20 Juni 2011

DIA (cerita bersambung) #6

Terlelap di Hamparan Awan Putih

Beruntung malam kali ini langit tidak menurunkan air hujannya seakan tahu Titan dan Nera tengah tersenyum, begitu pula dengan bulan yang membentukan bulatan penuh dan jutaan bintang yang silih berganti mengerlipkan sinarnya. Segalanya semakin menambah suasan bumi, langit dan hati mereka benar-benar menjadi indah, hampir tidak ada sama sekali yang mengalangi rasa bahagia mereka. Nera tiba dirumah dengan membawa labih dari berjuta rasa bahagia, begitu pula yang terjadi dengan Titan kali ini ia langsung menuju rumahnya, tidak ada lagi keinginannya untuk berkeliling kota tanpa tujuan yang jelas, dan mungkin kali ini pula ia akan menikmati secangkir coklat hangat penuh kedamaian, sehingga mang Kodar tidak lagi harus tidur selarut malam-malam yang telah lalu.

Nera membawa berjuta warna kedalam rumahnya, warna-warni yang teramat indah dari jalan hidupnya dan mungkin kali ini ia tak akan lagi tertegun dan termenung memandangi cermin di meja riasnya, kotak cincin pemberian Titan kali ini tidak lagi menjadi sebuah misteri melainkan sudah benar-benar menjadi sesuatu yang berharga dan bermakna. Langkahnya tak lagi berat tapi lebih mantap, hingga pintu rumah yang tertutup pun ia buka dengan tanpa beban dan pemandangan yang terlihat dari wajahnya adalah cerah. Malam kali ini tidak ada yang menyambutnya, namun yang terlihat di kursi tamu adalah bapaknya yang sedang tertidur masih memakai kacamata bacanya, dan terlihat juga oleh Nera beberapa buku yang berada di meja dan satu buah buku yang masih dipegang oleh bapaknya, Nera hanya tersenyum memandangi bapaknya yang sedang terlelap dan cukup pulas walaupun hanya tidur dikursi, tapi disisi lain Nera juga begitu kagum pada bapaknya itu, dihari-hari tuanya masih gemar dan begitu semangat dalam membaca.

“pak…paak…”

“paaak.” Ucap Nera perlahan sambil mengusap lengan bapaknya membangunkan dengan hati-hati. Lalu tidak lama kemudian bapaknya terbangun, sedikit terheran karena bisa tertidur cukup pulas.

“eh kamu nak.” Ucapnya sambil membetulkan letak kacamata.

“iya pak, kok bapak tidurnya dikursi, dikamar saja pak, disini dingin.”

“iya tadi bapak keasyikan baca buku, enggak kerasa sampai ketiduran, ya sudah kalau begitu bapak terusin tidurnya di kamar, bukunya biarkan saja disitu, besok pagi mau bapak terusin.”

“iya…iya, bukunya enggak akan nera pindah kemana-mana, ayo bapak ke kamar saja.” Suruh Nera lagi. Dan kali ini bapaknya pergi berlalu menuju kamarnya, yang ada diruang tamu kini hanyalah buku-buku bacaan milik bapaknya. Tapi justru kali ini Nera yang malah terduduk dan hanya di temani oleh bayangan-bayangan indah yang sengaja ia hadirkan sendiri. Sambil memandang kearah langit-langit rumah, Nera sesekali tersenyum. Heningnya malam seakan dipenuhi oleh lantunan nada-nada yang merdu, dingin menjadi hangat oleh dekapan selimut kabut malam berwarna merah muda. Kebahagiaan hatinya melebihi luasnya dunia yang sedang di pijak. Bulan seakan mudah diraih dan bintang seakan mudah digapai. Tak ada lagi cerita kegelisahan yang terbawa angin malam lalu menguap ke angkasa yang kadang menjadi endapan air mata. Kali ini hanyalah hembusan bahagia, bahagia dan bahagia yang mungkin akan menjadi alur cerita baru bagi mimpinya. Dan karena esok pagi sudah pasti, maka Nera hanya ingin terlelap dengan membawa rasa cinta.

“loh aku kok jadi senyum-senyum sendirian sih?” ucapnya pelan sambil menengok ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang memperhatikannya.

“apakah ini yang dinamakan bahagia?”

“ah biarkan saja, lebih baik aku tidur.”

Maka pergilah Nera, beranjak dari tempat duduknya menuju kamar tidur mengikuti mereka-mereka yang sudah terlelap lebih dulu. Namun sepertinya kali ini Nera tidak perlu lagi mengarahkan wajah dan pandangannya pada langit-langit hingga harus menembus angkasa yang paling tinggi, tempat tidur layakanya seperti awan putih dan lebih putih dari kapas, walaupun di beberapa tempat terlihat samar-samar mendung, namun tidak terlalu pekat warna gelapnya, bagi Nera tetap saja semua itu indah. Akan tetapi ketika Nera menyelam dalam lautan bahagia, ia harus segera naik ke permukaan lautan, teringat pada satu lagi pertanyaan Titan yang menginginkan pertemuan kedua keluarga. Namun keinginan Titan itu bukan lagi sesuatu yang memberatkan Nera, toh kedua orang tuanya pun sudah menyatakan setuju.

>>><<<

Minggu adalah sebuah rehat, namun tidak sedikit pula orang yang masih bekerja pada hari itu. Tapi bagi Nera minggu adalah malas, bukan malas untuk bergembira dan bersenang-senang tapi malas melihat tumpukan pakaiannya yang belum tercuci, ibarat melihat sebongkah batu yang cukup besar menghalangi jalan dan ia harus memindahkannya, tapi jika tidak segera dicuci itu artinya tidak ada pakaian untuknya bekerja, maka barulah jika ingat akan hal itu Nera segera menjadi giat, dan seperti biasanya minggu bagi keluarga Nera adalah mingu yang biasa-biasa saja hanya sedikit lebih santai. Padahal hari itu Nera mempunyai satu tugas yang mungkin saja akan mengubah hari minggu bersama keluarganya menjadi sedikit luar biasa – lahir dan batin.

Seluruh pakaian sudah Nera cuci dan sepenuhnya sudah ia jemur, kini tinggal satu tugas lagi belum ia tunaikan. Diruang tempat biasa Nera dan kedua orang tuanya menonton televisi, ia mendapati ibu dan bapaknya tengah bersanti di temani sepiring cemilan dan teh manis, kemudian Nera pun ikut bergabung.

“wah lagi pada nonton apa nih ibu sama bapak, pada serius banget.”

“enggak tahu nih bapak nonton apa, salurannya dipindah-pindah terus.” Jawab ibunya, dan yang menerima kritikan seakan tidak peduli.

“makanya beli tv nya sepuluh bu, biar bisa nonton semuanya ga dipindah-pindah kaya sekarang ini.”

“ah kamu ini ada-ada saja.” – tertawa. Dan bapaknya masih belum menyadarinya. Lalu tidak berapa lama bapaknya memandangi Nera sedikit merasa heran.

“sebentar…kok tumben kamu ikut ngumpul disini?”

“oh bapak tahu, pasti kamu lagi ada maunya, iya kan?”

“enggak juga pak nera pengen aja ngumpul bareng disini, emang enggak boleh ya pak?” Tersenyum malu karena maksud dan tujuannya hampir diketahui.

“bukan enggak boleh, cuma tumben-tumbenan saja.”

“iya nih kayanya ada sesuatu deh, ayoo ada apa?”

“ya udah deh nera terpaksa cerita.”

“tuh kan bu bener!.” Bapaknya langsung menyambar.

“kamu terpaksa cerita apa memang ada yang mau kamu ceritakan?”

“yaa pokoknya nera mau cerita, ibu sama bapak sementara jadi pendengar dulu ya?”

“iya..iya..” jawab ibu dan bapaknya bersamaan.

“jadi begini bu, pak, kemarin nera ketemu sama titan, terus titan nyuruh nera nanyain sama ibu sama bapak, kapan keluarga titan bisa datang kesini, begitu bu, pak.”

“terus dia maunya kapan?” ujar bapaknya serius, sambil tetap menonton televisi, sedangkan ibunya masih terus memperhatikan.

“ya kalau titan sih maunya secepatnya pak.”

“oooh jadi kamu juga udah kebelet mau nikah yaa?” ucap ibunya sambil tersenyum dan Nera hanya terdiam malu mendengar ucapan itu.

“jadi gimana pak, sekalian silaturahmi, lagipula kita juga kan belum pernah ketemu sama keluarganya titan.” tanya ibunya.

“yaa kalau bapak sih kapan juga tidak jadi masalah, kalau memang nera pengennya cepat, minggu depan juga bisa.”

“ya sudah minggu depan saja, gimana sayang?”

“boleh…boleh bu, lebih cepat lebih baik!”

“kaya calon presiden saja kamu, bilang kaya gitu.” – semua tertawa.

Maka segalanya telah jelas bagi Nera, semua itu telah membuatnya menikmati hari minggu dengan penuh suka cita, dan berharap menjadi kabar yang baik tentunya bagi Titan dan keluarganya. Lalu tanpa pikir panjang lagi saat itu juga Nera langsung memberi kabar pada Titan, dan setelah itu kembali meneruskan kehangatan berkumpul dengan kedua orang tuanya – minggu yang tidak biasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar