04 Juni 2009

ANGKOT GOSIP

Mungkin, gosip menggosip sudah menjadi semacam kebutuhan kita sehari-hari, gosip apa saja dan banyak pula ragam yang digosipkan, mulai dari perselingkuhan tetangga, perabot kreditan tetangga, sampai selebritis yang belum terkenal pun kadang menjadi bahan baku gosip. Dan hebatnya lagi ketika mulut sudah agak sebal dan gatal-gatal, kegiatan yang kreatif ini tidak mengenal tempat, bisa sambil masak, saat berbelanja di pasar, di puskesmas, di halte bis, di sekolah sambil menunggu anak-anak pulang dan sudah barang tentu di telepon, biasanya pada awalnya hanya menanyakan resep masakan, tidak tahunya resep masakan yang dibicarakan pun melebar kemana-mana dan semakin panjang, dan bahkan mungkin juga bisa menambah cita rasa resep masakannya.
Kebetulan pula, suatu waktu pada siang hari disaat cuaca sedang panas-panasnya dan sinar matahari yang membakar jalanan, saya putuskan untuk keluar rumah dengan maksud untuk mencari udara segar, dan kebetulan juga dirumah saya sedang tidak ada siapa-siapa. Ketika hendak mengunci pintu gerbang rumah, beberapa orang ibu-ibu (kalau tidak salah lima orang) lewat di depan rumah saya sambil ketawa-ketawa, mengobrol dengan obrolan yang tidak saya mengerti. Saya juga mengenali mereka semua, begitu juga dengan mereka semua yang mengenali saya, karena saya dan ibu-ibu itu bertetangga. Ibu saya pun mengenal mereka semua, hanya ibu saya jarang bergaul dengan sebagian ibu-ibu itu, paling sering ibu saya ngobrol sama bu Idah penjual nasi kuning dan ibu Wati seorang penjahit pakaian terkenal di RT saya. Saya pun sempat menanyakan kepada ibu saya perihal ibu yang jarang sekali bergaul dengan ibu-ibu yang lainnya, alasan ibu saya karena tingkat menggosip ibu-ibu disini sudah akut, parah, dan ada pada tingkat stadium I. tapi ibu saya pun tidak pernah merasa bosan saat berada dirumah seharian, karena ibu saya sekarang ini sedang asik-asiknya bergaul di facebook, bertemu dan bercengkrama dengan teman-teman arisannya dan tentunya tidak lupa juga disertai sedikit gosip.
Dengan wajah yang ceria dan tampak bersemangat, ibu-ibu itu mengajak saya untuk jalan sama-sama, dan dengan sedikit terpaksa saya pun menerima ajakan ibu-ibu itu. Saya pikir toh hanya sampai ujung gang saja, tidak akan diajak kemana-mana lagi.
“apa kabar de amir.” Sapa ibu-ibu itu dengan agak…agak…agak…sedikit genit.
“eh ibu-ibu, baik bu.”
“de amir mau kemana, siang-siang panas begini kok malah keluar rumah?”
“mau jalan-jalan aja bu, kebetulan cuacanya lagi panas dan gerah.”
“ah de amir ini ada-ada saja.”
“lho ibu-ibu sendiri pada mau kemana?” Tanya saya sedikit penasaran.
“oh, kita-kita mau jemput anak-anak disekolah.”
Dan saya pun lama-kelamaan larut dalam pembicaraan mereka, dan seperti biasa lambat laun pembicaraannya mulai merambah kemana-mana, dan perjalanan menuju ujung gang pun terasa sangat sangat panjang. Banyak sekali yang dibicarakan ibu-ibu itu, seakan-akan tidak pernah kehabisan bahan baku untuk berbicara, saya pun sesekali mengikuti dan mengomentarinya, walaupun sebenarnya saya tidak pernah tahu apa sebenarnya yang sedang dibicarakan. Namun yang sempat saya tangkap dari pembicaraannya kali ini tidak jauh-jauh seputar selebritis yang kawin sirri, poligami, perceraian dan lain-lainnya yang mereka anggap paling panas dan paling penting untuk dibicarakan saat ini.
Setelah sekian lama berada dalam perjalanan yang terasa lambat itu, akhirnya saya sampai dan keluar juga dari gang penuh cerita yang berputar-putar itu. Lalu entah suatu keberuntungan atau bukan, tiba-tiba saja sebuah angkot (angkutan kota) milik mang Udin yang juga tetangga saya lewat di hadapan saya dan para ibu-ibu, dan kebetulan pula angkot mang Udin masih kosong melompong, sontak saja para ibu-ibu itu kegirangan melihat angkot yang tampak kosong itu, mungkin pikir ibu-ibu itu bisa lebih leluasa untuk membicarakan berbagai hal. Namun saya sedikit heran dengan angkot mang Udin yang masih kosong ini.
“mang, kok siang hari gini masih kosong?” Tanya saya
“iya nih de Amir, baru keluar garasi, mamang kesiangan bangun, semalam mamang sibuk banget.”
“memangnya mang udin sibuk ngapain?” Tanya saya lagi ingin tahu.
“semalam mamang main catur, gapleh, remi tarus nonton bola.”
“wah hebat ya mang udin, jadwalnya padat.”
“ya begitulah de.” Timpal mang Udin sambil tersenyum malu dengan mata yang masih merah.
Maka tanpa basa-basi lagi saya pun langsung masuk ke dalam angkot mang Udin dan saya memilih duduk didepan di samping pak supir yang baru mau bekerja, begitu pula dengan ibu-ibu itu, dengan suka cita mereka memasuki angkot mang Udin.
“selamat siang ibu-ibu, pasti pada mau jemput anak-anaknya ya?” sapa mang Udin kepada ibu-ibu.
“iya nih pak udin, kebetulan ada pak udin, jadi kita kan gak usah bayar ha…ha…ha…ha…”
“iya tenang aja bu, yang penting beigtu turun pada bayar ya.”
Dengan sedikit santai karena masih merasa agak mengantuk mang Udin pun menjalankan kendaraannya menyusuri jalan raya sambil sesekali mencari penumpang. Pada awalnya tidak terdengar apapun dari ibu-ibu yang ada dibelakang saya dan mang Udin, namun saat berada ditengah-tengah perjalanan, salah satu dari ibu-ibu itu kembali membuka pembicaraan, kali ini yang menjadi tema pembicaraannya mengenai “kelahiran bayi termahal seorang penyanyi dangdut terkenal”. Entah sebenarnya penting atau tidak, tapi para ibu-ibu itu membicarakannya sangat detil dari a sampai z, mereka benar-benar seperti seorang komentator dalam sebuah pertandingan sepakbola. Saya dan mang Udin pun hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala mendengar obrolan ibu-ibu yang semakin lama terdengar semakin seru itu.
Tempat yang dituju oleh ibu-ibu itu pun semakin dekat, dan mang Udin sesekali mengingatkan ibu-ibu itu. Namun sepertinya ibu-ibu itu tidak menghiraukannya, karena masih sangat konsentrasi dengan kegiatan bertuturnya itu, dan saya pun sepertinya akan merasa percuma jika seandainya mengingatkan ibu-ibu itu.
*****

Akhirnya, sekolah yang dituju oleh ibu-ibu itu sudah sampai dan angkot mang Udin pun berhenti tepat di depan sekolah. Lama berhenti, mang Udin dan saya agak heran, kok ibu-ibu itu tidak turun-turun juga, lalu saya dan mang Udin menoleh ke arah belakang, kami berduan pun kembali geleng-geleng kepala melihat ibu-ibu itu yang masih asik ngobrol.
“ibu-ibu, kita sudah sampai disekolah, nanti kalau nggak ditunggu anak-anaknya pada kabur lho.” Seru mang udin sambil membujuk ibu-ibu yang masih betah didalam angkot.
“ooh, kita sudah sampai yaa! Tapi gak apa-apalah pak udin santai aja, bubaran anak-anak kita juga masih agak lama kok.”
“lah, terus ibu-ibu terus mau kemana? Saya kan mau terus ke terminal.”
Ya sudah pak udin jalan saja sampai terminal, lagian ngobrol-ngobrol kita juga belum selesai, tanggung nih.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar