25 Mei 2011

DIA (cerita bersambung)

Kotak Cincin

Malam seakan lebih terang dari biasanya, hawa dingin yang menusuk namun tidak begitu terasa oleh Nera yang sedang berada di sebuah kedai kopi di Bandung utara dengan pemandangan sinar-sinar lampu yang tampak kecil yang terpancar dari rumah-rumah penduduk kota, seperti kumpulan kunang-kunang sedang mengadakan pesta, Nera juga tidak pernah menduga jika di malam itu akan mendengar sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut kekasihnya – Titan. Sebuah pertanyaan di ujung suatu hubungan, dan sebuah kotak kecil berisi cincin permata cantik yang Titan sodorkan di hadapan Nera menambah kesan bahwa dimalam ini dan di tempat ini, Titan ingin segera mendengar jawaban dari Nera, walaupun ucapan yang keluar dan terdengar adalah hanya kalimat “ya” atau “aku bersedia”. Di sisi lain Titan merasa inilah waktu yang benar-benar tepat, karena tujuh tahun sebuah hubungan bagi Titan adalah sudah cukup untuk saling mengenali watak, sifat, dan berbagai sisi lainnya dari pribadi masing-masing.

“nera, mungkin sekarang ini sudah saatnya buat aku menanyakan suatu hal sama kamu.”

“menanyakan apa?”

“mmm..kamu mau gak nikah sama aku?”

Mendengar ucapan itu, jantung Nera berdetak sedikit lebih kencang, juga terlihat gugup walaupun sebenarnya Nera sendiri sudah menantikan pertanyaan seperti itu sejak lama, namun saat benar-benar mendengarkannya, ucapan Titan itu seperti mantra-mantra sihir yang membuatnya bungkam, beku juga bercampur rasa bahagia.

Malam di kedai kopi itu bagi Nera seakan-akan menjadi sebuah tempat yang akan paling dikenang dalam hidupnya, begitu pula dengan hari, tanggal dan jam nya mungkin saja tidak akan ia lupakan. Karena apa yang ia rasakan saat ini tidak pernah termimpikan sebelumnya. Kamudian aroma makanan dan minuman yang sudah tersaji di hadapan Nera dan Titan tercium begitu romantis, percakapan yang terjadi malam itu hanya senyum dan sedikit malu-malu. Kedai yang rimbun dikelilingi oleh pepohonan semakin terasa rimbun dan seakan-akan Nera dan Titan merasa hanya mereka berdua yang berada di kedai itu, walaupun saat itu pengunjung kedai itu cukuplah ramai, dan sebuah kata “pulang” seolah tidak ada dalam pikiran mereka berdua, kecuali hingga kedai kopi itu benar-benar sampai pada jam tutupnya.

Nera masih sedikit gemetar di sekitar kedua lengannya karena menggenggam kotak kecil berwarna merah berisi cincin permata pemberian Titan, namun ia masih ragu dan menimbang-nimbang apakah cincin ini boleh dan harus dipakainya saat itu juga, akan tetapi Titan pun tidak memberikan kuasa dan perintahnya pada Nera terhadap kotak cincin itu, Titan hanya menyodorkannya. Nera merasa mungkin jika dirinya menjawab “ya” atau “bersedia” Titan mungkin akan menyuruhnya membuka kotak berwarna merah itu. Tapi bagi Nera, hati yang selalu berkata jujur menjadi satu-satunya yang ia percayai, apa yang di katakana oleh hatinya? Adalah “jangan dulu berucap apa-apa”, “tetap menahan diri” dan “hal itu haruslah dipikirkan lebih panjang, bahkan harus lebih panjang dari usia hubungamu”. Disaat yang sama dari arah yang berlawanan, Titan masih memandangi Nera yang tengah berbincang dengan hatinya, dengan senyum dan tatapan yang masih menunggu jawaban, sesekali menyantap makanannya dengan perlahan. Lambat laun gelombang bisikan hatinya itu kian deras terdengar bukan hanya oleh kedua telinganya tapi juga oleh seluruh raganya. Dikala pertentangan dengan hatinya itu, Nera hanya bisa memandangi dan membayangkan isi di dalam kotak kecil itu, “mungkin suatu saat aku bisa membuka kotak kecil ini dan memakai cincinnya” pikir Nera.

“sayang kenapa nggak kamu buka kotaknya?” tanya Titan seperti sudah mengetahui apa yang sedang dipikirkan dan di rasakan oleh Nera. Dengan nada yang sedikit mendesak, karena ini bagian dari taktik Titan saja, jika Nera membukanya maka Titan menganggap bahwa itu adalah tanda setuju, tapi Nera tidak begitu saja menuruti kemauan kekasihnya itu, Nera lebih yakin pada kata hatinya dan hanya diam, karena Nera tahu sesungguhnya menjawab pertanyaan Titan itu cukup hanya dengan membuka kotak cincin itu atau membiarkannya. Dalam diamnya itu Nera berusaha berpikir keras mencari sebuah alasan yang tentunya dapat mendamaikan pertentangan dengan hatinya itu.

“ayo sayang buka saja, apa kotak itu kurang menarik buat kamu?’

“ma..maaf sayang, maksudku bukan tidak mau membukanya, tapi aku pikir bagaimana kalau kotak cincin ini aku buka dirumah saja, boleh kan?”

“kenapa harus dirumah, apa bedanya dengan membukanya disini?”

“yaa maksudnya biar lebih surprise saja.”

Titan terdiam sejenak seakan terhipnotis oleh jawaban-jawaban tangkas dari Nera, dan keadaannya malah berbalik, Titan sekarang yang menuruti kemauan Nera. Jika dinilai itu untuk kebahagiaan kekasihnya, atas nama cinta karena Titan pun mempunyai keyakinan yang besar bahwa Nera akan menerima “ajakannya” itu, asa Titan kian membumbung tinggi pada nera untuk benar-benar ingin menjadi pendamping hidupnya kelak. Namun Titan pun menyadari sepenuhnya dan memahami keadaan Nera, bahwa menikah bukanlah sesuatu yang dengan mudah dilaksanakan begitu saja. Tapi tetap saja sikap Nera itu mengundang pertanyaan-pertanyaan yang bercampur ragu dalam diri Titan, “apakah nera masih ragu menikah denganku?” , “apakah nera masih belum siap?”.

>>><<<

“maaf mas boleh minta bill nya?” tanya Titan pada seorang pelayan yang kebetulan sedang berjalan melewati meja makannya.

“bill, baik ditunggu sebentar kang.”

Akhirnya Titan merasa harus segera menyudahi semua ini, karena reaksi Nera benar-benar telah membuatnya serba tidak jelas dan membuatnya sedikit merasa kecewa, namun tidak berarti bahwa Titan marah besar, ini hanya masalah kesabaran dirinya saja, pemahaman dan pengertiannya terhadap jalan pikiran Nera. Tapi dibalik rasa kecewa serta segala perasaan dan pikiran negatif lainnya yang siap menguasai dirinya, Titan pun tidak mau begitu saja pikiran dan hatinya dikuasai dengan mudah oleh sesuatu yang tentunya dapat menghancurkan segalanya, ia cepat-cepat kembali menghadirkan rasa cintanya yang besar pada Nera dan hanya menyisakan satu harapan, yaitu bisa menikah dengan Nera.

Sejenak Titan pandangi jam tangannya yang menunjukkan tepat jam sembilan, namun tidak membuatnya kaget dan juga heran, justru Titan sangat menyukai hal-hal yang begitu tepat, Nera yang melihat Titan melihat ke arah jam tangannya berpikir bahwa Titan akan segera mengajaknya pulang. Menyadari akan hal itu, Nera mulai dihantui sedikit perasaan bersalah, karena melihat Titan tiba-tiba saja menanyakan bill pada pelayan, lalu sekilas memandangi jam tangannya dan sepertinya akan segera mengajaknya pulang. Nera menghukum dirinya bahwa itu semua adalah gara-gara dirinya yang tidak mau membuka kotak cincin itu. “aku harus tanyakan pada Titan” bisiknya dalam hati, namun belum juga sempat bertanya, pelayan tadi sudah kembali dengan membawa tagihan dan memberikannya pada Titan dan beberapa menit semua proses itu pun selesai. Dengan senyum yang terkesan agak dipaksakan Titan arahkan pada Nera, dan kemudian mengajaknya pulang. Dugaan Nera ternyata benar, dan sepertinya dugaannya itu tidak berlu ditanyakannya lagi, namun hanya satu pertanyaan yang masih tersisa, “apakah ini gara-gara dirinya atau bukan” dan pada kenyataannya rasa penasaran dan ingin tahu yang kian memuncak, akhirnya Nera benar-benar tanyakan pada Titan.

“sayang, kamu kok tiba-tiba ngajak pulang?”

“hmmm..ya biar enggak terlalu malam, kamu juga kan besok harus kerja, jadi biar enggak kesiangan.”

Mendengar alasan Titan seperti itu, Nera menerimanya saja, dan tidak mau lagi menambah-nambah pertanyaan, Nera pikir jawaban yang nanti keluar dari mulut Titan pun tidak akan sama dengan apa yang ada dalam hatinya. Titan yang memulai aba-aba beranjak dari tampat duduknya, tidak lupa membawa kunci mobil dan telepon genggamnya, hal itu kemudian diikuti oleh Nera yang juga ikut beranjak dari tempat duduk, namun saat berdiri mata Nera kembali tertuju pada kotak cincin itu, ia heran mengapa Titan tidak membawanya lagi padahal belum ia buka. Akhirnya tanpa bertanya dan dengan sedikit terburu-buru Nera menyambar kotak cincin itu dan langsung memasukkan ke dalam tas kulit hitamnya, kemudian menyusul dengan setengah berlari menuju ke arah Titan yang sudah lebih dulu keluar kedai menuju tempat parkir, untuk akhirnya mereka berdua meninggalkan kedai kopi itu, malam yang seakan panjang namun terasa singkat itu hanya sedikit saja yang bisa dinikmati oleh Titan dan Nera, selebihnya hanya menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dengan penuhn keyakinan, terutama oleh Nera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar