31 Mei 2011

DIA (cerita bersambung) #3

SARAPAN PAGI

Diruang makan ibu dan bapak Nera sudah menunggu, di meja makan pun sudah tersedia oleh menu-menu khas sarapan, dan salah satu menu kesukaan keluarga itu – nasi goreng. Sambil menunggu Nera, ibunya bercerita pada suaminya perihal apa yang dilihatnya semalam, suaminya itu tampak serius mendengarkannya sambil mengumpulkan berbagai macam kesimpulan sebagai bentuk persiapan untuk menjawab jika saja di ujung cerita muncul berbagai macam pertanyaan “kalau menurut ayah bagaimana?”, namun sebelum semua makanan yang ada di meja menjadi dingin, cerita ibu yang semula akan sangat panjang ternyata berakhir juga, tapi benar saja pertanyaan yang tidak diharapkan kehadirannya akhirnya datang juga menghampiri.

“terus kalau menurut ibu gimana?” balik bertanya.

“loh kok bapak malah balik tanya sih?”

“ya kalau menurut bapak sih, bapak setuju-setuju saja kalau nera mau menikah sama titan, kalau memang sudah waktunya kenapa enggak bu.”

Merasa pikirannya sama ibu pun hanya tersenyum, terlebih lagi ibunya Nera sejak lama sudah memimpikan kehadiran seorang cucu di rumahnya, dan sepertinya hal itu akan segera terwujud, pikir ibunya. Kemudian di saat segala cerita dan tanya jawab itu selesai, di saat itu pula Nera muncul dari kamarnya berjalan menuju ruang makan, sedikit tergesa-gesa dan tampak sedikit merasa bersalah karena telah membuat kedua orang tuanya menunggu. Di tempat duduknya yang tepat menghadap ke arah ibunya, Nera tidak langsung mengambil makanan, tapi Nera merasa heran dengan raut wajah ibunya yang terlihat tersenyum lembut sambil sesekali melirik ke arah Nera, saat itu belum ada sesuatu hal yang perlu ditanyakan oleh Nera pada ibunya, sedangkan bapaknya terlihat santai-santai saja, yang ada saat itu bagi Nera adalah suasana yang tidak seperti biasanya, semuanya seakan-akan sedang merasakan sesuatu hal yang begitu membahagiakan, bahkan Nera merasa dirinya anek ketika ibunya meliriknya sambil tersenyum.

“pa bu ada apa sih, kok pada aneh begitu?”

“gak ada apa-apa kok.” Jawab ibunya masih terus tersenyum.

Lantas bapaknya yang melihat raut wajah anaknya yang sedikit tidak puas dengan jawaban ibunya, segera memotong tanya jawab ibu dan anak itu dengan mengajak keduanya untuk segera sarapan, maka satu persatu dari mereka mulai menikmati santapan di pagi hari itu.

>>><<<

Dua, tiga suapan sudah terlewati dan di pertengahan sarapan mereka yang belum habis, ibu Nera kali ini yang menatap heran pada anak semata wayangnya itu dan baru menyadari kalau pakaian Nera bukan pakaian yang biasa-biasa saja.

“loh nera kamu kok enggak kerja?”

“kerja bu, cuma hari ini ada meeting, nera enggak ikutan, males, jadi nanti siang saja nera ke kantornya.”

Apa yang Nera jelaskan seperti itu, kedua orang tuanya hanya menganggukan kepalanya perlahan dan meneruskan sarapan yang masih tersisa. Dan dengan sekejap pula ibunya berpikir bahwa inilah sebenarnya waktu yang tepat untuk sekedar ingin tahu tentang asal usul kotak cincin itu, lalu tanpa menunggu aba-aba dari siapapun ibunya langsung bertanya pada Nera yang sepertinya jiga terlihat sudah siap dengan segala pertanyaan yang akan segera menghampiri dirinya.

“nera waktu semalam ibu ke kamar kamu, ibu enggak sengaja lihat kotak cincin di meja rias kamu, saat itu ibu agak penasaran mau tahu tentang kotak cincin itu, tapi ibu pikir karena sudah malam jadi lebih baik ibu tanyakan saja besok, nah sekarang ibu cuma ingin tahu saja sayang, sebenarnya kotak cincin itu kamu dapat dari mana?”

“dari titan?”

“apa dia mau melamar kamu?”

“kapan dia ngasihnya?”

“kok kamu enggak bilang-bilang sama ibu?”

“berarti kamu sebentar lagi mau nikah ya?”

Mendengar serentetan pertanyaan dari ibunya itu, Nera hanya diam sambil menahan senyum, walaupun sebenarnya semua pertanyaan itu cukup berat untuk dijawab, tapi akhirnya Nera pun merasa tidak masalah dengan semuanya karena memang semuanya harus segera dijelaskan pada kedua orang tuanya. Bapaknya pun tersenyum mendengar pertanyaan borongan itu, lantas ibunya menjadi bingung sendiri perasaannya seakan-akan bersalah dan hampir saja berniat meinggalkan meja makan.

“memangnya pertanyaan ibu itu lucu ya?!”

“bapaknya juga sama malah senyam-senyum!” ujarnya lagi sambil melemparkan wajahnya ke arah suaminya, sedangkan yang menerima perkataan itu santai saja mengunyah makanan. Melihat suasana di meja makan yang kian “memanas” dan Nera juga merasa kalau ibunya itu sedikit kurang bisa di ajak bercanda, maka dengan segera menceritakan segala sesuatunya yang sangat ingin di ketahui oleh ibunya itu.

“habisnya ibu nanyainya kaya orang lari marathon saja.” Jawab Nera.

“ya sudah nera kasih tahu sama ibu, iya bu kotak cincin itu dari titan, dikasihnya tadi malam, secara enggak langsung sih itu bisa dibilang lamaran, dan secara terus terang juga titan ngajak nera buat nikah bu.”

“tuh kan apa ibu bilang juga, kalau memang begitu ibu sama bapak sih setuju-setuju saja sayang, titan juga kan orangnya baik, ya kan pak?”

“iya deh gimana ibu saja.”

“dasar bapak ini, susah ya kalau diajak bicara.”

Lalu meletuslah tawa dari Nera dan bapaknya, ibunya pun dengan terpaksa kemudian harus ikut tertawa lalu lambat laun suasana di meja makan semakin mencair dan menyatu. Selanjutnya Nera pun bercerita tentang segalanya bersama Titan selama ini, dan hal itu dilakukannya dengan maksud agar menjadi bahan pertimbangan kembali bagi orang tuanya untuk menerima Titan sebagai menantunya atau tidak.

Dan pagi hari saat berkumpul di meja makan itu menjadi seikit serius namun juga santai, Nera ceritakan semuanya dan mengalir apa adanya, tentu saja dengan sisi baik dan buruknya, tentang pasang surut hubungannya dan segala hal tentang jalinan cintanya. Segala saran dan masukan menjadi bagitu berarti bagi Nera, dan sejak sejak saat itu pula pesan-pesan bijak yang Nera terima sedikit demi sedikit dapat mengikis keraguannya dan juga dapat mendamaikan hatinya yang semula begitu resah. Namun bagi kedua orang tuanya semua keputusan sepenuhnya adalah hak Nera yang seharusnya tidak bisa dicampuri lebih jauh, karena mereka berprinsip bahwa kebahagiaan tidaklah bisa dipaksakan begitu pula dengan Nera, selain dirinya yang ingin merasakan bahagia, segala keputusannya justru ingin lebih membahagiakan kedua orang tuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar