30 September 2010

BUKU...BUKU...BUKU....


YYYYEEEEEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

21 September 2010

MONOLOG KARYAWAN BIMBANG

Isuk-isuk diuk dina bangbarung bari make sarung, jang Eman ngahuleng teu puguh rarasaan, salaku karyawan nu geus mang taun-taun digawe, euweuh deui nu dipikiran ku jang Eman salian ti masalah pagawean, komo masalah jang neangan calon pamajikan mah, teu saeutik-eutik acan ngaliwat kana pikirana jeung dina gerentes hatena, tuluy naon atuh sabenerna nu keur dipikiran jeung nu dipiharep ku jang Eman teh?

Ceuk jang Eman :

“mun dipikir-pikir deui ku kuring, digawe geus mangtaun-taun asa can ngarobah kana kahirupan kuring, gajih naek ku naekna tapi da angger dirarasa mah asa teu mahi jeung teu mahi, beak ku kabutuhan sapopoe anu beuki dieu beuki beurat, nepi ka ayeuna kuring ge can wani nyicil motor, komo deui imah jeung mobil, tipi nu tinggal dua siki teh kahayang mah diganti kunu rada gede, jangji rek meuli arloji nu udung nepi ka kiwari can kaduitan, kukumpul duit gajih jang nyieun pabrik tahu can laksana nepi ayeuna, malah mah teu jarang duit sesa gajih sabulaneun ngan saukur dua bungkuseun udud, katambah deui dunungan nu sok ambek-ambekkan teu pupuguh, sakapeung sok mawa teu puguh kana digawe teh jeung asa ku teu betah na teh dunungan boga rencana rek nambah jam digawe jadi rada panjang, ninggali kaayaan kieu kuring sok hayang nyiar deui pagawean nu lain, tapi da rek neangan kamana deui, kuring digawe ditempat nu ayeuna ge meunang ngasupkeun si ewon, bari jeung hese eta oge, aya ku daek manehna nulungan kuring, emh nuhun won, ari ninggali kieu mah, rarasaan teh asa jauh keneh kana tujuan rumah tangga, jeung ku kaayaan kieu kuring can wani ngadeukeutan sasaha, kaasup nyi imas nu daekeun ka kuring asa kuring geus boga motor, duh gusti hapunten kana sagala ka kirang syukuran abdi, mugi-mugi abdi di jantenkeun ku Anjeun kalebet kana golongan jalmi ani ahli syukur sinareng dicekapkeun sagalana, amin.” Kitu ceunah ceuk jang Eman tuluy nyuruput cikopi jeung nyeungeut udud nu tinggal tilu batang pamere ti si Ewon.

15 September 2010

TEMPAT KITA DULU

pertama kali mengenalnya
ada rasa ragu yang beradu dalam kalbu
namun apa daya,
itu karena kita belum bercengkrama
dan belum merasakan kehangatan jabatan tiap-tiap tangan
penghuni dari ruang-ruang yang penuh ilmu.
karena untuk yang pertama kalinya pula kita sudah mulai dianggap dewasa
dari yang sebelumnya berpakaian putih merah.
ada jejak-jejak baru yang harus kita tempuh,
dimana akan kita torehkan berbagai cerita,cita-cita dan
harapan dimasa yang akan datang untuk kemudian dapat kita kenang.

saat-saat indah di tempat ini adalah ketika
kita bisa berbagi keceriaan khas dari kita yang pernah merasa kecil
semuanya seakan hanya ada ketulusan sekaligus kepolosan.
berkumpul bukan sekedar mencari nilai.
tapi lebih dari itu, PASUNDAN telah menjadi sahabat, saudara bahkan keluarga besar.
dan yang menyatukannya adalah cinta, kecintaan pada bangunan
yang sudah tampak semakin tua ini, dan juga kecintaan pada para pahlawan tanpa tanda jasa
yang merangkul kami bukan seperti anak tiri,
PASUNDAN.
semakin tua oleh setiap kebahagiaan, kesedihan, keharuan, semangat,
pikiran, kerja keras, cinta, dan segala geliat yang telah mengendap
pada tiap-tiap dinding kelas dari masa ke masa.

dan dihari ini, namamu masih tegak berdiri.
tidak mudah tergerus oleh arus.
tidak pernah luntur oleh perubahan
semakin matang menjadi bagian dari jati diri bangsa
semakin mendidik menjadi seseorang yang lebih berguna.
dan kita yang hadir disini, hari ini semua menjadi saksi
atas segala energi yang ada dalamnya.
PASUNDAN, telah menyatukan kita kembali, bertatap walau sedetik
namun kenangannya akan terus terpatri di hati
PASUNDAN akan terus mengilhami dan menginspirasi kita
sebagai insan yang pernah menyelami hakekat kebersamaan didalamnya.

SELAMAT BEREUNI KEMBALI
BAGI PARA ALUMNI SMP PASUNDAN 3 BANDUNG


OKTORA GUNA NUGRAHA, 2010

09 September 2010

YANG TERSISA DI HARI RAYA ( DI APARTEMEN 77)

Oleh : Oktora Guna Nugraha feat. Dwidikas ‘atat’

Kamis 09 September 2010 adalah hari terakhir di bulan Ramadhan sekaligus juga merupakan hari sebelum esok – idul Fitri, yang tentunya sama-sama kita sambut dengan gema takbir. Sejak pagi hari ada perasaan yang begitu bercampur dalam benak saya, bahagia karena secara awam saya bisa melewati shaum di bulan Ramadhan dengan lancar, dan sampai pula pada hari kemenangan. Tapi disisi lain ada rasa khawatir, apakah shaum saya selama satu bulan sudah benar dan diterima sepenuhnya? Tapi semua itu saya serahkan kembali sepenuhnya kepada Allah SWT Yang Maha Mengetahui apa yang telah diperbuat oleh hamba-Nya. Namun secara keseluruhan, saya tetap mencoba bersuka cita seperti kebanyakan orang dalam menyambut datangnya hari raya, karena bahagia seharusnya saat memasuki bulan Ramadhan, dan terlebih lagi saya merasa bersyukur masih diberi kesehatan hingga akhir Ramadhan dan masih bisa berkumpul dengan keluarga di rumah.

Dari segala apa yang saya rasakan, seketika itu pula seakan menjadi sirna ketika mendengar beberapa kawan yang tidak bisa berkumpul dengan keluarganya saat hari raya Idul Fitri tiba, termasuk juga salah seorang kawan saya – Dwidikas, maka perenungan yang paling dalam bagi saya adalah meraba isi hati mereka yang paling dalam, yang kemudian saya simpulkan bahwa kawan-kawan saya yang tidak bisa pulang kampung halaman bukanlah karena tidak ingin, tapi karena satu dan lain hal, seperti halnya kawan saya Dwidikas yang terpaksa tidak bisa pulang karena sebuah sistem di tempat kerjanya, dan mungkin juga sebagian orang yang terpaksa tidak bisa pulang karena hal yang sama. Hal ini membuat saya sedikit menghela nafas panjang untuk sejenak dan berpikir bagaimana caranya untuk membuat kawan saya bahagia walaupun tanpa keluarga, dan saya sadari betul bahwa sedikit kebahagiaan yang kawan saya rasakan itu tidak akan pernah sebahagia ketika bertemu dengan keluarga di tanah kelahiran.

Saya dan Dwi kemudian sepakat untuk mengisi hari terakhir shaum Ramadhan kali ini dengan mengelilingi Bandung yang mulai terlihat sedikit lengang, kemudian kami berbelanja beberapa barang yang masih kami perlukan, mendung dan hujan rintik pun menemani acara keliling-keliling kami, tapi akhirnya karena dirasa hujan akan membesar maka kami berdua putuskan untuk segera menuju Apartemen 77. Kami bersyukur karena sebelum hujan turun semakin deras, kami sudah lebih dulu tiba di Apartemen. Dan dikala hujan deras itulah sambil memandangi kamar-kamar beberapa kawan yang sudah tampak gelap dan tak berpenghuni itu kami mulai bercerita hari-hari (Ramadhan) yang telah terlewati dan mengenang kembali Ramadhan yang begitu terasa sangat…sangat singkat! Sambil mempersiapkan beberapa sajian tajil untuk berbuka, kami bercerita dan membayangkan ketika beberapa kawan-kawan sesama penghuni Apartemen masih berada di kamarnya masing-masing, dan satu hal yang paling mengesankan bagi kami berdua adalah ketika kami dan kawan-kawan sering berkumpul dan buka shaum bersama (hampir setiap hari) di sebuah meeting room walaupun hanya dengan segelas teh hangat dan semangkuk kolak, tapi hal itu benar-benar membuat kami merasa menjadi satu keluarga, canda dan tawa selalu hadir disana. Namun semua itu dengan sekejap hilang dari pandangan, kami sebenarnya masih rindu dan masih ingin melakukan hal-hal yang tampak sederhana namun penuh kehangatan seperti itu, tapi apa yang mau dikata waktu telah menghapus segalanya.

Berjam-jam kami berdua bercerita, akhirnya waktu jua yang menghantarkan kami dan juga semua orang pada waktu berbuka (buka puasa penutup). Lalu selepas berbuka dan shalat maghrib, perasaan saya (dan mungkin juga kawan saya) semakin tidak karuan saja, terlebih lagi lagi ketika masjid di sebelah apartemen sudah lebih dahulu dengan khidmatnya menggemakan takbir…Allahuakbar…Allahuakbar…Allahuakbar…walillahilham!, ingin rasanya menitikkan air mata, karena rasanya baru saja kita mengucap niat bershaum, tiba-tiba saja sudah tiba pada takbir yang mengagungkan kebesaran Allah SWT, dan secara reflek perlahan bibir kami pun ikut mengucapkan takbir! Dan kembali tegar. Walaupun yang kami nikmati kemudian adalah keheningan dan kegelapan beberapa kamar kawan-kawan yang diterangi oleh terangnya kamar kami yang masih menyala dan masih menyimpan sisa-sisa cerita saat Ramadhan yang lalu. Akhir kata Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H, terutama bagi kawan-kawan yang telah lebih dahulu berkumpul dengan keluarga.

Bandung, tengah malam di Apartemen 77, 09/09/10
Ditemani oleh hening, dingin dan gema takbir.

05 September 2010

KAMPUNG HALAMAN DAN MAGNET KOTA

Idul Fitri atau lebaran hanya tinggal hitungan jari, itu artinya menjelang lebaran ini akan ada sesuatu yang khas, sebuah tradisi yang sudah menjadi budaya – mudik atau pulang kampung. Walaupun nama tempat yang dituju berbeda-beda, tapi pada hakekatnya adalah sama yaitu menuju kampung halaman – tempat kelahiran. Namun tidak semua perantau bisa merasakan seni bermudik atau pulang kampung karena satu dan lain hal, misal ada yang memang terikat oleh pekerjaan hingga ada yang memang berniat tidak pulang kampung dan alasannya pun beragam. Bisa dikatakan pulang menuju kampung halaman saat menjelang Hari Raya Idul Fitri menjadi momen yang sangat penting, karena dikampung halaman ada keluarga dan sanak saudara. Ada yang menjadikan mudik itu sesuatu yang “wajib” – dalam arti setiap lebaran harus pulang kampung, dan bagi yang menjadikannya wajib ini, terkadang ada kesan memaksakan diri untuk bermudik, walaupun itu dilakukan dengan cara pinjam sana dan sini, gadai ini dan itu yang penting bisa mudik, dan semua itu urusannya bagaimana nanti saja setelah lebaran usai. Ada pula yang menganggap mudik adalah sesuatu yang “sunnah” – dalam pengertian jika pulang kampung dan bertemu keluarga itu lebih baik, tapi tidak pulang pun tidak apa-apa dan tidak ada salahnya, yang penting uang terkirim.

Kampung halaman pun setidaknya menjadi motivasi tersendiri disamping untuk bertemu keluarga, selalu ada cerita saat tiba di kampung halaman, sehingga menjadi hal yang lumrah ketika kampung halaman menjadi semacam tempat untuk mentransfer segala hal tentang tempat dimana para perantau mengadu nasib dan mencari nafkah (biasanya di kota-kota besar), karena jelas kota sudah dianggap menyimpan segalanya dibandingkan kampung halaman atau pedesaan, karenanya tidak jarang pulang kampung menjadi sebuah ajang pembuktian sudah sejauh mana kesuksesan diraih di tempat perantauan, dan seakan-akan menenggelamkan dan membenamkan wajah desa tempat kelahiran.

Cerita tentang kota dibuat semenarik mungkin dengan cara pendeskripsiannya masing-masing, walaupun tanpa adanya maksud untuk mengajak siapapun, namun tetap saja cerita-cerita yang tersaji – terutama tentang mencari nafkah dikota, begitu menginspirasi dan menggiurkan bagi siapa saja yang mendengarkan, termasuk saudara dan teman-teman untuk merancang, mempersiapkan dan juga menyemarakkan tren urbanisasi paska lebaran untuk segera menyerbu kota dengan istilah-istilah mengadu nasib, mencari nafkah, mencari peruntungan dan lain sebagainya, sehingga kota itu seolah-olah digambarkan menjadi tempat yang tepat untuk meraih sukses, dan kampung halaman seolah menjadi tempat yang paling sulit untuk mencari pekerjaan dan mengembangkan diri.

Magnet Kota

Paska lebaran atau bisa juga disebut arus balik adalah waktunya bagi kota-kota tujuan perantauan untuk “mempersiapkan diri” menyambut kembali kedatangan arus urbanisasi yang mungkin hany terkontrol pada bagian permukaannya saja, lantas bagaimana dengan dengan muatan pendatang yang tidak terdeksi? Ini jelas menjadi tugas berat bagi pengelola kota untuk membuat sebuah sistem yang terukur dan terarah untuk mengetahui jumlah pendatang secara menyeluruh dan membenahinya secara bijak, karena sekali lagi kota sudah terlanjur dianggap tempat yang tepat untuk mencari pekerjaan dengan alih-alih mendapatkan penghasilan yang tinggi, padahal kita semua tahu bahwa jumlah pengangguran di kota pun terbilang masih cukup tinggi. Maka ketika para pendatang (yang baru datang) terkatung-katung tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, kecenderungan penambahan jumlah pengangguran adalah menjadi sesuatu yang nyata, dan menjadi masalah yang semakin kompleks, belum lagi banyak media mempekirakan dan menginformasikan bahwa lonjakan para pendatang di tahun ini akan bertambah dari tahun sebelumnya, dan pada kenyataannya pun angka-angka itu selalu terus bertambah.

Adalah sah-sah saja ketika kota menjadi tumpuan untuk memperbaiki nasib – walaupun pada hakekatnya rezeki bisa dicari dimana saja – akan tetapi kota dengan segala daya tariknya tidak lantas menjadikan seseorang tanpa pengetahuan dan keahlian membuatnya menjadi “nekat” untuk menjadi salah satu peserta pendatang baru. Segala cerita dari saudara ataupun teman yang telah lebih dahulu menetap di kota, tidaklah cukup menjadi bekal untuk mengarungi kehidupan ditengah-tengah masyarakat kota yang tentunya berbeda cara pandangnya dengan masyarakat desa. Karena cerita tidak menjadikan seseorang dengan instan mempunyai keahlian, sebab keahlian adalah proses belajar dan menempa diri.

Kota pada perkembangannya menjadi semacam magnet yang luar biasa, dan karena perkembangannya pula kota menjadi begitu sangat selektif terhadap manusia yang akan mendatanginya maupun yang sudah menetap didalamnya. Pengetahuan, keahlian dan juga kreatifitas menjadi elemen penting yang mau tidak mau harus dimiliki seseorang. Dan pada akhirnya mengadu nasib dan mencari nafkah di sebuah kota kemudian disebut sebagai pendatang, adalah sebuah pilihan, akan tetapi mengukur terhadap diri sendiri merupakan sebuah pertimbangan yang tidak bisa disisihkan begitu saja dari segala rencana yang telah dirancang, sehingga ketika kualitas diri dirasa sudah mencukupi, setidaknya akan menjadi modal dan strategi untuk memetakan kahidupan pada situasi dan kondisi yang baru – kota.

Selamat Hari Raya Idul Fitri, selamat mudik

Oktora Guna Nugraha

Bandung


02 September 2010