dipaksa untuk memikul batu yang besar dan berat namun ia tidak mau.
“has i…ini aku…” perempuan itu mulai berbicara denga sedikit terbata-bata, sisa tangisan tadi.
“kamu siapa?” tanyaku pelan.
“ini aku Nis, teman kuliahmu, kamu masih ingat?”
“ya…ya aku mulai ingat, kamu berubah begitu cepat nis, sampai aku tidak mengenalimu.” Jawabku dengan terheran-heran melihat Nis yang begitu cepat berubah. Nis adalah teman kuliahku juga, dulu dia dikenal orangnya agak genit, dandanannya selalu berubah-rubah setiap hari, mulai dari pakaian yang cukup anggun hingga yang sedikit seksi dengan make up yang tebal pula, bahkan tidak jarang dia menggabungkannya menjadi pakaian yang anggun nan seksi, makanya tidak sedikit laki-laki yang menyukai Nis dan mendekatinya mulai dari adik kelas hingga kakak kelas, dan aku pun tidak sekali dua kali melihat Nis diantarkan dengan mobil-mobil mahal oleh laki-laki yang berbeda-beda pula. Entahlah aku tidak tahu menahu lebih jauh lagi tentang Nis, aku hanya tahu sekilas tentang dia, aku jarang sekali berbicara dengan Nis, dan tidak terlalu akbrab dengannya, lagipula mana mungkin Nis mau akrab dan dekat dengan pria kumuh dan tidak jelas sepertiku ini, yang pasti dia akan malu dan akan kebingungan untuk menyimpan mukanya dimana.
“ada apa nis?”
“kenapa kamu menangis, bukannya kehidupan kamu dulu begitu menyenangkan?” tanyaku ingin tahu.
“aku hancur has…hancur, hancur oleh kebodohanku sendir.”
“coba ceritakan nis, kamu ini hancur kenapa?” tanyaku lagi benar-benar ingin tahu apa yang telah terjadi pada Nis. Dan Nis pin mulai bercerita panjang lebar tentang dirinya bahwa sejak dia lulus kuliah dulu dia langsung dapat kerja menjadi sekretaris disebuah perusahaan yang cukup bonafit. Sejak itulah kehidupan Nis pun berubah, hingga pada suatu waktu dia terbujuk oleh rayuan gombal atasannya yang cukup kaya dan terkenal suka merayu para sekretarisnya, Nis pun menjadi salah satu korbannya dan sudah masuk dalam perangkapnya seperti kerbau dicocok hidung. Hubungan dan kedekatan mereka pun semakin dekat, hingga pada akhirnya Nis menyimpan benih sanga atasannya itu diluar nikah dan kemudian yang membuat Nis sangat terpukul, dia dicampakkan begitu saja oleh atasannya tanpa ada kabar yang jelas dan raib entah kemana. Sampai saat ini hari-hari Nis diisi dengan meratapi nasibnya dengan tangisan dan tangisan.
“maafkan aku nis, bukannya aku tak mau membantumu, tapi aku benar-benar tidak bisa membantu apa-apa...puuuuuh.” aku tiup perlahan asap itu agar dia perlahan-lahan hilang dari hadapanku, aku membiarkan dia agar menangis dalam tangisannya dan bersedih dalam kesedihannya, dan membiarkan dia merenungi tentang dirinya.
Huh, cukup menarik juga cerita Nis ini, dan aku hanya geleng-geleng kepala setelah mendengarkan semua ceritanya. Ternyata kehidupan yang dijalani sebagian temanku begitu rumit dan tambah aneh dibandingkan dulu.
Kulihat satu hisapan lagi rokok itu akan habis, aku berharap yang muncul dari asap kali ini adalah sebuah pertunjukan atau hiburan yang segar. Dan setelah kukepulkan asap itu…ah ternyata perempuan aneh itu kembali lagi dengan antusias aku pun mulai memperhatikannya, dengan pakainnya yang berwarna-warni dan cerah yang aneh dan terkesan abstrak, yang membuatku lebih tertarik lagi perempuan itu mulai menari diiringi dengan hentakan suara perkusi yang begitu dinamis, entah tarian apa yang dia lakukan, aku sama sekali belum pernah melihatnya, mungkin tarian yang dia ciptakan sendiri pikirku, namun bagaimanpun tetap menarik perhatianku. Setelah sekian lama menari, perempuan itu mulai kelelahan terlihat dari gerakannya yang mulai lambat. Tidak lama kemudian dia mulai membuka gulungan kertas karton dengan ukuran besar dan mengangkatnya dengan tulisan yang cukup besar pula “I HATE LOVE, BUT I LOVE MYSELF”, hmmm…entahlah apa yang terjadi dengan perempuan itu, hanya sedikit yang bisa aku mengerti tapi belum bisa kupahami sepenuhnya, dan yang membuat aneh lagi, sebelum asap itu ku tiup perempuan itu sudah menghilang lebih dulu, dan meningglakan secarik kertas dengan tulisan “perkanalkan aku ini seniman, asbakmu sangat bagus.”







04 Juni 2009

ANGKOT GOSIP

Mungkin, gosip menggosip sudah menjadi semacam kebutuhan kita sehari-hari, gosip apa saja dan banyak pula ragam yang digosipkan, mulai dari perselingkuhan tetangga, perabot kreditan tetangga, sampai selebritis yang belum terkenal pun kadang menjadi bahan baku gosip. Dan hebatnya lagi ketika mulut sudah agak sebal dan gatal-gatal, kegiatan yang kreatif ini tidak mengenal tempat, bisa sambil masak, saat berbelanja di pasar, di puskesmas, di halte bis, di sekolah sambil menunggu anak-anak pulang dan sudah barang tentu di telepon, biasanya pada awalnya hanya menanyakan resep masakan, tidak tahunya resep masakan yang dibicarakan pun melebar kemana-mana dan semakin panjang, dan bahkan mungkin juga bisa menambah cita rasa resep masakannya.
Kebetulan pula, suatu waktu pada siang hari disaat cuaca sedang panas-panasnya dan sinar matahari yang membakar jalanan, saya putuskan untuk keluar rumah dengan maksud untuk mencari udara segar, dan kebetulan juga dirumah saya sedang tidak ada siapa-siapa. Ketika hendak mengunci pintu gerbang rumah, beberapa orang ibu-ibu (kalau tidak salah lima orang) lewat di depan rumah saya sambil ketawa-ketawa, mengobrol dengan obrolan yang tidak saya mengerti. Saya juga mengenali mereka semua, begitu juga dengan mereka semua yang mengenali saya, karena saya dan ibu-ibu itu bertetangga. Ibu saya pun mengenal mereka semua, hanya ibu saya jarang bergaul dengan sebagian ibu-ibu itu, paling sering ibu saya ngobrol sama bu Idah penjual nasi kuning dan ibu Wati seorang penjahit pakaian terkenal di RT saya. Saya pun sempat menanyakan kepada ibu saya perihal ibu yang jarang sekali bergaul dengan ibu-ibu yang lainnya, alasan ibu saya karena tingkat menggosip ibu-ibu disini sudah akut, parah, dan ada pada tingkat stadium I. tapi ibu saya pun tidak pernah merasa bosan saat berada dirumah seharian, karena ibu saya sekarang ini sedang asik-asiknya bergaul di facebook, bertemu dan bercengkrama dengan teman-teman arisannya dan tentunya tidak lupa juga disertai sedikit gosip.
Dengan wajah yang ceria dan tampak bersemangat, ibu-ibu itu mengajak saya untuk jalan sama-sama, dan dengan sedikit terpaksa saya pun menerima ajakan ibu-ibu itu. Saya pikir toh hanya sampai ujung gang saja, tidak akan diajak kemana-mana lagi.
“apa kabar de amir.” Sapa ibu-ibu itu dengan agak…agak…agak…sedikit genit.
“eh ibu-ibu, baik bu.”
“de amir mau kemana, siang-siang panas begini kok malah keluar rumah?”
“mau jalan-jalan aja bu, kebetulan cuacanya lagi panas dan gerah.”
“ah de amir ini ada-ada saja.”
“lho ibu-ibu sendiri pada mau kemana?” Tanya saya sedikit penasaran.
“oh, kita-kita mau jemput anak-anak disekolah.”
Dan saya pun lama-kelamaan larut dalam pembicaraan mereka, dan seperti biasa lambat laun pembicaraannya mulai merambah kemana-mana, dan perjalanan menuju ujung gang pun terasa sangat sangat panjang. Banyak sekali yang dibicarakan ibu-ibu itu, seakan-akan tidak pernah kehabisan bahan baku untuk berbicara, saya pun sesekali mengikuti dan mengomentarinya, walaupun sebenarnya saya tidak pernah tahu apa sebenarnya yang sedang dibicarakan. Namun yang sempat saya tangkap dari pembicaraannya kali ini tidak jauh-jauh seputar selebritis yang kawin sirri, poligami, perceraian dan lain-lainnya yang mereka anggap paling panas dan paling penting untuk dibicarakan saat ini.
Setelah sekian lama berada dalam perjalanan yang terasa lambat itu, akhirnya saya sampai dan keluar juga dari gang penuh cerita yang berputar-putar itu. Lalu entah suatu keberuntungan atau bukan, tiba-tiba saja sebuah angkot (angkutan kota) milik mang Udin yang juga tetangga saya lewat di hadapan saya dan para ibu-ibu, dan kebetulan pula angkot mang Udin masih kosong melompong, sontak saja para ibu-ibu itu kegirangan melihat angkot yang tampak kosong itu, mungkin pikir ibu-ibu itu bisa lebih leluasa untuk membicarakan berbagai hal. Namun saya sedikit heran dengan angkot mang Udin yang masih kosong ini.
“mang, kok siang hari gini masih kosong?” Tanya saya
“iya nih de Amir, baru keluar garasi, mamang kesiangan bangun, semalam mamang sibuk banget.”
“memangnya mang udin sibuk ngapain?” Tanya saya lagi ingin tahu.
“semalam mamang main catur, gapleh, remi tarus nonton bola.”
“wah hebat ya mang udin, jadwalnya padat.”
“ya begitulah de.” Timpal mang Udin sambil tersenyum malu dengan mata yang masih merah.
Maka tanpa basa-basi lagi saya pun langsung masuk ke dalam angkot mang Udin dan saya memilih duduk didepan di samping pak supir yang baru mau bekerja, begitu pula dengan ibu-ibu itu, dengan suka cita mereka memasuki angkot mang Udin.
“selamat siang ibu-ibu, pasti pada mau jemput anak-anaknya ya?” sapa mang Udin kepada ibu-ibu.
“iya nih pak udin, kebetulan ada pak udin, jadi kita kan gak usah bayar ha…ha…ha…ha…”
“iya tenang aja bu, yang penting beigtu turun pada bayar ya.”
Dengan sedikit santai karena masih merasa agak mengantuk mang Udin pun menjalankan kendaraannya menyusuri jalan raya sambil sesekali mencari penumpang. Pada awalnya tidak terdengar apapun dari ibu-ibu yang ada dibelakang saya dan mang Udin, namun saat berada ditengah-tengah perjalanan, salah satu dari ibu-ibu itu kembali membuka pembicaraan, kali ini yang menjadi tema pembicaraannya mengenai “kelahiran bayi termahal seorang penyanyi dangdut terkenal”. Entah sebenarnya penting atau tidak, tapi para ibu-ibu itu membicarakannya sangat detil dari a sampai z, mereka benar-benar seperti seorang komentator dalam sebuah pertandingan sepakbola. Saya dan mang Udin pun hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala mendengar obrolan ibu-ibu yang semakin lama terdengar semakin seru itu.
Tempat yang dituju oleh ibu-ibu itu pun semakin dekat, dan mang Udin sesekali mengingatkan ibu-ibu itu. Namun sepertinya ibu-ibu itu tidak menghiraukannya, karena masih sangat konsentrasi dengan kegiatan bertuturnya itu, dan saya pun sepertinya akan merasa percuma jika seandainya mengingatkan ibu-ibu itu.
*****

Akhirnya, sekolah yang dituju oleh ibu-ibu itu sudah sampai dan angkot mang Udin pun berhenti tepat di depan sekolah. Lama berhenti, mang Udin dan saya agak heran, kok ibu-ibu itu tidak turun-turun juga, lalu saya dan mang Udin menoleh ke arah belakang, kami berduan pun kembali geleng-geleng kepala melihat ibu-ibu itu yang masih asik ngobrol.
“ibu-ibu, kita sudah sampai disekolah, nanti kalau nggak ditunggu anak-anaknya pada kabur lho.” Seru mang udin sambil membujuk ibu-ibu yang masih betah didalam angkot.
“ooh, kita sudah sampai yaa! Tapi gak apa-apalah pak udin santai aja, bubaran anak-anak kita juga masih agak lama kok.”
“lah, terus ibu-ibu terus mau kemana? Saya kan mau terus ke terminal.”
Ya sudah pak udin jalan saja sampai terminal, lagian ngobrol-ngobrol kita juga belum selesai, tanggung nih.”