20 Juni 2011

DIA (cerita bersambung) #6

Terlelap di Hamparan Awan Putih

Beruntung malam kali ini langit tidak menurunkan air hujannya seakan tahu Titan dan Nera tengah tersenyum, begitu pula dengan bulan yang membentukan bulatan penuh dan jutaan bintang yang silih berganti mengerlipkan sinarnya. Segalanya semakin menambah suasan bumi, langit dan hati mereka benar-benar menjadi indah, hampir tidak ada sama sekali yang mengalangi rasa bahagia mereka. Nera tiba dirumah dengan membawa labih dari berjuta rasa bahagia, begitu pula yang terjadi dengan Titan kali ini ia langsung menuju rumahnya, tidak ada lagi keinginannya untuk berkeliling kota tanpa tujuan yang jelas, dan mungkin kali ini pula ia akan menikmati secangkir coklat hangat penuh kedamaian, sehingga mang Kodar tidak lagi harus tidur selarut malam-malam yang telah lalu.

Nera membawa berjuta warna kedalam rumahnya, warna-warni yang teramat indah dari jalan hidupnya dan mungkin kali ini ia tak akan lagi tertegun dan termenung memandangi cermin di meja riasnya, kotak cincin pemberian Titan kali ini tidak lagi menjadi sebuah misteri melainkan sudah benar-benar menjadi sesuatu yang berharga dan bermakna. Langkahnya tak lagi berat tapi lebih mantap, hingga pintu rumah yang tertutup pun ia buka dengan tanpa beban dan pemandangan yang terlihat dari wajahnya adalah cerah. Malam kali ini tidak ada yang menyambutnya, namun yang terlihat di kursi tamu adalah bapaknya yang sedang tertidur masih memakai kacamata bacanya, dan terlihat juga oleh Nera beberapa buku yang berada di meja dan satu buah buku yang masih dipegang oleh bapaknya, Nera hanya tersenyum memandangi bapaknya yang sedang terlelap dan cukup pulas walaupun hanya tidur dikursi, tapi disisi lain Nera juga begitu kagum pada bapaknya itu, dihari-hari tuanya masih gemar dan begitu semangat dalam membaca.

“pak…paak…”

“paaak.” Ucap Nera perlahan sambil mengusap lengan bapaknya membangunkan dengan hati-hati. Lalu tidak lama kemudian bapaknya terbangun, sedikit terheran karena bisa tertidur cukup pulas.

“eh kamu nak.” Ucapnya sambil membetulkan letak kacamata.

“iya pak, kok bapak tidurnya dikursi, dikamar saja pak, disini dingin.”

“iya tadi bapak keasyikan baca buku, enggak kerasa sampai ketiduran, ya sudah kalau begitu bapak terusin tidurnya di kamar, bukunya biarkan saja disitu, besok pagi mau bapak terusin.”

“iya…iya, bukunya enggak akan nera pindah kemana-mana, ayo bapak ke kamar saja.” Suruh Nera lagi. Dan kali ini bapaknya pergi berlalu menuju kamarnya, yang ada diruang tamu kini hanyalah buku-buku bacaan milik bapaknya. Tapi justru kali ini Nera yang malah terduduk dan hanya di temani oleh bayangan-bayangan indah yang sengaja ia hadirkan sendiri. Sambil memandang kearah langit-langit rumah, Nera sesekali tersenyum. Heningnya malam seakan dipenuhi oleh lantunan nada-nada yang merdu, dingin menjadi hangat oleh dekapan selimut kabut malam berwarna merah muda. Kebahagiaan hatinya melebihi luasnya dunia yang sedang di pijak. Bulan seakan mudah diraih dan bintang seakan mudah digapai. Tak ada lagi cerita kegelisahan yang terbawa angin malam lalu menguap ke angkasa yang kadang menjadi endapan air mata. Kali ini hanyalah hembusan bahagia, bahagia dan bahagia yang mungkin akan menjadi alur cerita baru bagi mimpinya. Dan karena esok pagi sudah pasti, maka Nera hanya ingin terlelap dengan membawa rasa cinta.

“loh aku kok jadi senyum-senyum sendirian sih?” ucapnya pelan sambil menengok ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang memperhatikannya.

“apakah ini yang dinamakan bahagia?”

“ah biarkan saja, lebih baik aku tidur.”

Maka pergilah Nera, beranjak dari tempat duduknya menuju kamar tidur mengikuti mereka-mereka yang sudah terlelap lebih dulu. Namun sepertinya kali ini Nera tidak perlu lagi mengarahkan wajah dan pandangannya pada langit-langit hingga harus menembus angkasa yang paling tinggi, tempat tidur layakanya seperti awan putih dan lebih putih dari kapas, walaupun di beberapa tempat terlihat samar-samar mendung, namun tidak terlalu pekat warna gelapnya, bagi Nera tetap saja semua itu indah. Akan tetapi ketika Nera menyelam dalam lautan bahagia, ia harus segera naik ke permukaan lautan, teringat pada satu lagi pertanyaan Titan yang menginginkan pertemuan kedua keluarga. Namun keinginan Titan itu bukan lagi sesuatu yang memberatkan Nera, toh kedua orang tuanya pun sudah menyatakan setuju.

>>><<<

Minggu adalah sebuah rehat, namun tidak sedikit pula orang yang masih bekerja pada hari itu. Tapi bagi Nera minggu adalah malas, bukan malas untuk bergembira dan bersenang-senang tapi malas melihat tumpukan pakaiannya yang belum tercuci, ibarat melihat sebongkah batu yang cukup besar menghalangi jalan dan ia harus memindahkannya, tapi jika tidak segera dicuci itu artinya tidak ada pakaian untuknya bekerja, maka barulah jika ingat akan hal itu Nera segera menjadi giat, dan seperti biasanya minggu bagi keluarga Nera adalah mingu yang biasa-biasa saja hanya sedikit lebih santai. Padahal hari itu Nera mempunyai satu tugas yang mungkin saja akan mengubah hari minggu bersama keluarganya menjadi sedikit luar biasa – lahir dan batin.

Seluruh pakaian sudah Nera cuci dan sepenuhnya sudah ia jemur, kini tinggal satu tugas lagi belum ia tunaikan. Diruang tempat biasa Nera dan kedua orang tuanya menonton televisi, ia mendapati ibu dan bapaknya tengah bersanti di temani sepiring cemilan dan teh manis, kemudian Nera pun ikut bergabung.

“wah lagi pada nonton apa nih ibu sama bapak, pada serius banget.”

“enggak tahu nih bapak nonton apa, salurannya dipindah-pindah terus.” Jawab ibunya, dan yang menerima kritikan seakan tidak peduli.

“makanya beli tv nya sepuluh bu, biar bisa nonton semuanya ga dipindah-pindah kaya sekarang ini.”

“ah kamu ini ada-ada saja.” – tertawa. Dan bapaknya masih belum menyadarinya. Lalu tidak berapa lama bapaknya memandangi Nera sedikit merasa heran.

“sebentar…kok tumben kamu ikut ngumpul disini?”

“oh bapak tahu, pasti kamu lagi ada maunya, iya kan?”

“enggak juga pak nera pengen aja ngumpul bareng disini, emang enggak boleh ya pak?” Tersenyum malu karena maksud dan tujuannya hampir diketahui.

“bukan enggak boleh, cuma tumben-tumbenan saja.”

“iya nih kayanya ada sesuatu deh, ayoo ada apa?”

“ya udah deh nera terpaksa cerita.”

“tuh kan bu bener!.” Bapaknya langsung menyambar.

“kamu terpaksa cerita apa memang ada yang mau kamu ceritakan?”

“yaa pokoknya nera mau cerita, ibu sama bapak sementara jadi pendengar dulu ya?”

“iya..iya..” jawab ibu dan bapaknya bersamaan.

“jadi begini bu, pak, kemarin nera ketemu sama titan, terus titan nyuruh nera nanyain sama ibu sama bapak, kapan keluarga titan bisa datang kesini, begitu bu, pak.”

“terus dia maunya kapan?” ujar bapaknya serius, sambil tetap menonton televisi, sedangkan ibunya masih terus memperhatikan.

“ya kalau titan sih maunya secepatnya pak.”

“oooh jadi kamu juga udah kebelet mau nikah yaa?” ucap ibunya sambil tersenyum dan Nera hanya terdiam malu mendengar ucapan itu.

“jadi gimana pak, sekalian silaturahmi, lagipula kita juga kan belum pernah ketemu sama keluarganya titan.” tanya ibunya.

“yaa kalau bapak sih kapan juga tidak jadi masalah, kalau memang nera pengennya cepat, minggu depan juga bisa.”

“ya sudah minggu depan saja, gimana sayang?”

“boleh…boleh bu, lebih cepat lebih baik!”

“kaya calon presiden saja kamu, bilang kaya gitu.” – semua tertawa.

Maka segalanya telah jelas bagi Nera, semua itu telah membuatnya menikmati hari minggu dengan penuh suka cita, dan berharap menjadi kabar yang baik tentunya bagi Titan dan keluarganya. Lalu tanpa pikir panjang lagi saat itu juga Nera langsung memberi kabar pada Titan, dan setelah itu kembali meneruskan kehangatan berkumpul dengan kedua orang tuanya – minggu yang tidak biasanya.

12 Juni 2011

DIA (cerita bersambung) # 5

Kembali ke Kafe

Didalam mobil, Titan dan Nera benar-benar menghadirkan suasana yang menyenangkan, tentunya untuk mereka berdua, dari keduanya banyak cerita saling berbalas seolah tidak ada habisnya. Namun dari semua itu ternyata Titan mempunyai rencana yang sama sekali belum diketahui oleh Nera, akan tetapi lambat laun petunjuk dari rencana Titan itu lambat laun mulai terkuak sedikit demi sedikit oleh Nera, salah satunya jalan yang sedang dilalui oleh mereka berdua. Jalan itu sudah tidak asing lagi terutama bagi Nera dan pembicaraan pun sejenak terhenti, Nera berpikir dan bertanya-tanya kemana Titan hendak membawanya.

“mungkinkah ke kafe itu?” bisiknya dalam hati.

Titan yang berada disebelahnya sambil mengandalikan stir mobil ia sesekali melirik kearah Nera – dan Titan hanya tersenyum saja melihat Nera yang tampak sedang memikirkan sesuatu, mungkin Titan pun merasa sudah berhasil membuat Nera jadi bertanya-tanya, dan Nera tidak menyerah begitu saja dengan tidak menanyakannya pada Titan.

“sayang kenapa kok kamu kaya orang lagi bingung?”

“enggak, enggak ada apa-apa, cuma mengingat-ingat lagi pekerjaan di kantor, kalau-kalau ada yang terlewat.” Jawab Nera dengan mantap, namun jalan yang dilalui dan tempat yang dituju semakin dekat dan semakin meyakinyak Nera jika tempat yang dituju oleh Titan adalah tempat dimana ia pernah memberinya sebuah kotak cincin. Tapi pertanyaannya kali ini apa yang akan dilakukan oleh Titan kali ini di kafe penuh kenangan itu, dan pertanyaan itu kali ini Nera coba abaikan dan biarlah segalanya ia ketahui mengalir dengan apa adanya. Kemudian Nera berusaha mengurangi garis-garis kebingungan dan tanda tanya diseluruh wajahnya, bersikap biasa-biasa saja dan kembali mengajak Titan berbicara kesana kemari, tidak lupa juga selalu diselingi dengan canda.

>>><<<

Sebuah tempat yang sudah tidak asing lagi sudah tampak dihadapan Nera, ya kafe yang benar-benar tidak akan pernah ia lupakan, Nera merasa seperti dejavu karena Titan membawanya kembali ke tempat itu. Tapi Nera pikir Titan tentunya akan memberikan sesuatu lagi atau akan bertanya sesuatu yang penting lagi.

Mobil pun sudah diparkir, lalu keduanya segera keluar – berjalan bersama menuju kafe itu. Lagi-lagi Nera seakan dipaksa untuk mengingat kembali peristiwa yang telah berlalu ditempat itu, penyebabnya tidak lain adalah Titan yang memesan meja persis ketika Nera menerima kotak cincin dari Titan, Nera kembali merasa was-was karena ia kali ini ada dalam keadaanya yang sedikit lelah jika harus kembali bergulat dengan batinnya – berdiskusi dengan hatinya. Titan yang masih menyimpan kata-katanya kemudian mempersilahkan Nera untuk duduk terlebih dahulu lalu Titan menyusul, seakan tak ingin di dahului oleh kedatangan pelayan kaf, sesaat beberapa menit saja terduduk di kursi yang saling berhadapan, Titan langsung melancarkan serangan menuju sasarannya. Kalimat-kalimat dari pesan singkat yang diterima benar-benar ingin Titan dengar langsung dari Nera. Mendengar permintaan itu Nera merasa malu dan merasa apakah belum cukup meyakinkan bagi Titan, namun dengan cepat pikiran Nera berubah karena takut semua ini akan kembali menjadi berlarut-larut, toh Nera pikir hanya mengatakan isi dari pesan yang dikirimkannya pada Titan. Dan akhirnya Nerap pun mengeluarkan pernyataannya seputar kotak cincin itu, lalu hasilnya dengan kalimat yang tidak lebih dari dua baris kalimat sudah cukup membuat Titan tersenyum lebar dan di mata Nera senyum Titan itu merupakan bagian kecil dri ungkapan rasa bahagianya, selain itu juga Nera merasa telah berhasil meyakinkan kekasihnya itu.

Diatas meja setelah acara “dengar pendapat” itu, tangan Titan kemudian menggenggam kedua tangan Nera – dan Nera pun gugup tertunduk dengan senyum. Meskipun yang terdengar hanya ucapan terima kasih, tapi bagi Nera ucapan yang singkat itu mempunyai kekuatan dan tentunya denga perasaan yang begitu dalam sehingga mampu menggetarkan saraf-saraf tubuhnya. Genggaman tangan Titan belum terlepas, namun bersamaan dengan itu ada sesuati yang membuat Titan masih belum sempurna, kemudian ia pandangi satu per satu jari tangan Nera dan ternyata cincin pemberiannya masih belum Nera pakai, Titan menduga mungkin benar saja Nera hanya sebatas membuka kotaknya saja tanpa memakaikan cincinnya, Titan kembali sedikit gundah, dan agar kegundahannya itu tidak terlalu meluas Titan segera menanyakannya pada Nera. Dan Nera yang sama sekali tidak merasa kaget dengan pertanyaan Titan itu dan seolah sudah mengetahui akan datangnya pertanyaan itu ia jawab dengan lugas dan juga diplomatis bahwa jika cincinnya ia pakai sekarang akan terasa biasa saja dan tidak begitu istimewa, Titan yang masih menggenggam tangan Nera bisa menerima alasannya, dan tanpa di duga oleh Nera ternyata Titan yang sama sekali tidak menanggapi alasannya itu langsung saja mengeluarkan mengeluarkan “serangan” berikutnya, ibarat menodongkan sebuah pistol disertai dengan ancaman. Titan bertanya kapan dirinya dan orang tuanya bisa datang ke rumah Nera untuk melamarnya dan kemudian menentukan tanggal pernikahannya dengan sesegera mungkin. Nera kembali dapat menjawab dengan singkat dan untuk sementara ini jawabannya membuat Titan terdiam, Nera menjelaskan jika dirinya akan merundingkannya terlebih dahulu dengan keluarganya.

Seakan sudah merasa lengkap dan jelas dengan semuanya, kemudian di menit-menit berikutnya yang terus berjalan adalah pembicaraan yang biasa-biasa saja tidak ada yang lebih mendalam hanya sebatas masalah-masalah pekerjaan masing-masing, semua hal yang sedang dan telah terjadi, dan segalanya yang dianggap menarik untuk dibahas.

Di kafe itu kali ini lebih singkat dari pada yang sebelumnya, setelah menghabiskan makanan lalu diam sesaat kemudian mereka berdua langsung saja meninggalkan kafe itu tanpa ada perasaan yang mengganjal sedikitpun di hati keduanya. Dan sepertinya untuk sementara Titan dan Nera tampak akan melupakan kafe itu setelah mereka berdua benar-benar telah menikah atau mungkin juga kafe itu akan menjadi tempat berpikir dan merenungkan segala masalah yang terjadi, atau mungkin sebagai tempat untuk menyendiri – lagi.

06 Juni 2011

DIA (cerita bersambung) #4

Pesan Singkat

Dibawah terik sinar matahari, angkutan kota yang ditumpangi oleh Nera berhenti tepat di depan kantor tempat kerjanya, sebelum keluar dari mobil Nera membuka dompetnya dan tiga lembar uang seribuan segera diberikannya pada sopir angkutan yang sopan itu.

“nuhun neng.” Ucap pak sopir.

“sami-sami pak.” Balas Nera, kemudian membuka pintunya dan keluar berlalu meninggalkan angkot dengan terburu-buru. Dan yang terasa oleh Nera siang itu saat berada di dalam mobil angkot dan saat keluar adalah sama saja – panas, Nera merasa ada sedikit kesalahan dengan pakaiannya, blazer berwarna hitam yang dikenakannya ternyata telah menambah rasa panas dan gerah, tapi bagaimanapun Nera tetap menyukai blazer dengan warna-warna gelap termasuk hitam. Merasa tidak mengikuti meeting Nera berjalan dengan tergesa-gesa, sampai-sampai satpam yang biasa disapanya kali ini ia abaikan, dan satpam yang berjaga pun tampak keheranan melihat Nera yang terburu-buru seperti itu. Dari lantai dua tampak beberapa orang laki-laki dan perempuan yang baru saja selesai mengikuti meeting di ruang utama – dan mereka juga teman kerja Nera, mereka menuruni tangga hendak beristirahat dan tentu saja Nera yang akan menuju ruang kerjanya yang juga ada di lantai dua secara pasti berpapasan dengan rekan kerjanya itu, Nera yang tampak sedikit malu karena tidak ikut meeting menghentikan langkah teman-temannya itu seraya menanyakan perihal materi pembahasan saat meeting, dan beruntung bagi Nera, teman-temannya itu tanpa sungkan menjelaskan intisari dari hasil meeting tadi – dan anak tangga pun penuh oleh mereka.

Saat melewati ruang meeting tampak pimpinan yang masih berkumpul dengan beberapa stafnya, Nera tidak mempedulikannya ia terus berjalan menuju ruang kerjanya yang tepat berada di sebelah ruang pimpinan, Nera yang tanpa memberi salam dan kata-kata apapun langsung memasuki ruangannya dan duduk di kursi kerjanya lalu meraih remote AC dan menyalakannya untuk menghilangkan rasa gerahnya. Sambil menikmati udara sejuk nan dingin yang keluar dari AC, Nera membuka-buka map yang tertumpuk disebelah kanan mejanya, mencermati tugas apa saja yang harus dikerjakannya saat itu. Dan akhirnya Nera baru tersadar betapa banyaknya pekerjaannya yang masih belum selesai karena terlalu sering ia tunda, kemudian ia tutup kembali tumpukan map-map itu, seolah semua pekerjaan yang menunggunya itu seperti hamparan ladang gersang yang harus segera di garap, namun betapa malasnya ketika harus menggarapnya seorang diri. Kemudian Nera lebih memilih untuk menengok telepon genggam yang berada di dalam tasnya, sejak keberangkatannya dari rumah hingga menuju tempat kerjanya belum pernah ia lihat keadaannya.

“lebih baik aku lihat dulu.”

Namun ketika Nera melihat layar telepon genggamnya, dengan mata setengah terbelalak merasa kaget dan tidak diduga ternyata di layar telepon genggamnya tercantum pemberitahuan enam kali panggilan tidak terjawab dan satu buah pesan yang jelas-jelas belum terbaca, dengan perasaan was-was Nera kemudian menelusuri siapa yang meneleponnya hingga enam kali berturut-turut, dan seketika itu pula Nera sedikit terhenyak karena rentetan panggilan tak terjawab itu semuanya dari Titan. Lalu Nera menduga satu pesan yang belum terbaca pun pasti dari Titan dan dengan segera Nera membacanya, dan benar saja sederet tulisan singkat yang dikirimkan oleh Titan itu kembali membuat Nera harus memutar otak untuk menjawabnya, tapi Nera tidak langsung menjawabnya ia biarkan beberapa saat pesan itu.

Sayang apakah kotak cincinnya sudah kamu buka.

Dan apa yang Nera rasakan adalah ternyata alasan selalu datang disaat yang tepat, sehingga mau tidak mau harus segera membalas pesan Titan itu, namun akhirnya Nera mempunyai sebuah pemikiran yang cukup bijak untuk dijadikan alasan, “jika hanya kotak cincin pemberiannya aku buka, dan titan menjadi bahagia, dan hanya itu kebahagiaannya, maka akan aku balas pesannya itu dengan kata-kataku yang bisa membahagiakannya” tutur Nera perlahan.

Sayang maaf pesannya baru aku baca, dikantor banyak banget kerjaan, tapi kotaknya sudah aku buka, bagus banget, makasih ya sayang.

Pesan pun terkirim, Nera berharap Titan bisa benar-benar bahagia dengan balasan pesannya itu, apakah pesannya itu akan dibalas kembali atau tidak oleh Titan, Nera sama sekali tidak peduli. Ia lebih memilih kembali beralih pada tumpukan map-map pekerjaannya sambil berharap samua pekerjaannya itu bisa ia selesaikan hari itu juga, terlebih lagi ia merasa malu karena tadi pagi tidak mengikuti meeting.

>>><<<

Disela-sela mengerjakan tugas-tugas kantornya yang masih cukup banyak itu, tiba-tiba telepon genggam Nera berdering tanda sebuah pesan masuk, ia tatap sejenak layar telepon genggamnya itu kemudian mulai membaca isi pesannya – dan ternyata balasan dari Titan.

Sayang terimkasih banyak, aku senang banget kamu sudah buka kotaknya, mudah-mudahan kamu juga senang, nanti sore boleh aku jemput?

Kali ini Nera tersenyum saat membacanya, Nera merasa dirinya sudah berhasil membuat kekasihnya itu bahagia, dan disaat yang sama pula hati Nera pun mulai terbawa arus kebahagiaan yang Titan rasakan, lebih jauh lagi Nera berpikir bahwa Titan bisa jadi benar-benar tulus mencintainya, dan pada detik itu pun Nera dan hatinya mulai merasa mantap untuk melangkah ke arah berikutnya untuk membuka lembaran-lembaran baru bersama Titan, dengan penuh rasa bahagia pula Nera segera membalas pesan itu.

Iya sayang sama-sama, aku juga bahagia banget, boleh, aku tunggu.

Karena keduanya mungkin sama-sama sudah menemukan titik kebahagiaanya, sehingga tidak perlu ada lagi penjelasan lainnya, atau mungkin juga Nera dan Titan sudah meleburkan segala kegundahan dan kegelisahannya, terutama bagi Nera hal itu seakan seperti menyelesaikan sebuah pekerjaan yang sangat besar bahkan lebih besar dari pada pekerjaan di kantornya. Akibat dari rasa bahagia yang Nera rasakan saat ini, baginya merupakan sebuah energi yang menjadikannya seakan dapat berbuat apapun dengan mudah tidak terkecuali untuk menyelesaikan segala pekerjaannya yang semula dirasa tak kunjung selesai, segalanya terasa begitu lancar tanpa ada hambatan dan tanpa kebosanan sedikit pun. Kemudian disertai dengan rasa bahagia pula, pekerjaan yang menumpuk itu ia selesaikan satu persatu, para staf yang sering berlalu lalang pun tak dihiraukannya, Nera benar-benar menikmati harinya dan seakan menjadi pemandangan yang sangat jarang terjadi, ia kerjakan pekerjaannya dengan tersenyum.

Dalam keasyikannya itu seperti tak sadarkan diri sampai-sampai atasan Nera yang cukup lama memperhatikannya dan semula akan meminta pekerjaan yang sudah selesai tertegun menatap heran pada Nera, karena merasa baru pertama kali Nera bekerja begitu semangat – dan merasa belum berani untuk menegur. Namun karena sang manajer membutuhkan hasil pekerjaan Nera, maka dengan terpaksa ia pun bertanya walaupun ia tahu hal itu akan membuat Nera sedikit merasa malu.

“ehm, nera kamu baik-baik saja kan?” tanya manajer dari balik pintu.

“eh..mmm i…iya pak saya baik-baik saja, ada apa ya pak?”

“enggak ada apa-apa saya cuma mau minta laporan kerjaan kamu, sudah selesai semua belum?”

“aduh maaf pak belum, tapi sedikit lagi selesai kok, hehe.”

“oh ya sudah, kalau sudah selesai semua tolong kamu antarkan ke ruangan saya ya?”

“iya baik pak.” Jawab Nera masih menyimpan rasa malu.

>>><<<

Jam dinding di ruang kerja Nera sudah menunjukkan tepat di penghujung jam kerjanya, itu artinya Nera harus segera pulang, tapi ia ingat pesan Titan yang akan menjemputnya dan mengantarkannya pulang. Sambil menunggu Titan menjemputnya, Nera memilih untuk membereskan ruang kerjanya dari benda-benda yang dirasa masih berantakan dan sangat tidak nyaman dipandang oleh matanya. Meja yang masih berantakan oleh kertas bekas coretan-coretan Nera, lalu mematikan AC yang hampir saja ia lupa untuk mematikannya, dan tepat ketika Nera membetulkan letak figura foto dirinya bersama Titan yang tersimpan dimeja kerjanya, bersamaan itu pula sebuah kembali masuk menuju telepon genggamnya, Nera dengan tenang kemudian membacanya – pesan dari Titan.

Sayang aku sudah didepan kantor. Tanpa membalasnya Nera langsung bergegas pergi dengan sebelumnya menatap agak lama pada figura foto yang sudah ia betulkan letaknya, dan ia tinggalkan ruang kerjanya yang juga meninggalkan sederetan tugas yang telah ia selesaikan namun belum sempat ia serahkan pada atasannya.

“pak ruangan saya belum dikunci.” Ujar Nera pada salah seorang petugas keamanan yang sedang perdiri di depan pintu keluar.

“oh iya bu, baik nanti saya kunci.”

“terima kasih ya pak.”

Beberapa meter dari depan pintu masuk kantornya sudah terlihat jelas mobil Titan – dan Titan sedang memandanginya, Nera sambil melambaikan tangannya terus berjalan menuju dimana Titan berada. Saat semakin mendekat, Titan pun keluar dari mobilnya untuk membukakan pintu bagi Nera, keduanya terlibat tegur sapa dan saling berbalas senyum, seolah sudah mengetahui rencana masing-masing di masa depan. Mobil Titan kembali dinyalakan dan kali ini disampingnya sudah terduduk orang yang paling disayanginya, senyum, canda dan tawa mulai menghiasi ruang mobil Titan, dan di sore itu dengan membawa perasaan bahagia pula mereka berdua perlahan meninggalkan kantor Nera yang hanya tinggal beberapa karyawan dan petugas keamanan.