07 Desember 2009

GITAR SAMUN

Setiap aku menatap gitar yang tergantung dikamarku dan kemudian memainkannya, aku selalu langsung teringat pada pemberi gitar itu, dia tidak lain sehabatku yang paling pemberani – berani bersuara lantang, Samun. Tapi sayang Samun kini telah tiada. Samun dulu tinggal persis dibelakang rumahku, sejak dari seolah dasar hingga lulus SMU kami selalu satu sekolah, pergi dan pulang bersama, main bola dan main layang-layang bersama. Namun saat memasuki bangku SMU Samun mulai menampakkan pikiran-pikiran kritisnya, aku pun cukup kagum pada Samun, karena kemampuannya mengemukakan pendapat-pendapatnya setiap kali diadakan diskusi di kelas, tapi aku tidak heran karena Samun senang sekali membaca buku dan Koran, sedangkan aku dan teman-teman sebayanya masih senang bermain-main dan malas sekali membaca, itulah mengapa Samun sedikit lebih mengetahui perkembangan sekitarnya. Beberapa kali ia pun dicalonkan untuk menjadi ketua OSIS, tapi Samun selalu menolaknya tanpa alasan yang jelas, bahkan ia pun sering menyanggah materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, terutama pelajaran PPKn.

Selepas SMU, bapak Samun yang bekerja sebagai sopir truk, meninggal dunia setelah terjadi kecelakaan di Jalur Pantura, saat itu Samun merasa kehidupannya semakin berat, karena satu-satunya orang yang membiayai sekolahnya dan keluarganya yaitu bapaknya, apalagi ibu samun yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, kadang menjadi buruh cuci pakaian atau bekerja serabutan lainnya, tapi masih beruntung Samun adalah anak satu-satunya , jadi Samun tidak terlalu dipusingkan untuk membiayai seorang atau dua orang adik, tapi tetap saja Samun mempunyai tanggung jawab untuk tetap membahagiakan ibunya dan juga mempunyai kewajiban untuk terus melanjutkan hidupnya.

Suatu waktu Samun pernah bercerita padaku kalau dia tidak akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

‘san sepertinya kita tidak bisa sama-sama lagi.” Ucap Samun padaku.

“kamu mungkin tahu sendiri keadaanku setelah bapakku meninggal.” Lanjutnya lagi.

“lalu rencana kamu kedepan apa sam?”

“bukannya kamu dapat beasiswa untuk kuliah?”

“bukannya aku menolak san, tapi sepertinya kalau aku tetap kuliah, aku tidak akan konsentrasi, karena memikirkan ibuku, ya aku juga belum tahu renacanaku kedepan seperti apa mungkin bekerja, kuli atau apa sajalah asal dapat membantu ibuku.”

Percakapan dengan dibelakang rumah Samun itu benar-benar membuatku sedikit menahan nafas, merasa bersedih dengan keadaan yang harus Samun hadapai, tapi apa daya aku pun hanya bisa memberinya dukungan secara moril, keadaanku yang juga susah membuatku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu sahabatku itu, aku pun kuliah karena keinginan bapakku walaupun harus meminjam uang sana-sini.

Selanjutnya yang aku tahu kemudian Samun memilih jalan hidup sebagai pengamen, tapi hal ini sudah aku duga sebelumnya, sebab yang aku tahu Samun tidak suka bekerja dikantor-kantor, dengan sifatnya yang berontak, Samun tidak begitu suka dengan hal-hal yang mengakang, salah-salah berargumen dengan atasannya kemungkinan terbesarnya Samun bisa saja dipecat, itulah mengapa aku memaklumi keputusan Samun untuk mengamen, mungkin ia bisa lebih bebas bersuara, mengkritik keadaan-keadaan di sekitarnya yang dinilainya timpang dan tidak adil. Kesukannya pada lagu-lagu Iwan Fals mungkin salah satu yang menginspirasinya.

Namun lambat laun aku dan samun pun masih bisa bersama-sama, walalupun tidak didalam kelas. Setiap pagi sambil membawa gitarnya dengan semangat selalu datang kerumahku, dengan maksud untuk mengejarku pergi bersama-sama, jadwal kuliahku setiap hari yang selalu pagi membuatku tidak bisa menolak ajakannya, walaupun hanya didalam bis kota. Meskipun baru pertama kali mengamen, apa ladi didalam bis kota yang selalu penuh dengan penumpang Samun tampak sudah tidak malu-malu dan tidak gemetar mengahadapi “audiens” nya tampak seperti seorang pengamen yang sudah sekian tahun menjalani profesinya. Lagu demi lagu dari Iwan Fals ia lantunkan dengan sempurna dan hamper tanpa cela, membuat orang-orang yang berada didalam bis kota yang aku lihat cukup kagum pada Samun dan tidak segan memberikan recehannya.

Memasuki tingkat II, jadwal kuliahku agak sedikit longgar, paling dalam seminggu tiga sampai empat kali kuliah dan itupun tidak setiap hari, untuk mengisi hari kosongku, aku memutuskan untuk menemui Samun mengamen, maksudku sambil sekalian ingin mengatahui bagaimana rasanya menjadi pengamen, dan hal itu tidak menjadi masalah bagi Samun, malah Samun senang dengan keinginanku untuk menemaninya. Pada perjalanannya Samun pun mulai dikenal dikalangan para penumpung bis kota, kemudian Samun pun mengekspenasi daerah operasinya dari semula hanya dari bis ke bis, kini Samun mulai memasuki gerbong kereta api kelas ekonomi yang selalu berdesakkan dan bertumpuk hingga atap kereta, karena menurut Samun pula, mengamen di dalam kereta itu memberikan tantangan tersendiri, yaitu bagaimana caranya kita bermain gitar ditengah-tengah penumpang yang cukup padat dan berkeringat pula.

Lama-kelamaan aku seringkali merasa bosan dengan lagu-lagu yang dibawakan oleh Samun aku coba memberinya masukan agar ia mulai menciptakan lagu-lagu, siapa tahu penumpang bis atau kereta yang sering melihat dan mendengarnya merasa bosan sama halnya denganku. Dan baru kali ini Samun menyetujui pemikiranku tanpa menginterupsinya. Kemudian kreatifitas Samun ternyata benar-benar membuatku terkejut sekaligus kagum, bayangkan saja kurang dari sebulan Samun sudah menciptakan sepuluh lagu, dan aku yang pertama mendengarkan lagu-lagunya. Luar biasa kepekaan Samun ternyata semakin terasah pikirku, terbukti dari lirik-lirik nya yang sama sekali tidak puitis namun tegas penuh dengan kritik tajam dan sesekali pedas. Aku pun sudah membayangkan kalau Samun tidak akan membuat lagu-lagu bertema cinta, selingkuh, patah hati dan lain sebagainya, semuanya benar-benar mewakili jeritan suara rakyat jelata. Kemudian Samun mulai menyelipkan satu dua lagu miliknya disetiap kali ia mengamen, dan ternyata para penumpang yang tidak sengaja mendengarkan merespon lagu-lagu karya Samun itu, bahkan tidak jarang meminta Samun untuk menyanyikannya lagi, aku pun bangga pada Samun.

Rasa banggaku pada Samun bukan hanya disitu saja, Samun yang semakin dikenal karena lagu-lagunya yang kritis tidak pelak menjadi perhatian beberapa media ceta hingga pada suatu waktu profil Samun pun dimuat di sebuah media cetak dengan judul “Samun Pengamen Pedas” , atas dasar pemuatan Samun di media cetak, Samun kemudian agak sedikit “sibuk”, ia sering diminta untuk mengisi acara pada acara-acara diskusi seni, budaya dan bahkan politik, dan tentunya semakin produktif menciptakan lagu-lagu. Semakin digemarinya lagu-lagu Samun, tidak sedikit orang yang menyukainya dan membencinya, terutama kalangan politisi dan para pejabat yang selalu menjadi bahan baku dalam lirik-lirik lagunya. Ada yang senang dan ada yang merasa gerah, ada yang memuji dan ada yang kupingnya memerah panas, begitulah. Tapi Samun tidak lantas meninggalkan dunia bis kota dan kereta api dan tetap menganggap dirinya sebagai orang biasa yang masih terus berjuang dalam menjalani hidup, hingga akhirnya ia pun merasakan segala ketidak nyamanan dalam hidupnya, ancaman, intimidasi menjadi sebuah resiko yang harus dia terima. Tapi Samun tidak pernah gentar dengan semua itu, ia masih terus bersuara dari hati dan jiwanya.

Seringkali Samun bercerita padaku, setiap kali pulang mengamen, kalau dia beberapa kali mendapat ancaman dari orang-orang yang tidak dikenal dan entah suruhan siapa, baik itu di bis kota maupun di kereta, aku pun sering menyarankan pada Samun sebaiknya berhenti dulu mengamen untuk beberapa waktu hingga keadaanya membaik.

“tidak san, aku tidak pernah berhenti melawan kebusukan, kebobrokan dan segala kemunafikan.”

Sebagai sahabat yang sudah mengathui jalan pikirannya, aku pun hanya bisa mendukungnya dan itulah mungkin jawaban terakhir dari suara Suman yang pernah aku dengar, hingga sampailah pada peristiwa yang sangat memilukanku dan terutama bagi ibunya yang sangat terpukul atas apa yang terjadi pada Samun. Samun ditemukan meninggal sambil memegang gitarnya ditengah-tengah semak dekat lintasa kereta, setelah sebelumnya ditemukan oleh seorang pemuda yang juga seorang penggemar Samun, sontak saja kejadian ini segera menjadi sebuah berita besar dan banyak mendapat simpati dari berbagai kalangan terutama para seniman, ibu Samun pun mengizinkan kepada pihak kepolisian untuk menyelidiki sebab-sebab kematian Samun.

Dan hasilnya cukup mengejutkan aku dan mungkin banyak orang – Samun meninggal karena diracun, itu terbukti dari sisa-sisa makanan yang terkahir kali Samun santap mengandung racun mematikan nomor satu. Peristiwa ini benar-benar meninggalkan tanda Tanya besar bagiku dan mungkin bagi siapapun yang menyayangi Samun, terutama bagi ibunya, ia hanya bisa mengikhslaskan kepergian anaknya, karena sebagai orang kecil menuntut seseorang adalah hal yang mustahil lagi pula ibu samun akan menuntut siapa? Harta benda, termasuk uang pun tidak punya untuk membayar pengacara, pelakunya pun tidak pernah ditemuakn, mungkin mereka sedang tertawa terbahak-bahak, tertawa kencang bahagia karena sudah tak ada lagi yang bersuara lantang.

Suatu hari ibu Samun mendatangi rumahku sambil membawa gitar milik anaknya.

“nak harsan, kedatangan ibu kesini hanya ingin menyampaikan amanat dari anak ibu.”

“a..amanat apa bu?!”

“sebelum kepergiannya, samun pernah bercerita pada ibu, katanya kalau dia sukses nanti, dia ingin memberikan gitar ini pada nak harsan, jadi ibu harap nak harsan mau menerimanya.”

Aku semakin terharu dan sedih mendengar cerita dari ibu Samun itu, aku tidak menyangka kalau Samun begitu baik pada sahabatnya.

“baiklah bu kalau begitu saya terima gitar ini, saya akan jaga dan rawat dengan baik.”

“terima kasih nak harsan, kalau begitu ibu pamit dulu” Ibu samun dengan segera dari rumahku.

“iya baik bu.”

Sejenak aku memperhatikan gitar kesayangan Samun itu dan kemudian hatiku berbicara

“baiklah sam, sahabatku jasadmu memang telah tiada, tapi semangat dan keberanianmu tidak pernah mati, jika perlu aku yang akan melanjutkan suaramu lebih lantang dan lebih keras, karena aku tahu kau titipkan gitar ini padaku, agar aku meneruskan perjuanganmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar