27 Juni 2010

CAR FREE DAY dan GAJIAN

hari minggu kemarin adalah dimana saya belum sarapan, tapi Alhamdulillah sudah mandi karena buru-buru tidak mau ketinggalan menikmati Car Free Day yang sudah kesekian kalinya, maka saya pun memberangkatkan diri saya sendiri menuju Dago.

simpang dago yang macet sudah menyambut, dan tanpa harus pusing memikirkan apa solusi yang tepat untuk kemacetan itu, saya langsung saja berjalan-jalan santai. dan di Car Free Day itu sesungguhnya semua orang adalah sama, sama-sama tidak membawa kendaraan.
jalan-jalan seperti itu dengan orang yang banyak sungguh tidak terasa sudah membawa saya di pertengahan dago yang jalannya lurus, namun tepat di depan rumah sakit Borromeous secara tidak sengaja saya bertemu dengan teman lama saya sebut saja namanya lebah (nama samaran), (sebenarnya dia yang menemukan keberadaan saya ) lalu menepuk pundak saya dari belakang, maksudnya pasti mau ngasih kejutan da!.

"keu keur naon?!!" kata teman saya itu, sambil menepuk pundak saya, maksudnya lagi ngapain.
"eeeehh ded, apa kabar ded?!!" kata saya reflek sambil membalikkan badan, dan menyebut teman saya itu dengan nama dedi, padahal bukan, karena sekilas wajahnya mirip dengan teman saya yang bernama dedi piit.
"eeh kamu mah ini saya iman!"
"wah iman ya, hebat sekarang kamu man sudah punya kumis."
"ah aya-aya wae!" saya dan iman pun berjalan bersama menelusuri jalan dago yang masih panjang.

"eh gimana man kamu sudah berkeluarga?" tanya saya karena curiga sama kumis si iman itu.
"belum keu, belum ketemu jodohnya, hehehe." si iman malah ketawa.
"ya tenang saja man lah hidup itu misteri dan jalan dago tidak pernah sepi." kata saya berfilosofi.
"maksudnya keu?" tanya iman.
"ya sudah lah jangan dibahas, tapi ngomong-ngomong tanggal segini kamu sudah gajian man?"
"sudah kemarin keu."
"eh man menurut kamu uang gaji itu apa sih?"
"kalau menurut saya mah ya keu, uang gajihan itu ibarat siklus mata rantai makanan pada binatang."
"maksud kamu man, lebay kamu mah man ah."
"eeeh beneran ini mah keu, sok ajah bayangin kalau diurutkan jadi begini, gaji itu adalah uang, uang itu memakan barang, barang itu dibayar kredit, kredit itu kapan lunasnya, terus kita nunggu uang gajian lagi, ya pusing keu lah."
"kalau begitu untuk menghindarinya kamu tidak perlu gajian dong man?"
"ya perlu atuh keu, buat naik haji, hehehe." ternyata si iman pengen naik haji tapi sambil hehehe.

ya begitulah sekilas obrolan saya dengan teman lama saya itu, dan kami berdua duduk di sebuah trotoar menikmati gorengan plus leupeut sambil melihat lalu lalang orang-orang yang cerah ceria, dan di dago Car Free Day kemarin pula saya yakin banyak pula yang sedang bermain mata, lirik kanan lirik kiri, yaaaa barangkali siapa tahu.......hehehehe

20 Juni 2010

SIRKUS

Ah aku selalu saja dibuat tersenyum dan kadang tertawa ketika mendengar cerita tentang orang salah. Ya namanya juga orang salah selalu dianggap bodoh, seringkali menjadi bahan ejekan, direndahkan dan juga disishkan dari yang merasa benar, mungkin aku juga sepertinya sering dianggap orang salah. Wajar saja karena aku manusia, salah tidak selamanya bodoh dan salah tidak selamanya rendah. Namun kadang orang salah bias lebih jujur dan lebih tulus dari pada pembenar. Karena salah adalah sementara. Jika salah adalah selamanya, maka hati adalah beku dan buta.

Aku juga terkadang tidak mengerti mengapa ketika salah menjadi jalan pertama untuk kemudian menjadi benar, sering dianggap terus menerus salah dalam mata massa. Setiap langkah sering dianggap dan dipandang sebelah mata. Berperilaku selalu dibaca sebagai gerak palsu. Mengulurkan tangan sama sekali tidak dijadikan sebagai kenangan. Tersenyum dan berseri selalu dibalas, namun tak mau mengenali. Apalagi menjadi jujur mungkin saja menjadi kabur. Bertutur kata seindah apapun takkan pernah ada yang mendengar, yang jelas yang didapatkan adalah omelan dari yang menang, benar dan juga berkuasa.

Tapi jika kau hendak bertanya dimana rumahku? Kau lihat, akan aku tunjukkan semua disana tak ada yang bersinar, namun juga bukan fatamorgana. Karena dia adalah rumah sederhana yang kekuatannya dapat menyanggah dunia, dunia yang tertawa, berlari berkelebat secepat kilat, jungkir balik di dalam arena, seperti acara sirkus yang butuh tepuk tangan dan tawa.

Banyak orang termasuk aku punya rencana dan berpikir, dengan pikiran mereka dan pikiranku sendiri untuk menentukan pilihan. Berteriak atau tenggelam, mengusik bayangan-bayangan yang menikam dan membakar. Pilihannya hanya berupa harus meredakan tarian api yang menari melebarkan pijar, dihempas oleh hembusan nafas yang perlahan melilit menyerang hingga padam.

Tekad yang bulat, keras, mengeras seperti gelas takkan mudah, malah susah jadi seorang pahlawan. Menabur kebaikan selalu sempat dirampas, cibiran akan selalu mengintai dan mencari alamat yang tepat. Karena hatinya sudah merasa paling suci. Satu langkah saja menjadi baik, mungkin saja dianggap bodoh. Apalagi jika memakai topeng seperti zaman Zorro dan Spiderman. Semburan kata-kata sudah seperti pagar bahkan hampir menyerupai sebuah kurungan yang melingkar mengekang gerak badan. Mungkin karena semuanya ingin berperang dan berjuang mencari muka. Jadi biarkanlah saja untuk saling memasang bada, karena biar tahu rasanya perang. Dan para pahlawan sudah saatnya untuk tidur, tidur pulas pura-pura tidak mendengar dentuman mortir dan granat, yang dirusaknya bukan hanya bangunan tapi juga syaraf pendengaran dan gendang telinga. Tidurlah…tidur…dan tidur karena jalan yang aman tanpa hars berucap dan tanpa pikiran.

LANGIT TERBUKA LUAS MENGAPA TIDAK PIKIRANKU PIKIRANMU (L.T.L.M.T.P.P.)

Jalan yang harus kutempuh sangatlah panjang dan memakan waktu yang begitu lama. Tapi bisa juga menjadi singkat, namun segenap energi yang berada di kakiku ini membuatku harus terus bergerak dan terus melangkah. Semakin lama dan semakin jauh aku melangkah, aku semakin merasakan di ujung perjalanan ini akan berbunga, tapi kenyataannya itu nanti. Dan kapan saja. Semuanya kupirkikan dan harus kujalani. Semula aku menyangka ini adalah teka-teki. Tapi semuanya nyata dan terasa. Bukan bualan. Karena semua diciptakan apa adanya untukku, walaupun nanti.

Maka untuk menghilangkan rasa gundah dan rasa gelisahku, aku akan bernyanyi. Ya bernyanyi bersama pagi. Melantunkan lirik-lirik harapan. Menggemakan nada-nada saat kita renggang. Berpijak diruang yang lapang. Sambil menengadah memandang langit yang terbuka begitu luas. Biru dan lembut. Setiap bait yang terbang melayang, aku berharap semoga hembusan angin menangkap segala kemungkinan. Lalu menghantarkanku untuk menemui titik yang bernama suatu saat dan nanti. Mengerti atau tidak, percaya atau tidak. Nyanyianku bukan sumpah serapah. Aku pun mengetahui jika suatu saat adalah entah, dan nanti adalah entah. Begitu juga aku, kamu, kita adalah entah. Tapi di suatu saat dan nanti itulah kita pasti akan berjumpa kembali dari kerenggangan yang masih berpihak pada langkah-langkah yang selalu bergerak.

Karena dari sekian banyak suara dan peristiwa, aku hanya ada aku, yaitu aku. Semuanya menjauh. Merenggang dan terpisah. Mungkin saja sedang menempuh jalan pilihan, atau mungkin juga ada yang sedang terus mencari ambisi. Mungkin kita saat ini saling berkejaran di jalan yang berlainan. Namun tetap saja walaupun kita ini mempunyai segala pikiran yang luas, aku dan kita semua bukanlah sebuah barang pecah belah yang dengan mudah di kumpulkan untuk kemudian direkatkan, lalu menyatu dan menguat. Aku hanya menunggu kemungkinan-kemungkinan yang membuat arah dan gerak yang sempat melewati jalan bercabang, dapat berjalan kembali beriringan – bersama.

Bila memungkinkan saatnya untuk terbang. Maka aku akan segera terbang. Menyempurnakan langkahku. Mencari yang tak pernah ditemukan dijalan panas dan panjang. Juga tatapanku menjadi semakin luas, walaupun gerak langkah dan terbangku masih sedikit tanpa arah. Tapi aku merasakan lebih bebas dari sebelumnya. Mata yang memandang luas, pikiran yang terbuka lebih luas adalah jiwa. Jiwa untuk merasakan luasnya langit untuk melawan kungkungan kesempitan nalar.

Jika terbang sudah mengarah pada apa yang aku pikirkan dan aku inginkan. Maka disanalah kita tetap harus berusaha berjalan beriringan. Jangan tinggalkan asa, jangan tutup cinta. Disini kita berpijak pada tanah yang luas. Dan tanpa batas. Berhenti berarti akan menyendiri. Karena menyendiri membutuhkan ruang lebih luas untuk bernafas. Aku yakin, aku takkan larut dan menjadi manis. Apalagi menyerah. Jika pikiran ini terpaksa harus berhenti. Aku takkan memaksakannya. Tapi peganglah tali penyambung yang kuat. Agar segala angan perjalanan panjang tidak berhenti sampai disini. Nafas harus terus menyambung. Tangan terus berpegang erat. Teruskan kembali nafas kita. Maka kita akan menjadi tahu akan luasnya pikiran, hati, dan raga. Dan lebih tahu dari pada itu.

Resiko terbesar adalah hantaman angin kencang. Ketika kita terbang sudah menjadi mapan. Maka yang kita hadapi bukanlah hitamnya jalan dan sempitnya trotoar. Tapi segala ketidak nyamanan layaknya layang-layang terhempas oleh lawan. Terbawa oleh angin lalu menghilang. Kemudian yang menanti diujung kendali adalah tidak pasti. Mungkin badai raksasa, mungkin petir murka. Jika sudah ada dalam perangkapnya, kita tidak mungkin tertawa bahkan berteriak dari segala kecaman menghantam muka. Bahkan takkan mungkin angin ramah pun memanggil kita. Tapi jika benar-benar akan mendekat, mungkin kita akan berlari…

18 Juni 2010

HITAM YANG TERSMANIS

Adalah suatu hari yang terindah bagiku, yaitu saat kau menungguku terduduk ayu di sebuah bangku, manis sekali.

Senyummu itu adalah kata-kata abstrak yang penuh dengan warna. Dan kata-katamu itu adalah dari jiwa yang penuh dengan makna.

Tapi ternyata pertemuan kita adalah rencana-rencana yang berbeda.

Pikirku kita penyatu, pikirmu ternyata ragu.

Dan aku harus siap pada arah kata-kata kita untuk menjadi masa lalu.

Perjalanan kita adalah hitam yang termanis.

Jelas aku akan sangat rindu untuk bertanya tentang kacamatamu yang hilang.

Dan rindu saat kita terdiam memandangi lembayung yang tak pernah terkira akhirnya akan menjadi mendung.

Ogn. 2010

MEREDAM MUSIMKU BADAI

Hari-hari yang telah lalu, adalah suara petir yang semakin keras menghujam dihadapan kaca-kaca jendela, yang terpaksa menutup telinga.

Menakutkan rasanya jika mata dan cinta menjadi hitam.

Lisanpun mengeluarkan tinta hitam bak gurita menyerang menusia yang sedang berenang, melayang dan tenang.

Musim badai masih tampaklah jauh dari reda.

Titik pikir menjadi tenaga untukku melangkahkan kaki mencari secawan air oase untuk kureguk agar musnah segala daya amarah.

Dan ternyata adalah hati yang mendapat jawabannya, yaitu tenang yang membawa menang.

Tenang untuk meredam badai, walau tembok rumahku sudah retak, lusuh dan diam.

Ogn. 2010