27 Mei 2011

DIA (cerita bersambung) #2

Secangkir Teh Hangat

Tepat didepan pagar rumah berwarna hijau muda, Nera sedikit terburu-buru keluar dari mobil Titan, disambut oleh rintik hujan yang turun dengan mendadak, singkat saja kata yang terucap oleh Nera pada Titan sebagai simbolisasi bahwa ia sudah sampai dirumah – akan pulang dan berpisah, Titan pun membalasnya dengan tidak kalah singkat, yang juga sebagai simbolisasi respon terhadap kekasihnya agar tidak mengecewakannya, walaupun dengan senyuman namun senyuman Titan itu terkesan dingin, sedingin sambutannya pada rintik-rintik hujan. Suara bunyi klakson mobil Titan menjadi pertanda perpisahan mereka, dari dalam mobilnya Titan melambaikan tangannya kemudian Nera yang menutupi rambut panjangnya dari siraman hujan oleh tas nya yang cukup lebar membalas lambaian tangan dari kekasihnya, dan Titan pun perlahan bergerak maju membawa mobilnya dengan meninggalkan Nera di depan pagar rumahnya – seorang diri. Nera pun segera membalikkan tubuhnya menghadap pagar, dengan tergesa-gesa pula Nera membuka kuncinya karena merasa pakaiannya mulai terasa basah oleh tetesan air hujan. Beberapa meter dari pagar Nera setengah berlari menuju pintu masuk rumahnya, dilihatnya gordyn masih terbuka begitu juga dengan lampu di ruang tamu yang masih menyala.

“tumben jam segini pada belum tidur.” Tutur Nera perlahan sambil melihat jam tangannya yang menunjukkan jam sepuluh, kemudian Nera menyeka kedua lengannya yang juga basah, lalu mengetuk-mengetuk pintu. Tiga ketukan saja sudah cukup membuat pintu rumahnya itu terbuka, ternyata ibunda Nera yang lebih bersedia membukakan pintu.

“loh, nera kamu kehujanan ya?!”

“sedikit kok bu, pas sampai depan rumah pas turun hujannya.” Jawab Nera seraya mencium tangan kanan ibunya, Nera pun kemudian tidak berlama-lama berdiri didepan pintu dan langsung memasuki rumah, dimana ia sedikit demi sedikit mulai merasa kedinginan, langkahnya diikuti oleh ibunya yang terlebih dahulu menutup pintu kemudian menguncinya dan menutupi kaca depan rumah dengan merapatkan gordyn.

Nera segera menuju kamarnya yang berada di lantai dua dan segera pula mengganti pakaian basah yang dikenakannya oleh pakaian tidur. Seperti sudah lelah dan malas untuk berbuat apa-apa lagi, ia langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang dibalut sprei bermotif garis-garis melintang dengan warna-warna pelangi, tempat tidur kesayangannya itu pun menjadi salah satu saksi bisu segala keluh kesah saat mengurung diri dikamarnya. Disaat Nera merebahkan tubuhnya itu dengan tangan telentang, matanya memandang lurus ke atas menuju angkasa menembus langit-langit rumahnya, mengingat-ingat kembali, mencerna, merenungkan lebih dalam apa yang baru di lewatinya bersama Titan di kedai kopi tadi. Namun di tengah-tengah lamunannya itu Nera seperti teringat pada sesuatu, dan pikirannya kembali tertuju pada kotak cincin itu, ia pun terbangun dan beranjak dari tempat tidurnya berjalan menuju meja riasnya dimana tas yang menyimpan kotak cincin itu tersimpan disana. Dihadapan cermin meja riasnya, Nera perlahan merogoh kedalam tas kulitnya yang juga pemberian dari Titan, lalu diambilnya kotak cincin itu, Nera kembali hanya bisa menatapnya tanpa membukanya sedikit pun walau untuk hanya bisa sekedar mengintip isinya seperti apa tidak terpikirkan olehnya. Wajahnya yang semula tertunduk memandang kotak cincin lalu ia arahkan ke arah cermin, ia kembali berpikir dan sebenarnya apa yang Nera pikirkan bukanlah mengenai bagaimana bentuk cincin, terbuat dari apa, harganya dan lain sebagainya, Nera benar-benar tidak peduli dengan semua itu, dan sebenar-benarnya yang menjadi pertanyaan Nera apakah Titan itu laki-laki yang tepat untuk menjadi suaminya kelak?

Tok…tok…tok…

Suara ketukan dari luar pintu kamar Nera seakan menjadi jawabannya, ketukan itu kemudian diikuti oleh suara ibunya yang memanggil-manggil Nera yang masih memandangi wajahnya sendiri di cermin.

“masuk saja bu, tidak di kunci.” Ucap Nera terdengar datar, dan pintu kamarnya segera terbuka tampat ibunya dengan senyum hangat membawa sebuah cangkir kecil yang beralaskan piring kecil mengepulkan asap dimana minuman itu belum di ketahui oleh Nera. Nera yang masih terduduk dan masih menggenggam kotak cincinnya menoleh ke arah ibunya dan raut wajahnya segera berubah kembali dengan sedikit berseri dan antusias ketika mengetahui ibunya membawa secangkir minuman hangat.

“repot-repot segala bu bawain aku minuman, ngomong-ngomong yang ibu bawa itu minuman apa?”

“ini teh hangat sayang, biar badan kamu juga hangat, kamu tadi kan kehujanan.” Jawab ibunya lalu memberikan secangkir teh itu pada Nera. Dengan berdiri di sisi kiri Nera, ibunya dengan tersenyum menatap anaknya itu yang sesekali meminum teh buatannya, sambil mengelus-elus kepala Nera di saat yang bersamaan pula tatapan mata ibunya kemudia tertuju pada kotak cincin yang tersimpan di meja rias, dihadapan Nera. Sedikit mengerutkan dahi, pikiran ibunya coba menelusuri makna dari kotak cincin yang baru dilihatnya itu namun hal itu tidaklah berlangsung lama, lalu selebihnya ibu dan anak yang tidak ditemani sang ayah karena sudah terlelap lebih dahulu, hanya berbincang-bincang dengan topik yang ringan-ringan saja khas obrolan malam dan kadang ditemani oleh tawa, namun tak sedikitpun ibunya mengeluarkan pertanyaan yang mengarah pada keberadaan kotak cincin itu.

Waktu pun terus merambat menelusuri perjalanan malam, begitu pula air teh yang semula penuh berada di dalam cangkir sudah tak bersisa lagi, entah sudah berapa ratus bahkan mungkin ribuan kata yang sudah mereka ucapkan untuk bercengkrama hingga mengantarkannya melebihi tengah malam, yang terasa kemudian adalah kantuk, mereka berdua sudah mempunyai pikiran yang sama untuk menyudahi segala pembicaraannya, dan hingga akhir pembicaraan dengan ibunya Nera sama sekali tidak mengutarakan dan mencurahkan segala apa yang sedang berputar-putar dalam kepalanya, pun demikian dengan ibunya yang tidak menyinggung keberadaan kotak cincin itu, meskipun kepekaan seorang ibu sudah mengetahui apa yang sedang dipendam dan dirasakan oleh anaknya, namun nampaknya sudah terlalu malam untuk membahas hal-hal yanag tampaknya akan menguras seluruh pikiran anaknya. Ibunya memutuskan untuk bertanya esok hari disaat Nera sudah benar-benar tenang. Ibunya langsung mengambil cangkir teh yang sudah kosong itu, tak lupa membelai kembali kepala Nera dan menyuruhnya dengan kelembutan dan kasih sayang untuk segera tidur, Nera menatap kepada ibunya membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih yang tulus. Lalu dengan langkah perlahan ibunya berlalu meninggalkan Nera, dan beberapa saat kemudian Nera pun segera beranjak dari tempat duduk meja riasnya, memalingkan wajahnya ke arah tempat tidur, bantal dan selimut yang terlihat olehnya sangat begitu menggoda untuk segera terlelap didekap oleh malam dan membawanya berpetualang berfantasi dalam dunia mimpi.

>>><<<

Ditengah malam yang sudah dinikmati oleh sebagian orang dengan terlelap begitu juga dengan Nera, Titan baru saja sampai dirumahnya karena setelah mengantarkan Nera menuju rumahnya, Titan tidak lantas pulang ia langsung berkeliling kota tanpa ada maksud dan tujuan yang jelas – hanya berkeliling saja sambil mencari sebuah jawaban. Disepanjang jalan saat mengelilingi kota Bandung yang sangat lengang dan dingin, yang ada dalam pikiran Titan hanyalah kata “mengapa”, “mengapa” dan “mengapa” atau “apakah nera masih belum siap menjadi istriku?”. Masih di tengah perjalanan dan dengan perasaan yang setengah gamang, silih berganti tawaran-tawaran yang seolah sebagai solusi dan jawaban-jawaban semu berkelebatan dalam pikirannya – klab malam, alcohol, cinta semalam dan sejuta solusi lannya, tapi Titan coba menahan itu semua dan terus meyakinkan dirinya bahwa harapannya bersama Nera kelak bisa terwujud.

Titan terduduk di sofa, ia pandangi langit-langit memikirkan apa yang sebenarnya akan terjadi dengan masa depannya, sampai-sampai untuk melepaskan sepatunya Titan begitu malas, pikirannya benar-benar sudah menguras sebagian tenaga dalam tubuhnya. Namun angin malam selepas hujan yang masuk melalui pintu yang sengaja Titan biarkan sedikit terbuka cukup memberinya kesejukan ditengah-tengah kepenatannya, dan sesekali ia menarik nafas panjang.

“den ini minumnya.” Ucap mang Kodar, pembantu yang sudah sepuluh tahun bekerja di keluarga Titan, yang tiba-tiba saja muncul dari arah belakang dimana Titan duduk, lalu meletakkan secangkir teh hangat di meja tepat di hadapan Titan.

“loh mang kodar belum tidur?” tanya Titan sedikit kaget.

“belum den, kan mamang nungguin aden pulang, ya sudah den kalau begitu mamang tidur duluan ya.”

“oh iya…iya mang makasih, biar gerbang sama pintunya saya aja yang nguncinya.” Ucap Titan yang selalu merasa tidak tega jika melihat mang Kodar, apalagi di tengah malam seperti itu Titan semakin tidak tega untuk menyuruh mang Kodar mengunci pintu gerbang.

Sebelum menikmati secangkir teh hangat itu, Titan beranjak dari sofa menuju ke depan rumah unruk mengunci pintu gerbang, dan hawa dingin membuatnya untuk segera kembali masuk kedalam rumah dan menikmati secangkir teh hangat menjadi tujuan utamanya. Ditengah-tengah suasana pikiran dan jiwa yang sudah tersugesti menjadi santai oleh secangkir teh, kemudian Titan meraih telepon genggam yang terletak di meja, dalam benaknya ada keinginan untuk menghubungi Nera, namun ia berpikir bahwa itu tidaklah baik, lalu Titan mencoba untuk mengirimkan pesan singkat, tapi lagi-lagi pikirannya menolak, “jangan-jangan pesan ku itu akan menambah tekanan bagi nera”. Akhirnya benar-benar sudah tidak ada lagi celah baginya, dan segera menekan tombol switch off pada telepon genggamnya kemudian ia letakkan lagi pada tempatnya semula, dan kembali meminum dan menghabiskan teh yang hanya tinggal sekali teguk itu. Akhirnya Titan kembali bersandar pada sofa, dengan perlahan matanya mulai terpejam, membuatnya sudah tidak mungkin untuk pergi menuju kamar tidur, mungkin di sofa pun Titan tetap berharap bisa berbincang-bincang dengan Nera, walaupun itu hanya dalam mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar