22 Agustus 2010

LE’ BARANC

Idul Fitri atau lebaran memang masih jauh, tapi bisa juga udah deket – saya tulis Le’Baranc ceritanya biar kaya di prancis – tapi biasanya perasaan kalau udah ngelewatin sepuluh hari puasa, hari-hari berikutnya menuju lebaran suka gak kerasa – ini berdasarkan apa yang saya rasakan, ya pokoknya kalau kata The Beatles mah “Let it Flow” lah – kalau nggak salah. Ngomong-ngomong puasa dan lebaran, Ramadhan kali ini ada sedikit kemajuan dibanding tahun-tahun sebelumnya, bayangin aja baru dua hari puasa dirumah udah ada kiriman satu toples kue kering bertabur serutan keju belanda, awalanya sih bingung tapi kenapa harus bingung juga dari pada disebut gengsian akhirnya saya makan juga itu kue – tapi pas buka puasa. Bukan cuma itu aja, yang curi-curi start bikin kue juga udah banyak – ternyata bulan puasa bukan cuma berlomba-lomba dalam kebaikan, tapi juga berlomba-lomba membuat kue yang baik, hehe. Apa kabarnya yang suka beli baju baru? Ya saya pikir orang-orang yang suka beli baju baru sekarang ini belum terlalu sibuk berbelanja, ini terbukti dari adik saya yang belum terlalu sibuk belanja sana-sini, jadi orang lain pun sepertinya begitu, hehe.

Menjelang H-10 atau H-5, yang saya bayangin dunia seakan benar-benar lebih hidup!, hidup dalam pengertian pergerakan manusia yang akan menyambut hari Lebaran itu benar-benar hidup – lho kok di ulang? Bae ah!, tokoh-tokoh utamanya ya para penjual sandang dan pangan, selebihnya elektronik, masalahnya saya juga jarang ngeliat orang menjelang lebaran membelanjakan uangnya untuk membeli, genteng, keramik, gergaji, obeng, lem tikus, buku tulis dan lain-lain yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan lebaran – tapi bisa juga sih dihubung-hubungkan, itu juga kalau sempet, terus kata teman saya, “dihari-hari mendekati lebaran, pasar baru tak ubahnya seperti tempat pelaksanaan thawaf di Mekka, padatnya bukan main-main” saya pun mengiyakannya, walaupun sebenarnya saya dan teman sama sekali belum pernah ke Mekkah. Tapi kalau ngomong-ngomong – tata bahasa yang benar-benar kacau – gimana ya nasib si ikon lebaran – ketupat, apakah sudah hampir punah dan nasibnya akan sama seperti kartu lebaran yang kian tersisihkan oleh keberadaan telepon genggam yang dengan cepat mengirimkan pesan “m3T LeB4Ran n IdUl Fit3 Y4Ch” kepada sanak saudara dan handai taulan, tapi kalaupun ada yang menganggap “hari gini masih makan ketupat, on the way gitu loh!” terus memangnya mau diganti sama apaan? Nasi tumpeng? Sate kambing? Kebab? Double cheese burger? Spaghetti? Gepuk? Chiken teriyaki atau chiken katsu? – lama-lama saya kaya pelayan yang lagi nawarin makanan, hehe. Tapi balik lagi, kalau mau “mewah-mewahan” pas hari raya banyak caranya, nggak ada yang ngelarang.

Begitulah sekelumit lika-liku perjalanan menuju lebaran, adakalanya memang benar lebaran selalu disambut dengan suka cita, yang “suka-suka” banyak dan yang masih “bercita-cita” juga banyaknya tidak kalah – harusnya, tidak kalah banyaknya – menyaksikan mereka yang suka-suka sepertinya sudah banyak dan biasa, tapi coba kita tengok sama yang masih bercita-cita, bercita-cita mengumpulkan uang untuk bisa pulang kampung, bercita-cita sekuat tenaga hanya untuk membelikan satu stel pakaian buat anaknya, bercita-cita di lebaran nanti bisa merasakan opor ayam dan beberapa ketupat. Memang dalam menggapai cita-cita selalu disertai dengan sebuah perjuangan, begitu pula mereka-mereka yang masih bercita-cita untuk menyambut lebaran, saat ini masih terus berjuang dan berjuang untuk mewujudkannya – pemulung sampah, kuli bangunan, pedagang-pedagang kecil dan lain sebagainya. Pengennya sih, idealnya sih lebaran itu kalau harus disambut dengan bahagia maka seharusnya semua orang benar-benar bahagia, yang bersuka-suka tidak lupa berbagi kepada yang bercita-cita, sehingga lebaran yang disambut dengan suka cita benar-benar lebih bermakna.

Les Blues, Le’ Baranc = baju bagus untuk lebaran.

02 Agustus 2010

SEBIRU AIR LAUT

Rasanya sudah lama aku tak menyaksikan air laut yang digiring oleh angin kemudian bergulung menjadi kawanan ombak yang berlari menghampiri bibir pantai.
Suaranya menderu tapi itulah ketenangannya.
Siapa bilang itu berisik?
Berisik jikalau raga tak mengenalnya.
Rasanya aku terlalu lama di jalan raya.
Tapi sore itu, air sejuk yang berwarna sebiru air laut datang di hadapanku, tapi ia bukan datang untukku, ia tidak pula digiring oleh angin untuk berlari menghampiriku.
Suaranya di udara terdengar tenang, duduk melamun namun anggun.
Oh dikau pemilik kain sutra biru, yang sesekali selalu menatapku malu-malu, ombak yang berlari tidak mengajakmu, tapi malah mengajakku berbalik mengejarmu, memaksaku membawa segenggam pasir putih untuk kemudian kutaburkan sebagai pengganti kata-kataku yang hilang, dan dilembaran yang putih ini, adalah wujud dari pasir yang kutaburkan dengan rasa kagum.

Oktora 2010