05 September 2010

KAMPUNG HALAMAN DAN MAGNET KOTA

Idul Fitri atau lebaran hanya tinggal hitungan jari, itu artinya menjelang lebaran ini akan ada sesuatu yang khas, sebuah tradisi yang sudah menjadi budaya – mudik atau pulang kampung. Walaupun nama tempat yang dituju berbeda-beda, tapi pada hakekatnya adalah sama yaitu menuju kampung halaman – tempat kelahiran. Namun tidak semua perantau bisa merasakan seni bermudik atau pulang kampung karena satu dan lain hal, misal ada yang memang terikat oleh pekerjaan hingga ada yang memang berniat tidak pulang kampung dan alasannya pun beragam. Bisa dikatakan pulang menuju kampung halaman saat menjelang Hari Raya Idul Fitri menjadi momen yang sangat penting, karena dikampung halaman ada keluarga dan sanak saudara. Ada yang menjadikan mudik itu sesuatu yang “wajib” – dalam arti setiap lebaran harus pulang kampung, dan bagi yang menjadikannya wajib ini, terkadang ada kesan memaksakan diri untuk bermudik, walaupun itu dilakukan dengan cara pinjam sana dan sini, gadai ini dan itu yang penting bisa mudik, dan semua itu urusannya bagaimana nanti saja setelah lebaran usai. Ada pula yang menganggap mudik adalah sesuatu yang “sunnah” – dalam pengertian jika pulang kampung dan bertemu keluarga itu lebih baik, tapi tidak pulang pun tidak apa-apa dan tidak ada salahnya, yang penting uang terkirim.

Kampung halaman pun setidaknya menjadi motivasi tersendiri disamping untuk bertemu keluarga, selalu ada cerita saat tiba di kampung halaman, sehingga menjadi hal yang lumrah ketika kampung halaman menjadi semacam tempat untuk mentransfer segala hal tentang tempat dimana para perantau mengadu nasib dan mencari nafkah (biasanya di kota-kota besar), karena jelas kota sudah dianggap menyimpan segalanya dibandingkan kampung halaman atau pedesaan, karenanya tidak jarang pulang kampung menjadi sebuah ajang pembuktian sudah sejauh mana kesuksesan diraih di tempat perantauan, dan seakan-akan menenggelamkan dan membenamkan wajah desa tempat kelahiran.

Cerita tentang kota dibuat semenarik mungkin dengan cara pendeskripsiannya masing-masing, walaupun tanpa adanya maksud untuk mengajak siapapun, namun tetap saja cerita-cerita yang tersaji – terutama tentang mencari nafkah dikota, begitu menginspirasi dan menggiurkan bagi siapa saja yang mendengarkan, termasuk saudara dan teman-teman untuk merancang, mempersiapkan dan juga menyemarakkan tren urbanisasi paska lebaran untuk segera menyerbu kota dengan istilah-istilah mengadu nasib, mencari nafkah, mencari peruntungan dan lain sebagainya, sehingga kota itu seolah-olah digambarkan menjadi tempat yang tepat untuk meraih sukses, dan kampung halaman seolah menjadi tempat yang paling sulit untuk mencari pekerjaan dan mengembangkan diri.

Magnet Kota

Paska lebaran atau bisa juga disebut arus balik adalah waktunya bagi kota-kota tujuan perantauan untuk “mempersiapkan diri” menyambut kembali kedatangan arus urbanisasi yang mungkin hany terkontrol pada bagian permukaannya saja, lantas bagaimana dengan dengan muatan pendatang yang tidak terdeksi? Ini jelas menjadi tugas berat bagi pengelola kota untuk membuat sebuah sistem yang terukur dan terarah untuk mengetahui jumlah pendatang secara menyeluruh dan membenahinya secara bijak, karena sekali lagi kota sudah terlanjur dianggap tempat yang tepat untuk mencari pekerjaan dengan alih-alih mendapatkan penghasilan yang tinggi, padahal kita semua tahu bahwa jumlah pengangguran di kota pun terbilang masih cukup tinggi. Maka ketika para pendatang (yang baru datang) terkatung-katung tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, kecenderungan penambahan jumlah pengangguran adalah menjadi sesuatu yang nyata, dan menjadi masalah yang semakin kompleks, belum lagi banyak media mempekirakan dan menginformasikan bahwa lonjakan para pendatang di tahun ini akan bertambah dari tahun sebelumnya, dan pada kenyataannya pun angka-angka itu selalu terus bertambah.

Adalah sah-sah saja ketika kota menjadi tumpuan untuk memperbaiki nasib – walaupun pada hakekatnya rezeki bisa dicari dimana saja – akan tetapi kota dengan segala daya tariknya tidak lantas menjadikan seseorang tanpa pengetahuan dan keahlian membuatnya menjadi “nekat” untuk menjadi salah satu peserta pendatang baru. Segala cerita dari saudara ataupun teman yang telah lebih dahulu menetap di kota, tidaklah cukup menjadi bekal untuk mengarungi kehidupan ditengah-tengah masyarakat kota yang tentunya berbeda cara pandangnya dengan masyarakat desa. Karena cerita tidak menjadikan seseorang dengan instan mempunyai keahlian, sebab keahlian adalah proses belajar dan menempa diri.

Kota pada perkembangannya menjadi semacam magnet yang luar biasa, dan karena perkembangannya pula kota menjadi begitu sangat selektif terhadap manusia yang akan mendatanginya maupun yang sudah menetap didalamnya. Pengetahuan, keahlian dan juga kreatifitas menjadi elemen penting yang mau tidak mau harus dimiliki seseorang. Dan pada akhirnya mengadu nasib dan mencari nafkah di sebuah kota kemudian disebut sebagai pendatang, adalah sebuah pilihan, akan tetapi mengukur terhadap diri sendiri merupakan sebuah pertimbangan yang tidak bisa disisihkan begitu saja dari segala rencana yang telah dirancang, sehingga ketika kualitas diri dirasa sudah mencukupi, setidaknya akan menjadi modal dan strategi untuk memetakan kahidupan pada situasi dan kondisi yang baru – kota.

Selamat Hari Raya Idul Fitri, selamat mudik

Oktora Guna Nugraha

Bandung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar