11 Maret 2012

SABAR


Ketika hidup begitu banyak dengan pekerjaan yang harus diselesaikan, tiba-tiba saja seorang teman berbicara tentang kesabaran, menurut saya ada sedikit relevansinya antara pekerjaan dan kalimat sabar, ya jika dihubung-hubungkan sabar sangatlah bisa diterapkan ketika menyelasaikan suatu pekerjaan terlebih lagi jika pekerjaan itu berat, begitu pula sebaliknya ketika menerima begitu banyak pekerjaan kita setidaknya harus sabar. Okey mungkin itu bisa menolong dalam hal pekerjaan, tapi ketika kita mengikat sebuah kesabaran dalam diri kita dan pekerjaan yang menghampiri kita benar-benar tidak karuan dan begitu menyiksa hingga ketika pekerjaan itu tidak kunjung usai lantas menuai cibiran dari orang-orang yang so benar dan so hardworker, terutama atasan yang selalu sinis dan selalu mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan arogan namun terkadang memperlihatkan kebodohannya, apakah lantas harus diam? Setidaknya harus ada sedikit pembelaan dan counter  namun lagi-lagi hal itu harus dengan kesabaran…hmmmm.
Walaupun hanya sekelas sebuah perusahaan, tapi cara kerja dan sistem  yang ada didalamnya terkadang memang menyebalkan. Ditempat saya kerja mungkin saya bisa jadi dianggap sebagai orang atau karyawan yang sangat menyebalkan atau mungkin menjadi bahan pembicaraan terselubung oleh karyawan lainnya, tentunya dan sudah pasti kebanyakan pembicaraannya sangatlah negatif, tapi paduli teuing!! Dan itu lagi-lagi saya harus sabar. Saya sama sekali tidak peduli jika saja apa yang saya sangkakan karyawan lain salah dan melenceng seperti tendangan penalti David Beckham, namun saya yakin ada satu titik dimana itu memang benar adanya. Bahkan saya pun tidak jarang berpikir apa yang para atasan pikirkan ketika kebetulan berpapasan dengan saya atau sengaja memperhatikan saya, mau itu pandangan positif atau negatif sekali lagi paduli teuing!!. Kalau seandainya saya salah, tidak suka atau memang bodoh tegurlah langsung dihadapan muka saya, takut? Tidak, atasan pun MANUSIA!
Ada satu hal yang begitu lucu namun memuakkan, seringkali saya melihat ketika seorang karyawan yang kebetulan bertemu dengan atasannya dimanapun itu, mereka lantas “berhormat-hormat” dengan memberikan senyuman-senyuman yang sepertinya tulus namun saya berpikir itu senyuman sedikit palsu, karena bisa jadi dalam hati mereka menggerutu, ya alasannya macam-macam, gaji belum naik-naik lah, gak pernah dapat bonus lah, dan lah lah yang lainnya, sungguh lucu kan mereka bisa mempunyai senyum yang begitu palsu. Saya juga meyakini sebenarnya dari sebagian karyawan yang ada ditempat saya kerja mereka hanya menjalankannya dengan keterpaksaan dan jarang sekali yang sepenuh hati dalam menyelesaikan segala pekerjaannya, tapi lagi-lagi harus ekstra sabar, dan mungkin juga terpaksa mensyukurinya karena jika sampai kehilangan pekerjaannya maka mereka menganggap dunia sudah benar-benar kiamat, terlebih lagi ketakutannya yang paling kelam dan galau adalah anak istrinya suatu waktu akan sangat merindukan ingin bertemu nasi putih hangat dan ayam goreng.
Ada baiknya sabar itu dilakukan secara proporsional sesuai pada tempatnya seperti halnya marah, artinya ketika tekanan dalam pekerjaan terutama hubungan antara atasan dan karyawan yang begitu edan, maka sabar itu sejenak bisa saja diabaikan, karena sebenarnya ketika hendak melawan dan membantah pun sabar itu diperlukan kata orang-orang yang terkadang menjadi so bijaksana padahal kesehariannya hanya bertengkar dengan istrinya (apakah orang seperti itu bisa dikatakan sabar? Capee dweehh). Tapi saya tidak akan lebih jauh mengintervensi tentang wilayah permasalahan orang lain, apalagi masalah pribadi. Takutnya jika saya umbar nanti malah ada yang tersinggung dan kehilangan kesabarannya.
Dibalik itu juga ternyata dinegara kita juga sudah terbukti bahwa kerusuhan dan kekerasan sudah menjadi trend tersendiri, tapi ah biarlah mungkin mereka-mereka itu sudah sampai pada batas kesadarannya, seperti kata-kata yang selalu saya dengar ketika orang mulai marah
“dengar ya! Sabar pun ada batasnya!!”
Akhirnya saya pun tidak mengerti, dari pada semua orang mulai kehabisan kesabarannya ada baiknya saya mengikuti saran dari Ebiet G. Ade agar bertanya saja pada rumput yang bergoyang. Sekian…   



04 Maret 2012

FRIDAY I’M IN FRIDAY


Setiap hari Jum’at adalah hari dimana saya dikantor merasa seragam dengan karyawan yang lainnya, karena baju yang saya kenakan adalah batik, yang katanya kebanggaan negara ini, tapi saya malu para koruptor pun memakai batik, walaupun karyawan yang satu dengan lainnya sama sekali tidak seragam corak dan merk-nya namun hal itu saya anggap seragam. Dalam hati kecil saya sebenarnya tidak mau memakai batik dihari-hari biasa karena bagi saya batik adalah pakaian yang cukup pantas dipakai ke sebuah resepsi pernikahan walaupun sebenarnya tidak ada aturan yang mewajibkan datang ke sebuah resepsi pernikahan ataupun pesta pora lainnya harus memakai batik, tapi ya sudahlah toh batik yang saya punya semuanya pemberian dari orang tua dan beberapa orang teman.
Dan ternyata hari jum’at kali ini saya datang ke kantor lebih cepat dari biasanya, entah kenapa padahal saya menjalankan motor dari rumah menuju kantor dalam kecepatan yang santai-santai saja dan tidak terlintas sedikit pun dibenak saya untuk kebut-kebutan apalagi menjalankannya dengan aksi zig-zag meskipun tidak macet ala pengendara motor yang serasa menjadi Rossi dengan super legeg-nya (belagu) seperti belagunya Jose Mourinho, dan saya terkadang merasa kasihan jika melihat mereka-mereka yang selalu kebut-kebutan, saya berpikir mungkin orang yang ngebut itu mempunyai hasrat dan keinginan yang besar untuk menjadi pembalap namun tidak kesampaian dan yang lebih sialnya tidak di dukung oleh orang tuanya, ya jadinya begitu. Balik lagi ke waktu kedatangan saya kekantor yang rasa-rasanya kian hari kian lebih cepat, ada gejala apa sebenarnya ini? Apakah saya mulai menjadi loyal terhadap tempat saya kerja? Tidak tidak,saya tidak ingin terlalu loyal apalagi untuk cari muka dan menjadi penjilat! Sungguh muak jika melihat orang-orang yang seperti itu apalagi kebanyakan sudah berumur tua, edan. Mereka itu bukan ingin dilihat bagus dan teladan oleh atasannya, tapi mereka itu justru sangat takut akan kehilangan pekerjaan! Makanya dengan sekuat tenaga dan dengan cara apapun untuk mempertahankan posisinya, tentunya agar gaji terus mengalir tiap bulan.
Karena teman kerja yang seruangan dengan saya belum pada datang, akhirnya saya isi waktu kesendirian ini untuk sejenak berhubungan dengan dunia maya, tapi ternyata berita-berita di dunia maya pun (khususnya berita dalam negeri) sama membosankannya dengan berita di televisi, dan bodohnya kenapa saya masih sempat menonton televisi! Namun akhirnya situs jejaring sosial menjadi situs utama dan (mungkin) satu-satunya situs yang cukup menghibur untuk sekedar membual dan ber-lebay-lebayan, juga tidak lupa saya aktifkan pula yahoo messenger, sedikit bocoran akhir-akhir ini orang yang bisa dibilang spesial dan istimewa dalam hidup saya mulai sering mengaktifkan YM-nya dan tentu saja obrolan saya dengannya dari hati ke hati,prikitiiwww!! Jadi saya tidak akan berpanjang lebar mengenai hal itu, dan jika mengutip ucapan seorang selebritis.
“biarlah itu semua menjadi urusan saya pribadi dan tidak dikonsumsi oleh publik” menurut saya ini adalah sebuah pernyataan yang sungguh lucu, karena apakah semua masyarakat mau mengkonsumsi berita priadi seseorang? Sungguh membuang-buang waktu, justru masyarakat saat ini lebih tertuju dan mungkin muak dengan berita rencana kenaikan BBM, sementara pendapatan tak kungjung mengalami perbaikan, ya sudahlah mau bagaimana lagi keadaan sudah semakin memburuk lagipula saya juga bukan seorang pahlawan yang bisa menolong seluruh rakyat di negara ini, saya juga hanya seorang manusia seperti kebanyakan yang selalu terus berusaha dan berjuang dalam hidup ini hingga benar-benar langit yang cerah menjadi lebih berkuasa atas awan-awan yang mendung.
Tidak terasa waktu jum’atan sudah tiba dan saya sedikit kesiangan karena keasyikan YM-an, lalu saya akhrinya memilih masjid yang tidak jauh dari tempat saya kerja, walaupun tidak terlalu besar tapi beruntung saya masih dapat tempat yang cukup nyaman dan terhindar dari panas karena di pelataran masjid itu dipasang sebuah canopy yang cukup membuat teduh, tidak lama saat duduk bersila tidak disangka bertemu dengan seorang teman lama yang baru saja datang dengan wajah yang masih basah oleh air wudhu, karena ia pun melihat keberadaan saya, maka dia pun duduk disebelah saya, dan di masjid itu yang berbicara bukan hanya khotib tapi juga saya dan teman. Pembicaraannya pun menurut saya adalah sesuatu yang menurut saya sudah usang dan tidak pernah ada ujungnya, yaitu masalah pekerjaan, kemudian Mr. D yang memulai pembicaraan.
“kumaha maneh betah keneh digawe teh?’’ (gimana kamu masih betah kerja?).
Saya hanya tersenyum mendengar pertanyaannya itu, lalu tidak lama saya jawab dengan sedikit tidak serius.
“teuing atuh, urang mah sadipecatna weh” (gak tau, saya nunggu sampai dipecat saja.”) saya dan Mr. D pun terkekeh ringan, karena kalau keras-keras malu sama pak haji yang sudah lama memperhatikan tingkah kami.
“enya bener urang ge, da sarua geus kolot geus hoream neangan gawe deui, heueuh?” (iya betul saya juga, sama sudah pada tua sudah males nyari kerja lagi, betul?”) dan seterusnya Mr. D itu menceritakan suka duka ditempat kerjanya yang baru, yang sedikit aneh baru saja beberapa bulan Mr. D bekerja, ia malah sempat kepikiran untuk segera resign, dalam hati saya pasti ada yang salah dengan tempat kerja Mr. D hingga ia memutuskan untuk resign secepat itu, lalu ia pun memberikan alasannya yang cukup klasik, Mr. D sudah merasa jengah ketika harus menuruti semua kemauan atasannya alias disuruh-suruh, tapi saya pun mengingatkannya bahwa yang namanya kerja itu pilihannya harus mau disuruh-suruh atau resign jika ingin benar-benar terbebas dari segala tekanan batin, tapi menurut saya resign setidaknya lebih baik daripada tiap hari datang ke tempat kerja dan tiap hari pula di tempat kerja itu mengeluh dan menggerutu.
Tidak terasa akhrinya obrolan kami pun selesai dengan ujung pembicaraan yang sungguh tidak jelas penutupnya dan bersamaan pula dengan berakhirnya ceramah jum’at. Saya dan mungkin juga Mr. D berharap setelah jum’atan mendapatkan sesuatu yang setidaknya lebih baik, ya apapun itu, setidaknya harapan untuk tidak melewati kehidupan ini dengan sia-sia, penuh dengan bullshit dan segala kemunafikan. Akhirnya saya dan Mr. D berpisah di pintu gerban masjid dan saling berpesan untuk tetap saling kontak mungkin setidaknya agar mengetahui apakah impian saya sudah benar-benar tercapai.