12 Juni 2011

DIA (cerita bersambung) # 5

Kembali ke Kafe

Didalam mobil, Titan dan Nera benar-benar menghadirkan suasana yang menyenangkan, tentunya untuk mereka berdua, dari keduanya banyak cerita saling berbalas seolah tidak ada habisnya. Namun dari semua itu ternyata Titan mempunyai rencana yang sama sekali belum diketahui oleh Nera, akan tetapi lambat laun petunjuk dari rencana Titan itu lambat laun mulai terkuak sedikit demi sedikit oleh Nera, salah satunya jalan yang sedang dilalui oleh mereka berdua. Jalan itu sudah tidak asing lagi terutama bagi Nera dan pembicaraan pun sejenak terhenti, Nera berpikir dan bertanya-tanya kemana Titan hendak membawanya.

“mungkinkah ke kafe itu?” bisiknya dalam hati.

Titan yang berada disebelahnya sambil mengandalikan stir mobil ia sesekali melirik kearah Nera – dan Titan hanya tersenyum saja melihat Nera yang tampak sedang memikirkan sesuatu, mungkin Titan pun merasa sudah berhasil membuat Nera jadi bertanya-tanya, dan Nera tidak menyerah begitu saja dengan tidak menanyakannya pada Titan.

“sayang kenapa kok kamu kaya orang lagi bingung?”

“enggak, enggak ada apa-apa, cuma mengingat-ingat lagi pekerjaan di kantor, kalau-kalau ada yang terlewat.” Jawab Nera dengan mantap, namun jalan yang dilalui dan tempat yang dituju semakin dekat dan semakin meyakinyak Nera jika tempat yang dituju oleh Titan adalah tempat dimana ia pernah memberinya sebuah kotak cincin. Tapi pertanyaannya kali ini apa yang akan dilakukan oleh Titan kali ini di kafe penuh kenangan itu, dan pertanyaan itu kali ini Nera coba abaikan dan biarlah segalanya ia ketahui mengalir dengan apa adanya. Kemudian Nera berusaha mengurangi garis-garis kebingungan dan tanda tanya diseluruh wajahnya, bersikap biasa-biasa saja dan kembali mengajak Titan berbicara kesana kemari, tidak lupa juga selalu diselingi dengan canda.

>>><<<

Sebuah tempat yang sudah tidak asing lagi sudah tampak dihadapan Nera, ya kafe yang benar-benar tidak akan pernah ia lupakan, Nera merasa seperti dejavu karena Titan membawanya kembali ke tempat itu. Tapi Nera pikir Titan tentunya akan memberikan sesuatu lagi atau akan bertanya sesuatu yang penting lagi.

Mobil pun sudah diparkir, lalu keduanya segera keluar – berjalan bersama menuju kafe itu. Lagi-lagi Nera seakan dipaksa untuk mengingat kembali peristiwa yang telah berlalu ditempat itu, penyebabnya tidak lain adalah Titan yang memesan meja persis ketika Nera menerima kotak cincin dari Titan, Nera kembali merasa was-was karena ia kali ini ada dalam keadaanya yang sedikit lelah jika harus kembali bergulat dengan batinnya – berdiskusi dengan hatinya. Titan yang masih menyimpan kata-katanya kemudian mempersilahkan Nera untuk duduk terlebih dahulu lalu Titan menyusul, seakan tak ingin di dahului oleh kedatangan pelayan kaf, sesaat beberapa menit saja terduduk di kursi yang saling berhadapan, Titan langsung melancarkan serangan menuju sasarannya. Kalimat-kalimat dari pesan singkat yang diterima benar-benar ingin Titan dengar langsung dari Nera. Mendengar permintaan itu Nera merasa malu dan merasa apakah belum cukup meyakinkan bagi Titan, namun dengan cepat pikiran Nera berubah karena takut semua ini akan kembali menjadi berlarut-larut, toh Nera pikir hanya mengatakan isi dari pesan yang dikirimkannya pada Titan. Dan akhirnya Nerap pun mengeluarkan pernyataannya seputar kotak cincin itu, lalu hasilnya dengan kalimat yang tidak lebih dari dua baris kalimat sudah cukup membuat Titan tersenyum lebar dan di mata Nera senyum Titan itu merupakan bagian kecil dri ungkapan rasa bahagianya, selain itu juga Nera merasa telah berhasil meyakinkan kekasihnya itu.

Diatas meja setelah acara “dengar pendapat” itu, tangan Titan kemudian menggenggam kedua tangan Nera – dan Nera pun gugup tertunduk dengan senyum. Meskipun yang terdengar hanya ucapan terima kasih, tapi bagi Nera ucapan yang singkat itu mempunyai kekuatan dan tentunya denga perasaan yang begitu dalam sehingga mampu menggetarkan saraf-saraf tubuhnya. Genggaman tangan Titan belum terlepas, namun bersamaan dengan itu ada sesuati yang membuat Titan masih belum sempurna, kemudian ia pandangi satu per satu jari tangan Nera dan ternyata cincin pemberiannya masih belum Nera pakai, Titan menduga mungkin benar saja Nera hanya sebatas membuka kotaknya saja tanpa memakaikan cincinnya, Titan kembali sedikit gundah, dan agar kegundahannya itu tidak terlalu meluas Titan segera menanyakannya pada Nera. Dan Nera yang sama sekali tidak merasa kaget dengan pertanyaan Titan itu dan seolah sudah mengetahui akan datangnya pertanyaan itu ia jawab dengan lugas dan juga diplomatis bahwa jika cincinnya ia pakai sekarang akan terasa biasa saja dan tidak begitu istimewa, Titan yang masih menggenggam tangan Nera bisa menerima alasannya, dan tanpa di duga oleh Nera ternyata Titan yang sama sekali tidak menanggapi alasannya itu langsung saja mengeluarkan mengeluarkan “serangan” berikutnya, ibarat menodongkan sebuah pistol disertai dengan ancaman. Titan bertanya kapan dirinya dan orang tuanya bisa datang ke rumah Nera untuk melamarnya dan kemudian menentukan tanggal pernikahannya dengan sesegera mungkin. Nera kembali dapat menjawab dengan singkat dan untuk sementara ini jawabannya membuat Titan terdiam, Nera menjelaskan jika dirinya akan merundingkannya terlebih dahulu dengan keluarganya.

Seakan sudah merasa lengkap dan jelas dengan semuanya, kemudian di menit-menit berikutnya yang terus berjalan adalah pembicaraan yang biasa-biasa saja tidak ada yang lebih mendalam hanya sebatas masalah-masalah pekerjaan masing-masing, semua hal yang sedang dan telah terjadi, dan segalanya yang dianggap menarik untuk dibahas.

Di kafe itu kali ini lebih singkat dari pada yang sebelumnya, setelah menghabiskan makanan lalu diam sesaat kemudian mereka berdua langsung saja meninggalkan kafe itu tanpa ada perasaan yang mengganjal sedikitpun di hati keduanya. Dan sepertinya untuk sementara Titan dan Nera tampak akan melupakan kafe itu setelah mereka berdua benar-benar telah menikah atau mungkin juga kafe itu akan menjadi tempat berpikir dan merenungkan segala masalah yang terjadi, atau mungkin sebagai tempat untuk menyendiri – lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar