22 Februari 2010

MUDAH DITEBAK

Kalau boleh dibilang kehadiran film-film dalam negeri yang membanjiri bioskop-bioskop sudah sangat banyak, genrenya pun beragam dari komedi hingga misteri/horor. Namun jika diperhatikan, sepertinya film-film horor atau misteri dan yang sejenisnya ternyata lebih produktif dibanding genre lainnya, dari judulnya pun hampir-hampir serupa tapi tak sama, ada hantu inilah, hantu itulah dan hantu-hantu yang lainnya. Kenapa sih judul-judul yang berbau misteri ini lebih banyak? Jawabannya karena di negeri ini begitu sangat potensial untuk memproduksi film-film bertema hororrrr!!, “bahan baku” cerita-cerita misteri banyak tersedia di masyarakat kita bahkan boleh dikatakan melimpah ruah. Ya tapi bagaimanapun horror biarlah tetap menjadi horror, semakin banyak film horror yang diproduksi semakin mencerminkan keadaan yang ada dimasyarakat kita.

Ada satu hal yang cukup menarik dari sebagian film-film yang beredar, yaitu mengenai alur atau ceritanya, ada apa dengan ceritanya? Ini sebenarnya bukan pendapat saya loohh, karena jujur saja saya masih merasa sedikit malas sengaja pergi ke bioskop untuk menonton film-film Indonesia saat ini, bukannya tidak mendukung, tapi ya itu tadi malas bo!

Balik lagi kemasalah cerita atau alur, jadi suatu waktu ceritanya saya sedang duduk-duduk di sebuah halte untuk menyambut kedatangan bis kota, kemudian datanglah 3 orang pemuda menghampiri dan duduk tepat disebelah saya, dan salah satu diantara mereka mulai membuka pembicaraan, sebenarnya saya tidak terlibat langsung dengan mereka, hanya mendengarkan saja. Apa yang saya tangkap dari obrolan mereka itu, ternyata mereka sedang membahas film-film yang pernah mereka lihat, dan saya pun tidak begitu tahu film apa saja yang sudah mereka lihat itu, akan tetapi dari pernyataan mereka bertiga yang saya dengar ada semacam rasa kekecawaan, lalu saya dengarkan lebih lanjut, lantas dari mulut mereka masing-masing telontar sebuah “kesepakatan” bersama jika cerita-cerita dari film yang pernah mereka lihat, ternyata mudah sekali ditebak dan biasa saja. Ini jelas sekali mengindikasikan bahwa film-film dalam negeri kita ceritanya masih mudah ditebak dan diprediksi endingnya akan seperti apa.

Tapi sekali lagi ini bukan pendapat saya, saya hanya mendengar saja :D tapi jika memang seperti itu, ya untuk sementara ini dengan tidak mengurangi rasa homat, saya masih akan menonton film-film “Hollywood”, terutama film-film yang bertabur efek yang sudah jelas-jelas impossible namun sangat menghibur, yeah!!


17 Februari 2010

OBROLAN TENTANG PEKERJAAN

Saat pagi hari (sebuah pagi kebebasan) segera saja saya langkahkan kaki yang sudah lama tidak menikmati jalanan, tentunya dihari kebebasan setelah sekitar tiga minggu mengerjakan tugas-tugas yang membuat kaki ini tidak bisa melangkah kemana-kamana (maksudnya untuk keluar sekedar melihat pemandangan alam), yang ada hanya terpaku menatap pemandangan dari sebuah layar datar empat belas inci yang hanya bisa bergerak ketika tombol-tombol pada keyboard dan mouse ditekan dan digerakkan, yang menyebabkan terjadinya apa yang dinamakan pekerjaan.

Kali ini saya menyusuri sebuah pasar tradisional yang hanya berjarak beberapa kilometer saja dari rumah saya, bisa juga naik angkutan umum, tapi saya pikir sayang hanya sebentar, toh ibu-ibu yang berada disekitar rumah saya juga saya lihat biasa berjalan kaki jika hendak ke pasar tersebut, kacuali saat akan pulang, tidak mungkin rasanya dengan membawa belanjaan (biasanya lebih dari satu bungkusan belanjaan) yang cukup banyak bulang dengan berjalan kaki lagi.

Saat memasuki area pasar, saya perhatikan ternyata masih tampak sibuk, dan agak sedikit macet. Tapi hal itu sama sekali tidak saya keluhkan karena suasana seperti itu benar-benar khas sekali, semuanya berbaur. Ketika memperhatikan satu persatu para pedagang yang tengah sibuk melayani para pembeli yang kebanyakan ibu-ibu, sejenak saya pun berpikir, apa bedanya ya para pedagang itu dengan orang-orang yang bekerja dikantoran/menjadi karyawan? jika ditarik garis lurusnya, mungkin sama-sama mencari uang, hanya caranya dan penampilannya saja yang berbeda, dan juga pendapatan yang didapatnya. Tapi jika harus memilih saya cenderung lebih tertarik dengan suasana perdagangan seperti itu, sepertinya tidak tersekat oleh ruang, jika istilah dalam perbisnisan modernnya yaitu Freedom Financial (Kebebasan Finansial) saya jadi ingat kata-kata salah seorang teman dalam sebuah obrolan “berdagang itu enak, dapet duitnya tiap hari, beda dengan orang yang kerja kantoran, dapet duitnya mesti nunggu satu bulan, kadang belum juga sampai ke bulan berikutnya, gajinya sudah habis duluan ditengah jalan, terus untuk menyambungnya terpaksa pinjam sana pinjam sini.” memang ada benarnya juga sih pernyataannya itu, jika melihat kembali pada realita yang ada, teman-teman saya yang menjadi karyawan di berbagai berusahaan “hampir” seperti itu.

Tidak terasa matahari sudah merangkak naik, saya putuskan untuk mengunjungi rumah seorang teman, juga tidak jauh lokasinya dari pasar, beruntung teman saya sedang santai menikmati liburan dirumahnya dan sepertinya memang sedang tidak ada kerjaan. Obrolan pun mengarah pada hal-hal yang berbau pekerjaan, namun semakin lama terasa semakin membosankan, akhrinya kami pun dengan ngelantur mencetuskan sebuah ide untuk membuka lowongan pekerjaan yang cukup ekstrim namun penuh resiko yang tentunya ditanggung sendiri, mempunyai keberanian yang tinggi, siap bekerja pada malam hari atau tengah malam, tidak perlu pendidikan tinggi, pengalaman tidak diutamakan hanya kemauan dan tertarik pada hal-hal yang berbau klenik, mistis, dan dunia lain, apakah itu : menjadi operator lilin dan makhluk piaraannya (babi hutan)… JJ

15 Februari 2010

SEKILAS PASAR BARU, DAN BERAKHIR DI D.U. (DIPATI UKUR) DENGAN SEGELAS SUSU


Setelah beberapa saat ngobrol-ngobrol dengan seorang kawan via YM, awan diluar sana terlihat sudah mulai berubah, sedikit demi sedikit menampakkan raut muram alias mendung. Dan segera saja saya pun siap-siap menuju tempat kawan saya itu. Berjalan agak sedikit cepat, namun ditengah perjalanan menuju tempat mangkalnya angkutan umum, saya harus sedikit pasrah disirami air hujan yang masih cukup bersahabat di pagi menjelang siang itu, atau mungkin juga hujan merasa kasihan melihat saya yang berjalan setengah berlari sambil melihat kiri-kanan mencari tempat berteduh namun tak kunjung mendapatkannya, karena yang ada di kiri-kanan saya adalah rumah-rumah mewah yang selalu tampak sepi seperti tak berpenghuni.

Diujung jalan, tepatnya dijalan raya utama tempat saya menunggu angkutan umum, saya sudah ditunggu oleh sebuah angkutan umum yang masih kosong melompong, hanya pak supirnya saja yang ada di dalamnya yang tengah asik makan gorengan. Tapi tidak lama kemudian setelah beberapa penumpang naik, si pak supir tidak basa-basi lagi langsung tancap gas.

Tanpa halangan yang berarti saya pun sudah sampai di ruko kawan saya, di lantai dua, tepatnya sebuah toko yang sangat berbau metal, sebenarnya kawan saya menyuruh saya datang jam satu siang, tapi karena itu tadi, mendung dan hujan, maka saya berinisiatif untuk secepatnya datang ke tempat kawan saya itu, dan ternyata hujan pun tidak begitu lama sudah reda kembali dan masih menyisakan sebuah tanda tanya apakah akan hujan lagi atau tidak. Dan benar saja rolling door nya masih tertutup rapat, tapi saya ketuk saja karena saya tahu kawan saya itu masih sedang online di depan pc nya yang tepat menghadap rolling door.

Tidak lama setelah saya ketuk-ketuk beberapa kali, terdengar suara sedang membukakan kunci gembok dari dalam toko. Yang pertama terucap dari mulut saya dan kawan saya itu hanya kalimat “hey” saja. Akan tetapi setelah itu, kawan saya yang tanpa memakai baju dan hanya memakai celana boxer itu mengajak saya untuk mengantarnya pergi ke Pasar Baru, tepatnya jalan ABC untuk mengurusi kacamatanya yang baru, pasca pecahnya kacamatanya yang lama. Mendengar ajakannya itu saya pun segera menyetujuinya, karena kebetulan rasanya sudah cukup lama saya tidak melihat pasar baru dan sekelilingnya.

Setelah kawan saya selesai mandi, maka kami berdua segera meninggalkan ruko itu, didepan ruko karena lama menunggu bis kota yang tak kunjung tiba, kami pun terutama saya harus kembali menaiki angkutan umum menuju simpang dago, karena kebetulan di jalan ruko kawan saya itu untuk menuju langsung ke pasar baru ya hanya bis kota saja. Di simpang dago kami langsung naik angkutan umum lagi, yang menuju pasar baru. Tapi saat itu saya tidak terlalu khawatir akan cuaca, karena selepas hujan yang hanya sebentar walaupun masih menyisakan tanda tanya, sinar matahari kembali terang benderang, semakin mendukung saya dan kawan saya untuk “berpetualang”.

Tiba di seputaran pasar baru, kami langsung disuguhi pemandangan beberapa bis pariwisata yang tengah parkir memanjang. Sudah dapat dipastikan para wisatawan domestik itu tidak lebih untuk berbelanja. Entahlah, harga-harga barang di Bandung mungkin labih murah dari tempat asal para wisdom itu. Kami langsung saja menyusuri “koridor” pasar baru menuju jalan ABC, trotoar yang ada malah bukan sempit oleh orang-orang yang berjalan kaki, namun justru oleh para pedagang yang membuat trotoar itu menjadi terasa kecil. Ada Mie Bakso, Mie Ayam, Es Campur, dan jajanan-jajanan lainnya khas masyarakat kita. Tapi biarlah, mereka juga para pencari nafkah yang sebenarnya bukan ingin menambah semrawut kota, tapi karena mungkin sudah tidak ada lagi tempat yang dirasa cukup “strategis”. Akhirnya kami nikmati kepadatan yang ada, berjalan kaki serasa mengendarai motor dengan berjalan zig-zag untuk menghindari rintangan, yeah.

Tiba dijalan ABC, kami langsung menuju sebuah tempat, tepatnya sebuah toko optic dimana kawan saya membeli kacamatanya, namun tidak di duga percakapan kawan saya dengan staf toko itu hanya berlangsung sebentar saja, dan setelah itu kami segera kembali lagi ke ruko sambil berjalan agak cepat, karena ada sedikit kekhawatiran jika bis kota yang menuju ruko sudah meninggalkan kami. Tapi beruntung kami sedikit lebih cepat dan tidak menunggu lama, bis kota yang melewati D.U. pun tiba, bis yang tidak berhenti total itu kami kejar setangah berlari dan harus meloncat ringan untuk menaikinya.

di pertengahan jalan, para “seniman jalanan” mulai menaiki bis yang kami tumpangi, jujur saya jarang sekali naik bis kota, saya pikir “seniman jalanan” yang ada di tiap stopan dan di bis kota akan sama saja aksinya –mengamen-. tapi apa yang terjadi saat itu adalah sebuah pemandangan baru, dua orang yang berdiri ditengah-tengah bis itu mulai beraksi, ada sesuatu yang berbeda yang saya perhatikan, satu orang mengeluarkan sabuah buku dari tas ranselnya, kemudian membuka halaman demi halamannya, kemudian orang yang satunya lagi memilih-milih alat musik tradisional Sunda Baheula yang saya tahu itu adalah alat musik Karinding. Setelah beberapa saat memberikan kata sambutannya, kedua orang itu mulai beraksi, yang memegang buku mulai membacanya, dan temannya mulai mengeluarkan bunyi-bunyian dari alat musiknya yang begitu etnik. Saya mulai sadar kalau mereka “mengamen” dengan cara yang berbeda, yaitu membacakan puisi, entahlah itu buku kumpulan puisi dari siapa penulisnya, tapi yang pasti suara si pembacanya harus bertarung keras melawan suara bis kota yang sudah cukup tua itu yang tidak kalah kerasnya, agar setiap puisinya dapat benar-benar terdengar oleh para penumpang.

Karena saya dan kawan saya cukup menyukai karya-karya puisi, walaupun sebenarnya tidak begitu jelas terdengar apa yang dibacanya, tapi kami memberikan selembar ribuan pada mereka berdua sebagai bentuk apresiasi kami pada mereka yang sebenarnya tengah “berjuang”, dan belum tentu kami juga mau mebaca puisi ditengah-tengah penumpang bis kota yang penuh seperti itu.

Akhirnya kami tiba juga di D.U., tapi sebelum ke ruko saya mampir dulu ke sebuah rumah makan nasi padang, sedangkan kawan saya langsung menuju ruko karena harus segera membuka tokonya. Ternyata perjalanan yang bisa dibilang singkat itu cukup membuat perut kami kelaparan. Dan kami harus menghadapi sebuah kenyataan yang tak terelakkan lagi, bahwa kami harus segera makaaaannn….

Singkatnya, perut kami sudah terasa kenyang, dan tidak lama kemudian hujan pun turun, namun kali ini cukup deras. Dalam mengisi hari yang sepertinya akan diguyur hujan cukp lama, kami membicarakan banyak hal ini dan itu, sambil ditemai lagu-lagu lawas dari Rumahsakit. Hingga hari menjelang gelap, hujan masih turun, tapi kali ini tidak begitu deras, kami memutuskan untuk menaruh bangku memanjang di carport depan toko –maksdunya untuk nongkrong-nogkrong- walaupun view-nya hanya kepadatan jalan oleh kendaraan, tapi kami nikmati karena dibalik kepadatan kendaraan sesekali kami melihat perempuan cantik.

Susu murni dan gorengan cukup menemani acara “nongkrong-nongkrong” kami, dan hingga minuman dan makanan itu benar-benar habis dan jalanan yang saya lihat sudah cukup lengang, saya putuskan untuk segera pulang kerumah, untuk melepas lelah sambil mangantongi cerita singkat ini.