13 Desember 2010

SAJAK MELAWAN WAKTU*


Cerita lama selalu menjadi kekuatan bagi kita, ketika semua sudah tertulis dan menjadi ada, segalanya pasti akan ada yang hilang dan tertinggal, semuanya mempunyai tempo antara cepat dan lambat, hanya ada dan ternikmati jika diam tak melangkah, menggoreskan segala keinginan kita hingga benar-benar memenuhi arah yang masih kosong. Yang kita pikirkan ke depan jelas sudah adalah perubahan, kesombongan akan menyeringai jika kita lalai, namun aku lapangkan hati dan raga ini agar perjalanan menjadi seimbang. Karena kita sadar yang tidak terbawa oleh asa tidak kita inginkan untuk musnah sekalipun kita tak beriringan. Namun akan kita ingat sebagai sesuatu yang telah mengisi jalan kita. Tetapi waktu akan terus mendesak kita untuk berjalan dan yang telah berjalan kita rasa tidak berubah dan luntur oleh segala terpaan.

Adakalanya ketika jauh dalah lupa dan awal yang dahulu adalah saling tidak tahu. Ketika perjalanan kita yang semakin sulit terbendung seringkali mematahkan apa yang telah saling kita ketahui. Nama dan raga, aku yang sudah melangkah di jajaran paling depan, lambat laun bayang-bayangmu mulai tergantikan dan terhisap oleh waktu lalu yang telah kutinggalkan. Awalnya kau dan aku hanyalah jarak yang tak terpandang tak ada nama dan tanpa suara. Saling berlari kencang berharap untuk dipertemukan pada satu tempat yang mau tak mau akan menjadi titik pertautan. Tatapan kita adalah awal dari kata yang bernama singkat dan tak bisa dihentikan, memaksa kau dan aku untuk saling memusnahkan segala ucapan dan jabatan tangan yang erat. Dipenghujung jalan yang baru aku kembali tak mengenalmu seperti yang telah lalu saat kita belum bertemu.

Kelemahan pikiran adalah tak bisa mengita dan menduga akan sebuah kepergian, bagitu banyak mata, hati dan nalar ini terhalang oleh gerak-gerik yang begitu ramai. Selangkah pun aku pergi sepertinya takkan bisa menjangkau dunia luas ini dan tempat-tempat yang akan kau singgahi, kekuatanku hanyalah menyimpan hati. Dan berpetualanglah kau ke tempat yang tidak bisa kutemui untuk dapat melawan waktu menggenggam dunia. Jawabanku pada tiap-tiap daun yang jatuh hanyalah entah dan tidak bisa tahu, yang benar-benar tak bisa dipercaya olehmu. Maka segalanya telah kurekam sepenuh hati ketika kau pergi.

Mungkin saat ini kita sudah berada di jalan dan tempat yang berbeda, melupakan segalanya yang cerah dan terang, walaupun begitu berjauhan pernahkah kita berpikir dan bertanya pada hati kita sendiri, bahwa keramaian dunia takkan pernah mengubah isi hati kita yang paling kita rasa dan ketahui. Apa yang aku dank au rasa yang paling dalam adalah bukan sakit dan benci, tapi sebenarnya adalah hampa, hampa yang semakin melanda dan tak bisa diganggu gugat. Langkah jarum detik yang begitu cepat bukan menambah jauhnya bayangan kesendirian, akan tetapi semakin menambah nyata tentang segala keinginan dan kelemahan kita. Kau yang berada disana ku rasa takkan pernah berbeda, akan selalu mengerti dan kita pahami. Karena kehampaan bukanlah sebuah ilusi dan fantasi, tapi dia ada walau tak kasat mata. Ada dan hadir disaat sendiri dalam gelap yang dibalut oleh terang. Hampa adalah sebuah kenyataan yang semakin hari tersinari dan tersirami, semakin terasa kenyataannya oleh kita, ia tak pernah pergi bahkan terus semakin menghampiri.

Tapi langkah-langkah kita haruslah terus berjalan mendekati segala kemungkinan. Kau dan aku tak mungkin mematahkannya dan menghancurkannya hingga berkeping-keping. Kita akan lihat sejauh mana hampa akan mengantarkan segala keinginan. Tepian demi tepian harap telah terjamah kerinduan, terus mencari letak pijakan yang benar. Jalan kita terlalu panjang untuk disingkirkan dari garis-garis telapak kaki kita. Maka ketika sadar berkuasa jangan pernah berhenti untuk menatap satu titik jauh didepan, dan setiap anak tangganya yang sunyi. Waktu akan terus bergerak melaju seperi waktu-waktu yang telah lalu.

Aku mencoba untuk terbangun dari keringat cerita masa dulu yanag berat. Berat untuk melangkah dan bergerak. Entahlah hati ini begitu sibuk mengendalikan segala keinginan arah perjalanan yang masih tak ku mengerti dari sekian perjalanan yang penuh dengan asa. Tapi pikiran ini tak bisa menunggu dengan diam, aku harus mencari dan mencoba mencari segala harapan lama yang pernah terpendam begitu dalam, dimana saat itu adalah saat kurasakan sebuah sakit, dan yang terlihat olehmu bukanlah aku yang terbarig, tapi aku sakit karena berdiri sendiri sperti yang telah lalu. Dan ketika semuanya telah kau ketahui, maka relaknlah aku seperti aku, dan relakanlah semuanya sehingga aku takkan lagi lupa mencari harap.

22 November 2010

BUKA

Dulu adalah dimana penuh dengan lika-liku, pasang surut kebahagiaan dan keceriaan di antara kita, adalah yang paling indah. Saat pertama aku hadir dan menyapa, kita sudah sama-sama berjalan beriringan saling bersenandung, bernyanyi dan berdendang, tertawa lepas menghibur menghilangkan duka, karena bisa hadir dimana-mana menyusup ke dalam setiap telinga dan menyelinap ke dalam hati, semua itu seolah-olah kita anggap akan menjadi lama dan perjalanannya mungkin saja panjang dalam ruang kebersamaan dimana yang terdengar saat pagi tak pernah sepi dan malam tak pernah padam. Tempat kita berlari begitu luas, dan hampir setiap akhir pekan kita berjumpa, kau membawa cerita sedangkan aku memberi nada-nada yang sungguh tidak terpaksa – dan ternyata hari adalah indah, karena kita masih satu rasa dalam gerak dan pikiran, dimana jika direnungkan perjalanannya cukup panjang, namun tanpa terasa lelah. Setiap jejaknya meninggalkan kesan yang dalam dan bermakna, hingga yang terjadi diantara kita adalah rindu yang menggebu.

Semua itu adalah dulu, dimana kita kadang ingin saat ini merasa sama dengan dahulu, tapi kita ingat dan sadar pada waktu dan arah angin – waktu yang terus menghapus masa lalu dan arah angin yang mengubah langkah kita. Kini kita memang harus bersatu walaupun dengan raut wajah dan nada bicara yang berbeda, akan tetapi setelah sekian lama yang terlupakan itu masihkah kita berada dijalan yang sama? Jika ya, mungkin hanya sedikit bergeser saja, dan jika tidak maka kita biarkan saja seperti warna-warni bunga yang ternyata masih bisa berdampingan, karena kita tidak bisa pungkiri bahwa kita tidak sendiri.

Segalanya telah tertancap dalam benak kita. Kita genggam semua kenangan dengan erat dan kuat hingga tidak akan pernah terlepas walau sehelai. Tak ada yang pernah tertutup dan saling bersembunyi, mata dan hati saling terbuka sehingga tak ada nada yang bernama curiga, maka langkah kita menjadi ringan dengan selalu lepas tertawa. Semua itu begitu sedikit dari setiap bagian langkah kita yang begitu banyak untuk di kisahkan, hingga mungkin kita lelah untuk menceritakannya. Namun semua itu telah kita dapat dan rasakan dengan banyak gambaran-gambaran tentang keindahan dan semua telah kita simpan dalam segala suasana yang kita jamin semua itu takkan pernah hilang dan terlupakan, semuanya tidak bisa kita pungkiri bahwa kita tidak sendiri.

Jika terlalu lama maka bayangkanlah semuanya akan kembali menjadi nyata. Waktu memang seperti sekejap mata sekalipun kita menjalani hari dengan tidak tergesa-gesa. Adakalanya kita berharap ketika terpisah, ingin kembali berpegangan tangan dengan erat, namun selalu terpisah oleh sebuah alasan dari setiap akal yang dimengerti tapi kadang tidak dipahami, kita hanya membekali dengan dengan janji, maka semakin lama adalah semakin ragu dan kaku. Datanglah, dan kita akan selalu terbuka menerima segala pikiran dan cerita-cerita lama agar kita kembali ceria dan tak ada lagi segala tanda tanya di dalam benak dan kepala. Kita akan berada dalam satu naungan pemikiran, walaupun begitu banyak tujuan yang terkadang liar dan penuh ancaman. Lekas kita menari dan bernyanyi kembali mengisi hari-hari dengan hati agar tidak ada lagi sunyi. Dan itu yang seharusnya kita sama-sama jangkau lebih luas lagi, meskipun jika terasa jauh kita akan tetap terbuka, hanya berbeda dari jaraknya saja. Lambat laun akhirnya kita pun merasakan kehangatan yang sempat padam dan tersiram oleh tetesan air hujan waktu. Maka cepatlah datang, kita akan terus selalu terbuka dan raihlah segala keterbukaan tangan…

NYALA

Jauh dimana waktu kaki melangkah, tak jarang ada bagian dalam jalur hidup ketika langit terasa terus menerus berwarna hitam, semu bukan keinginan, semu adalah jalan. Tak pernah berhenti terus mencari titik dimana keberadaan awan yang putih dan lembut, yakin bahwa itu bukanlah semu yang selalu membuat ragu, terbangkan pikiran sejauh-jauhnya hingga pasti menemui yang sedang tersembunyi, menunggu hingga terpanggil oleh suara-suara yang tak bergetar. Pertemuan dengan perih selalu menyapa ketenangan hati, membuai dan terlena dibuatnya hingga mata terpejam melihat hitam. Dalam mimpi memaknai jatuh demi jatuh, pada rangkaian langkah-langkah yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Memikirkan adakah cahaya disana, di tempat yang berlainan arah? Jawabannya adalah membisu. Tapi jika saja dapat kembali kearah yang dianggap suram, maka sudahlah terasa rasanya seperti apa. Tetapkan agar percaya bahwa terang akan segera datang dan disaat yang tidak pernah terduga sebelumnya oleh aura panca indera.

Langit diatas sana selalu menyala, menerangi yang tegak berdiri menghirup hembusan keinginan untuk keluar dari kubah yang menutup rapat setiap catatan perjalanan. Tanah tempat berpijak tidak selamanya bungkam, ketika basah tersirami oleh air hujan, akar-akar begitu bahagia, dan ketika disinari sinar matahari segalanya seperti terasa hangat, langit begitu dekat karena terlihat, burung-burung saling bersahutan melayang membawa kutipan sepatah kata dari kumpulan awan dan segenap alam untuk untuk dihantarkan pada malaikat yang berada diatas bumi yang sedang tersenyum lepas.

Semua telah mempercayaiku, walalu mereka terkadang merasa sulit, yang terasa adalah hujaman dan tikaman dari perkataan dan sumpah serapah melilit raga. Tapi biarlah aku mengurung benci, karena tanah sudah mempersilahkanku dengan luas untuk melangkah dengan sederhana, karena anginpun menunjukkan arah padaku dengan hembusannya yang terbuka lepas, lepas…aku harus segera lepaskan sebuah jangkar raksasa di pundakku, dimana karatnya berceceran menahan laju agar aku tetap berdiam diri menunggu dijilati api penghancur mimpi dan harapan. Sekalipun rapuh aku takkan menelan ludah, agar tubuh ini dengan perlahan-lahan dapat merasakan keyakinan yang bertambah yang setetes demi stetes mengendap pada celah-celah kecil dalam tubuhku, sehingga ketika telah terkumpul dapat memancarkan dunia baru yang bias lebih kumengerti dan kupahami. Dan aku percaya pada semua bahwa waktu akan mengantarkan pada saatnya yang akan tiba, dan pada waktunya nanti yang kulihat adalah nyala, terang benderang lalu semua akan beterbangan.

Nyala panas yang membelenggu, membakar tapak jejak yang telah membuat semua bertambah suram. Gerah menjadi perangkap untukku tetap menerima uap dari bara pembuat dan pencipta luka. Menunggu hujan untuk segera turun adalah mungkin dan tidak mungkin. Aku hanya bias berdiri, wajah menengadah tanpa suara diantara riak-riak fatamorgana yang tampak bergelombang. Mata semakin kuat terpejam, namun tubuh terasa lunglai oleh desakan berbagai macam aroma uap tanah yang semakin memanas, aku hanya bisa menahan dan menunggu sekawanan pelari tanpa suara yang bergerak cepat mengelilingi pikiran-pikiran penuh dengan tanda tanya. Karenanya kata-kata adalah sebuah harap dan yang selanjutnya adalah kenyataan yang benar. Keringatku mulai luluh lantak berjatuhan tanda panas dan gerah telah mengalah pada hembusan angin yang berselancar mengarah ke berbagai arah, perlahan-lahan mendinginkan beribu-ribu rasa kecewa yang telah tertanam dalam asa.

Pertanyaanku kali ini, adakah tempat yang lebih luas untukku merenung, memikirkan berbagai rencana yang penuh cita-cita, adakah lapang yang lebih luas untuk berlari, untuk meninggalkan segala beban serpihan kecewa. Dan akhirnya ketika daratan dan lautan telah sesak oleh kenyataan, maka dimanakah kita akan berpijak, berteriak dan terus melangkah ke depan, memandang segala kemungkinan yang belum tampak namun pasti dan tanpa ada segala ingatan lama untuk ikut terbawa kembali yang dapat mematahkan segala asa.

16 November 2010

Mal2

Bandung Indah Plaza....

Mal


Cihampelas Walk, Bandung.

25 Oktober 2010

24 Oktober 2010

KACA

Dari kejauhan didataran yang tinggi, mataku seakan tanpa lelah dan jenuh menyaksikan gejala-gejala yang sedang berkecamuk, yaitu kehancuran. Entahlah mungkin aku tidak setegar mereka untuk menghadapinya atau mungkin juga sebaliknya, mereka yang tidak setegar aku. Bahwa kehancuran itu lebih banyak menumpahkan air mata, porak poranda jiwa hingga tembok-tembok raksasa. Gambaran-gambaran tentang ketidak aturan dan perpecahan yang semula hanya sebuah titik hingga menjadi sebuah lubang besar yang menganga. Sungguh menjadikan pikiranku lebih berat daripada mengangkat sebongkah batu. Tanah yang damai terinjak-injak oleh segala pikiran yang liar. Akhirnya yang ada hanyalah berita-berita yang mengguncang perasaan. Tidak ada pertanyaan, karena yang kulihat berantakan bukanlah sesuatu yang harus dipertanyakan.

Suasana yang semakin tajam adalah pikiran kita yang dulu, kita terlalu ragu karena sudah terlanjur diburu dan dipenjara oleh segala ramalan yang tak menentu. Kecemasan harus dibantah, dan keragu-raguan tak ada yang benar. Kepalan tangan adalah kuat dan tanda tak pernah takut. Terlampau jauh berlari dan berpikir segera saja enyahkanlah supaya tidak terus menerus menjadi ancaman, dan menjadi seperti air yang tidak pernah menyerah menetesi batu yang juga tidak pernah takut mempunyai lekuk.

Segala pemandangan yang sudah buram tampak terlihat dari balik kaca, keinginan jiwa ini adalah menapakkan kaki pada tanah dengan ribuan kerikil tajam, mulut dan tangan bergejolak ingin menghantam jiwa dan menara. Namun hembusan angin yang masih tersisa memelukku untuk terus bertahan terduduk diam, yang akhirnya terus meyakinkanku bahwa beribu bijak akan kudapat untuk terus membuat jiwa ini semakin berbesar hati membuka dan menerima segala amarah dan dengki yang tajam, hitam, pahit dan keras sehingga menjadikan diri sekuat istananya.

Mari sejenak kita lihat hamparan tanah dan gelombang air yang ada di negeri penuh mimpi. Kini tidak lagi seperti kursi atau seperti gedung yang tinggi gagah berani mengikat sebuah layar yang terkembang dan berkibar-kibar. Ia tertaih-tatih bahkan sepertinya tak sanggup lagi untuk berdiri, sudah terlalu deras hantaman batu yang menerjangnya di kanan kiri. Adakalanya ketika semakin rapuh, kita yang berada didalamnya bersama berlayar seakan mempunyai tekad yang sama untuk menjadikannya sangsi pada setiap langkah dan cita-cita yang sama. Dan ketika keserasian dan kebahagiaan sudah punah, yang tertinggal dan bertumpu tak lagi begitu sempurna, semakin melemah dan mudah dijajah.

Biarpun luka yang sudah sedemikian menganga dan parah adalah bukan tujuan kita untuk terus menikmatinya, karena semua akan menjadi masa lalu. Langkah yang menjadi tapak jejak pada pasir dan tanah akan tersapu angin dan tersirami air hujan. Rasa perih adalah buah dari kejatuhan, tapi akan menjadi cermin bagiku dimasa yang akan datang. Biarkan semuanya terbuka dan tampak jelas, agar kita tahu bahwa kita pernah jatuh, sendiri atau bersama. Lalu pada titik yang peling rendah dan garis yang sudah merata, kembali kita berjuang menciptakan jejak baru dengan menutup jejak masa lalu, ketakutan kadang mendera tapi tak selamanya ia berkuasa. Kita bisa menyerangnya, hingga memastikan bahwa segala ketakutan itu telah mati dan tak pernah dijumpai.

Api sudah menyala bergerak menuju keangkuhan, untuk mengetuk dan membakar dinding-dinding yang menutupi hati yang sudah terlalu gelap berdiam diri dan bersemayam pada ruang-ruang tanpa celah. Ketika sudah hancur, maka hendaknya berkaca pada sebuah layar putih yang terbentang berisi gambaran-gambaran pada harapan dan cita-cita yang pernah terjatuh begitu dalam, dan jika sempat maka kembalikanlah hari ini dimana semua bisa kenyang dan tertawa walaupun perlahan, karena setiap langkah adalah pasti.

11 Oktober 2010

Jagalah Hati

Memang gak enak pemandangannya kalau lihat orang yang berantem..

30 September 2010

BUKU...BUKU...BUKU....


YYYYEEEEEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

21 September 2010

MONOLOG KARYAWAN BIMBANG

Isuk-isuk diuk dina bangbarung bari make sarung, jang Eman ngahuleng teu puguh rarasaan, salaku karyawan nu geus mang taun-taun digawe, euweuh deui nu dipikiran ku jang Eman salian ti masalah pagawean, komo masalah jang neangan calon pamajikan mah, teu saeutik-eutik acan ngaliwat kana pikirana jeung dina gerentes hatena, tuluy naon atuh sabenerna nu keur dipikiran jeung nu dipiharep ku jang Eman teh?

Ceuk jang Eman :

“mun dipikir-pikir deui ku kuring, digawe geus mangtaun-taun asa can ngarobah kana kahirupan kuring, gajih naek ku naekna tapi da angger dirarasa mah asa teu mahi jeung teu mahi, beak ku kabutuhan sapopoe anu beuki dieu beuki beurat, nepi ka ayeuna kuring ge can wani nyicil motor, komo deui imah jeung mobil, tipi nu tinggal dua siki teh kahayang mah diganti kunu rada gede, jangji rek meuli arloji nu udung nepi ka kiwari can kaduitan, kukumpul duit gajih jang nyieun pabrik tahu can laksana nepi ayeuna, malah mah teu jarang duit sesa gajih sabulaneun ngan saukur dua bungkuseun udud, katambah deui dunungan nu sok ambek-ambekkan teu pupuguh, sakapeung sok mawa teu puguh kana digawe teh jeung asa ku teu betah na teh dunungan boga rencana rek nambah jam digawe jadi rada panjang, ninggali kaayaan kieu kuring sok hayang nyiar deui pagawean nu lain, tapi da rek neangan kamana deui, kuring digawe ditempat nu ayeuna ge meunang ngasupkeun si ewon, bari jeung hese eta oge, aya ku daek manehna nulungan kuring, emh nuhun won, ari ninggali kieu mah, rarasaan teh asa jauh keneh kana tujuan rumah tangga, jeung ku kaayaan kieu kuring can wani ngadeukeutan sasaha, kaasup nyi imas nu daekeun ka kuring asa kuring geus boga motor, duh gusti hapunten kana sagala ka kirang syukuran abdi, mugi-mugi abdi di jantenkeun ku Anjeun kalebet kana golongan jalmi ani ahli syukur sinareng dicekapkeun sagalana, amin.” Kitu ceunah ceuk jang Eman tuluy nyuruput cikopi jeung nyeungeut udud nu tinggal tilu batang pamere ti si Ewon.