12 Januari 2010

BU, JANGAN PAKSA AKU JADI PRESIDEN

Surat ibuku dari bandung sudah aku terima sore hari
Dengan ditemani secangkir teh hangat seplang kuliah aku buka surat itu perlahan.
Surat itu terasa hangat, sehangat sapaan ibu, dan beberapa pertanyannya di awal tulisan surat itu.
Aku segera membacanya.

Bandung, 14 Februari 2004
Anakku sayang, bagaimana kabarmu nak?
Bagaimana dengan kuliahmu?
Lancarkah?
Oh iya, ibu lupa nak, kamu sudah semester berapa sekarang?
Tapi yang penting kamu harus ingat pesan ibu, harus rajin kuliah, dan jadilah yang terbaik.
Dan harapan ibu yang terbesar, kelak kamu harus jadi presiden! Seperti cita-citamu waktu kecil, Karena ibu pun yakin kalau kamu bisa memimpin negara ini.

Ibunda.

Selesai membacanya, aku lipat lagi surat itu dengan perlahan.
Beberapa saat aku tersenyum setelah membaca surat dari ibu itu.
Ternyata ibu masih saja tidak berubah.
Masih saja menginginkanku untuk menjadi presiden.
Kalau mau dibilang aku disini juga sudah dipusingkan dengan segala macam masalah perkuliahan, apalagi harus mengurus negara ini.
Ya tapi apapun keluh kesahku, aku tetap harus segera membalas surat ibuku itu.
Hanya sekedar memberinya kabar gembira saja.
Karena aku tidak mau ibuku menunggu lama surat balasan dariku.
Tapi sebelum aku menulis surat, aku habiskan dulu tehnya.

Yogyakarta, 15 Februari 2004
Alhamdulillah saya sehat bu, dan semuanya baik-baik saja.
Kuliah saya juga lancar tidak ada hambatan apapun.
Saya sekarang sudah semester enam bu, jadi seperti lagi sudah memasuki semester akhir, saya juga minta do’anya dari ibu mudah-mudahan bisa cepat lulus, saya juga sudah kangen sama Bandung bu.
Bu, memang waktu kecil saya pernah bercita-cita ingin menjadi presiden, tapi itu kan hanya angan-angan seorang anak kecil, toh banyak juga kan yang sewaktu kecilnya bercita-cita ini dan itu, tapi setelah dewasa, pekerjaan mereka kadangkala tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakannya.
Begitu pula dengan saya bu, saya sudah punya cita-cita yang lain selain presiden.
Bukannya apa-apa bu, tapi untuk jadi pemimpin apalagi memimpin sebuah bangsa, itu tidak mudah bu, pertanggunga jawabannya dunia dan akhirat bahkan lebih berat.
Sekarang saja masih banyak yang hidupnya serba kekurangan, apalagi kalau saya jadi presiden, bisa saja malah bertambah, murka Allah sudah pasti menunggu saya bu.
Sekali lagi saya mohon maaf bu, kalau surat balasan dari saya ini ternyata mengecewakan ibu.
Tapi ibu tidak usah berkecil hati, walalupun saya tidak menjadi presiden, saya tetap akan ikut membangun bangsa ini bu, mohon do’anya saj bu.

Ananda kesayangan ibu.

Selesai menulis surat blasan untuk ibu.
Aku baca ulang lagi.
Aku rasa sudah cukup, memberi alasan bagi ibu.
Aku harap ibu tidak kecewa dan mengerti.
Lalu kulipat surat itu dan memasukannya kedalam amplop putih bersih.
Untuk esok pagi aku kirimkan.

Bandung, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar